Secangkir Penahan Rindu
Hari ini seperti biasanya. Bayangan, tingkah, dan sikapnya terus menemaniku di hari yang tak berbeda. Sama, setiap kali aku bercermin, bercuci muka seolah dirinya hadir di hadapanku. Di balik cermin dan genangan itulah dia muncul. Mengisyaratkan tanda bahwa akulah yang sulit melupakannya. Apakah aku harus berhenti menunggu?
Setiap pagi kuseduh bungkusan kopi penahan rindu. Membiarkan pikiranku terlelap bersama adukan secangkir kopi yang siap untuk disantap. Ah...nikmatnya, bersama embun pagi dan dimanjakan dengan aroma guyuran hujan tadi malam. Setidaknya itu akan membuatku lupa. Walau hanya sementara.
Kuhirup aroma kopi buatanku. Dan mungkin inilah aroma terharum sepajang pertemanan kita. Memanjakan dan tak membuatku sakit untuk terus mengharapkannya. Kemudian kulihat warna serbuk kopi buatanku. Dan mungkin inilah serbuk terpekat sepanjang persahabatan kita. Pekat dan kelam akan perasaan cinta yang terus tertimbun di dasar hati yang paling dalam. Lalu kemudian kuputuskan untuk mencicipi. Hmmm...mungkin inilah rasa yang paling enak sepanjang perasaanku yang sampai saat ini masih betah menunggu. Tak melelahkan ataupun bosan saat aku harus mencicipnya.
Lalu lagi dan lagi aku mencicipi sembari menikmati lengkungan asap yang muncul di atas lautan hitam tersebut. Hingga sampai dimana secangkir kopi itu habis yang hanya menyisakan aroma dan serbuk yang masih bisa dirasakan. Kalau begini, bagaimana bisa aku berpaling darinya?
Baiklah, kita seduh kopi sekali lagi. Kopi penahan rindu, agar aku cepat melupakanmu.
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar