Buku Catatan Kinal
Alhamdulillahhhh... |
Hingga
pada suatu saat, di mana aku harus melepaskan kenangan yang paling berharga
dalam hidupku.
***
Aku ingat dengan perkataan ayahku.
Beliau pernah berkata bahwa harum seduhan kopi yang menyeruak dari dalam
cangkir mampu membuat matamu lebih lama terbuka. Pekat hitam yang tergambar
dalam seduhan kopi mampu membuat tubuhmu terasa segar kembali.
Namun ternyata tidak semua apa yang
dikatakan ayahku benar. Nyatanya sudah
dua cangkir kopi panas masuk ke dalam perutku dan mataku masih saja ingin
terpejam.Tubuhku masih saja terasa berat untuk aku gunakan kembali mengerjakan
tugas kuliah yang sering merepotkanku akhir-akhir ini. Andai saja tugas kuliah
tak sebanyak ini, pasti aku sudah tidur di kasur.
Sesekali aku mendengus pelan di depan
layar laptop. Tatapan hampa kutujukan pada layar yang membingungkan tersebut. Aku
masih bingung dengan apa yang akan aku lakukan dengan tugas-tugasku ini,
rasanya sangat lelah sekali. Setelah seharian bersama Suho di rumahnya siang
tadi.
Tiba-tiba saja, layar ponsel yang
tergeletak di samping laptopku menyala. Berdering dan bergetar menarik
tatapanku ke arahnya. Mataku mendelik mencari tahu siapa yang memanggilku tengah
malam begini.
Ternyata Suho, teman sejak SMA ku.
Akhir-akhir ini dia memang sering menyita waktuku. Bahkan saat tengah malam
begini dia masih saja menghubungiku untuk membicarakan sesuatu. Padahal besuk
kita masih ada waktu untuk bertemu.
Entahlah, mungkin Suho memang ingin proyek
kami ini berhasil. Proyek yang sudah dua mingguan ini kami kerjakan bersama. Dia
pasti tidak mau proyek ini akan terbengkalai nantinya.
Hahahahaha….
Dia memang paling bersemangat dariku.
Aku bangga punya teman seperti dia.
Segera saja, aku meraih ponsel yang
berdering cukup lama di meja. Pasti Suho sudah lama menunggu di sana.
Namun, belum sampai aku menerima
panggilan Suho, mataku membulat seketika. Hatiku tertenggun bersamaan dengan wajah
seorang gadis yang secara tiba-tiba muncul di layar laptop milikku.
Kedua sudut bibirku tertarik
berlawanan, hatiku bergetar sedetik saat melihat screensaver laptopku
menampilkan sebuah foto gadis pemilik bibir sensual.
Dirinya tersenyum di layar laptop tersebut.
Sebuah senyuman yang ceria. Raut wajahnya yang lucu selalu tahu cara membuatku bahagia.
Ah sial, aku hampir saja mengumpat
karenanya.
Aku memang bodoh, bahkan lebih bodoh
dari gadis ini.
Aku menyesal telah mengenalnya.
*** Flashback ***
Aku mendengus kesal saat aku
menangkapnya tengah menumpahkan gelas pesananku di meja. Tapi rasanya tak
berguna juga membuang-buang energi hanya untuk memarahinya. Aku tahu, dia pasti
juga tidak sengaja melakukan itu.
Tubuhnya terlihat membeku dan jarinya
mungkin bergetar di sana. Aku memilih untuk memendam umpatanku yang masih
tertahan di mulut.
“Maaf,”
Kata itulah yang masih kuingat saat kami
berdua melihat cairan berwarna merah aroma strawberry membasahi celanaku.
Aku tersenyum di depannya. Ya hanya
senyum yang aku perlihatkan padanya. Karena aku sendiri juga kurang begitu
mengenalnya. Ini kali pertama aku berbicara empat mata dengannya, sekaligus di
sebuah kantin yang cukup ramai. Jelas, puluhan pasang mata menatap kami
sekarang.
“Ya, gak papa kok,” jawabku pada
gadis tersebut.
Entahlah aku kurang begitu tahu
namanya waktu itu, tapi yang jelas dia adalah gadis berlabel kutu buku di sekolahku.
Terlihat dari kacamatanya yang gemar
melorot ke bawah, rambutnya yang sama sekali tidak punya style sedikitpun, serta dandanan seragamnya yang bisa dibilang
seadanya saja.
Cupu.
Memang.
Bahkan aku sama sekali tidak tertarik
untuk mengenalnya lebih jauh.
Segera saja aku beranjak dari kursi
dan pergi meninggalkannya. Tanpa sepatah kata, aku kembali
menuju kelas.
Semenjak kejadian itu, aku jadi
sering melihatnya di sekolah. Entah itu di lorong kelas, kantin, taman sekolah,
bahkan saat aku hendak ke toilet pun aku pernah bertemu dengannya. Rasanya
seperti ada skenario yang mengubah drastis hidupku.
Padahal sebelumnya, tidak seperti
ini. Kehidupanku biasanya diwarnai oleh para siswi cantik yang selalu
mendekatiku dan menganggu hidupku di sekolah.
Kalau kata Suho sih, mereka hanya
ingin mencuri hatiku saja. Mereka hanya ingin mendapatkan kelebihan fisik yang
aku miliki selama ini. Paras tampan, tubuh ideal, dan lengan ototku yang memang
berkembang baik semenjak aku latihan Gym
bersama Suho setiap akhir pekan.
Ya, mungkin Suho benar.
Tetapi walaupun Tuhan menganugrahiku
fisik seperti ini, bukan berarti aku harus menjadi laki-laki yang mudah jatuh
hati. Aku masih punya harga diri yang harus aku jaga untuk melindungi nama
baikku.
Karena menurutku, memilih wanita yang
tepat bukan berarti harus mencobanya satu persatu. Ada cara lain yang lebih terhormat
untuk mendapatkannya.
Tapi yang jelas, bukan si kutubuku
orangnya.
***
Tanggal satu, bulan Oktober, untuk
kesekian kalinya aku terlambat ke sekolah. Ini semua gara-gara Suho semalam
yang mengajakku ke taman kota dan pulang larut malam.
Liciknya, Suho justru tidak masuk
hari ini. Dia memilih untuk tetap tinggal di rumah, daripada harus terkena
semprot kekesalan Bu Frieska nantinya.
Alhasil, aku sendiri lah yang dihukum
beliau. Sungguh teganya Suho.
Demi menembus keterlambatanku kali
ini, aku dipaksa untuk merangkum salah satu materi pelajaran Fisika yang ada di
perpustakaan.
Ya, perpustakaan. Ruangan yang
menurutku sangat membosankan.
Bahkan sampai sekarang aku masih tak
mengerti kenapa banyak orang yang menyukai tempat sunyi seperti itu. Apa mereka
tidak merasakan bosan berlama-lama membaca buku?
Ah, aku tidak tahu, tapi yang jelas
semua ini salah orang tuaku. Seharusnya sejak kecil aku dilatih untuk gemar membaca,
agar lebih terbiasa dalam keadaan ruangan sehening itu.
Namun terlambat, aku sudah terlanjur tidak
menyukai tempat itu.
Dahiku mengernyit dan meninggalkan lipatan
di sana, sesaat setelah melihat banyak buku tertata rapi di dalam rak.
Mataku membulat memikirkan buku mana
yang seharusnya aku ambil untuk aku rangkum nanti. Banyaknya buku yang berjejer
di depan, membuatku sangat kebingungan.
Iya, aku memang bodoh, bahkan untuk
memilih buku yang tepat pun aku tidak cukup pintar.
“Hai. Kau …” suara lembut tiba-tiba
terdengar saat aku tengah menggaruk-garuk kepalaku
yang tak gatal.. Sontak saja
aku menoleh, dan mendapati sesosok tubuh gadis yang sudah berdiri di sebelah
kananku.
Entah sudah sejak kapan gadis yang menumpahkan
jus strawberry ku itu berdiri di sampingku. Keberadannya seperti angin.
Dia menolehku sejenak, sampai
kemudian tatapannya berubah tajam ke arah kumpulan buku di depan kami. Sebelah
tangannya sibuk memilah banyak buku yang tertata rapi di dalamnya.
“Hai juga,” jawabku dingin.
Namun tak ditanggapinya. Tatapannya
masih sibuk mencari buku.
Tak perlu waktu lama, dia langsung menarik
salah satu buku dan kemudian memeluknya dengan sebelah tangan.
Dan kemudian, menolehku kali ini …
“Maaf ya soal kemarin,” katanya
seraya membenarkan kacamatanya. Wajahnya tegas menatapku sekarang.
“Yaelah. Gak papa lagi,” kataku
berhias senyum yang terpaksa aku buat.
Dia hanya mengangguk kecil dan
kemudian menyeret langkahnya kembali ke tempat duduk semula. Setelahnya dia seperti
sibuk sendiri dengan bukunya tersebut.
Tatapannya kembali membuas menuruti
semua kalimat yang tertera. Tubuhnya kaku, seolah mematung karena ribuan kata.
Aneh. Apa semua kutubuku di dunia ini
memang aneh seperti dia?
Entahlah, tapi yang jelas aku masih
berkutat dengan masalahku sekarang. Puluhan buku yang tertata di sini seperti
tak memberikan jawaban sedikitpun. Begitu juga dengan orang-orang di sini, sama
sekali tak menyadari raut wajahku yang kebingungan. Mereka benar-benar egois.
“Bisa aku bantu?” suara gadis cupu
itu terdengar lagi tepat berada di sampingku. Cukup membuatku terkejut.
“Oh, gak ada kok. Tenang aja,” kataku
dengan senyuman yang aku buat-buat.
Bodoh. Padahal aku memang butuh
bantuan sekarang.
“Aku tahu kau jarang ke sini, mungkin
ada yang bisa aku bantu? Lagi pula kau tampak kebingungan sekarang,” katanya
sedikit tertawa.
Aku menggaruk kepalaku yang tak
gatal. Berpikir sejenak untuk mempertimbangkan bantuannya.
“Iya sih. Aku emang jarang ke sini”
“Memangnya kamu sedang mencari buku
apa?” tanyanya dengan bahasa yang menurutku sangat baku sekali.
“Jadi gini, kebetulan hari ini Bu
Frieska ngasih aku tugas merangkum bab Momentum gitu,” terangku.
“Beliau menghukummu?”
“Hah? Kok tahu?”
Tiba-tiba dia tertawa lagi.
“Bukankah Bu Frieska memang terkenal
begitu?” cibirnya membuatku terlihat konyol di depannya. Kedua tangannya
berusaha membungkam mulutnya yang tertawa.
“ Di sekolah ini guru yang sering
menghukum siswanya seperti itu hanya Bu Frieska,” katanya sembari membenarkan
kacamatanya lagi.
Aku mengangguk setuju. Memang, Bu Frieska
gemar membuat siswanya menderita.
“Sekarang ikut aku,” ajaknya
tiba-tiba, dan berlalu begitu saja.
Entah hipnotis jenis apa yang dia
gunakan, tiba-tiba langkahku seperti terseret dengan sendirinya. Mengekornya
menuju arah loker penitipan tas di sudut ruangan perpustakaan.
Dia menarik tasnya dari loker
tersebut.
“Kamu terlambat juga ya?” tanyaku
saat dirinya tengah merogoh sesuatu dari dalam tas hitam tersebut.
“Ini … “
Dari dalam tasnya tiba-tiba keluar
sebuah buku bersampul merah. Dia menyodorkan buku itu padaku.
“Ini buku catatan fisika ku. Ada
rangkuman materi Momentum di dalamnya. Kau bisa menyalinnya,” tambahnya.
“Eh, gak usah repot-rep … ”
“Atau kalau kau cukup malas menyalin,
kau bisa ambil ini untukmu. Tinggal ganti saja namaku menjadi namamu. Mudah
kan?” terangnya lagi memenggal perkataanku barusan.
“Eh, kamu ini apa-apaan sih? Masa’
buku catatan sendiri dikasih ke orang lain? Emangnya gak rugi?”
“Kau pikir aku bercanda?” tegasnya,
membuatku terdiam.
“Cepatlah. Ambil ini, aku juga masih
ada urusan lain,” kata gadis itu rewel.
“Oke-oke,” aku menarik buku itu dari
tangannya.
“Tapi nanti aku kembaliin kok.
Makasih ya,” tambahku dengan senyum.
Segera saja aku menyeret langkahku ke
arah kursi yang masing kosong dan membuka buku tersebut di atas meja. Begitu
juga dengan dia yang memilih duduk di depanku sekarang.
Dengan rasa malas, kubuka buku catatanku
dan mengambil bolpoin di saku baju seragam.
Sejenak mengambil nafas dalam, sampai
kemudian bersiap untuk menyalin buku catatan milik si kutubuku kampungan itu.
Ya Tuhan, seharusnya aku tidak boleh memanggilnya
seperti itu lagi. Dia sudah sangat baik padaku, mau meminjamkan buku catatannya
dan bahkan rela memberikannya secara cuma-cuma.
Lalu, aku harus memanggilnya apa?
‘Momentum’?
Tidak, bahkan itu lebih parah dari
sebutan ‘kutubuku’.
“Oh iya, nama aku Kris, kamu?” kataku
meperkenalkan, sembari tanganku masih berkutat dengan bolpoin yang aku pegang
sekarang. Pandanganku masih terkunci ke arah buku.
Hening. Tak ada jawaban darinya. Aku
melirik sebentar ke arahnya, dan ternyata dia hanya diam saja. Tak menghiraukan
aku sama sekali. Mungkin kesadarannya memang sudah tenggelam ke dalam buku yang
dibacanya.
Aku mendengus kesal. Mencoba untuk
lebih sabar menghadapinya.
“Ehem.. “ seruku cukup keras. Membuat
pundaknya bergerak cepat. Raut wajahnya kebingungan.
“Aku Kris, nama kamu siapa?” tanyaku
lagi, kali ini tatapanku kulempar penuh ke arahnya.
“Ssttt…. Jangan kerras-keras,”
bisiknya, membuatku kikuk.
“Kinal,” jawabnya pelan, sampai
kemudian kembali menunduk. Mencoba kembali tenggelam ke dalam bukunya.
Entah bagaimana bisa buku yang
mempunyai tebal hampir sama dengan satu batu bata itu lebih mampu menarik perhatiannya
dariku.
Bahkan semenit lebih lamanya aku
melirik ke arahnya, tatapannya sama sekali tak ada yang mengarah padaku.
Sepenuhnya dia curahkan untuk membaca banyak kalimat yang tertera pada buku
tersebut.
Gila, sepertinya dia memang sudah sangat
gemar membaca.
Sejenak aku tersenyum setelah
menyadari bahwa gadis di depanku ini sangat berbeda sekali dengan siswi lain. Dia
bukanlah siswi genit dan munafik yang biasa aku temui selama ini. Bahkan aku
sendiri tahu dari matanya tadi saat menawarkan buku catatanya kepadaku. Binar
matanya tadi sama sekali tak memancarkan rasa pamrih. Aku hanya menangkap murni
keikhlasan dari kedua matanya yang setulus itu.
Aku tahu. Mungkin ini terlalu dini
untuk menilai sifatnya. Namun aku yakin, dia sangatlah berbeda. Terlebih lagi, dia
mampu menggetarkan hatiku dengan senyumnya.
“Kayaknya aku nyalinnya di rumah aja
deh. Aku bawa pulang aja ya?” tanyaku setelah mulai bosan menulis.
“Aku sudah bilang, itu sudah menjadi
milikmu. Terserah kau saja.”
“Iya, pokoknya besuk aku kembaliin
deh,” janjiku padanya.
“Terserah kau saja,” bisiknya lirih
sembari mendengus pelan di hadapan bukunya.
Dasar Momentum aneh!!
***
Hari telah berganti. Langit juga cerah
seperti biasanya. Segera saja, setelah bel tanda istirahat berbunyi aku
langsung keluar kelas dan menyeret langkahku menuju kantin sekolah.
Hanya saja kali ini berbeda. Niatku
pergi ke kantin bukan untuk mengisi perutku, melainkan hendak bertemu Kinal
yang mungkin saja sedang berada di sana.
Ternyata benar, setelah aku tiba di
sana, dia tampak sedang menikmati pesanannya di salah satu sudut ruangan kantin.
Tanpa ragu aku mendekatinya yang sedang sendirian di sana.
Dia memang suka menyendiri
mungkin.
“Kinal” panggilku saat dia tengah
menikmati jus alpukat.
“Ya?”
Aku mengambil tempat di depannya.
Seraya menempatkan kedua siku tanganku di atas meja.
“Sorry, ya. Buku catatanmu belum
selesai. Jadi mungkin balikinnya besuk pagi?” kataku membuat dia mendengus
pelan.
“Harus berapa kali aku bilang? Buku
itu sudah jadi milikmu. Tidak kau kembalikan juga tidak apa-apa,” ketusnya
sembari sebelah tangannya sibuk menyuapi dirinya sendiri.
“Terus kamu gimana?” tanyaku
kemudian.
Raut wajahnya berubah. Tangannya
berhenti sejenak. Tampak berpikir di kursinya. Kemudian dia menggerakkan
sendoknya kembali.
“Ah, sepertinya aku sudah tidak
membutuhkannya lagi,” jawabnya kemudian.
“Kok gitu?”
“Ya mungkin seperti itu,” jawabnya
santai, sembari kemudian menyeruput es teh.
“Eh, Ngomong-ngomong, kok gaya
bahasamu gitu sih? Formal banget,” tanyaku nekat.
“Memangnya kenapa?”
“Ya aneh aja,”
“Sudahlah, belikan aku semangkok
batagor lagi, dan buku itu resmi jadi milikmu,” katanya memerintah.
“Oke-oke, tapi tetep bukumu aku
balikin besuk. Aku gak mau ngerepotin orang. Apalagi kamu,” kataku bersikeras.
“Hahaha, merepotkan orang? Kau ini
sudah merepotkan aku. Dasar keras kepala. Cepetan, aku masih lapar ini !”
serunya membuatku tertawa renyah, diikuti oleh senyumnya yang merekah.
Iya senyumnya. Senyum yang indah itu.
Ah sial, hatiku bergetar lagi karenanya
…
***
Sudah sekitaran tiga puluh menit
selepas istirahat pertama tadi, aku memperhatikan guru yang sedang mengajar di
depan kelas. Sedangkan Suho dia masih saja memaksaku untuk menjawab ribuan
pertanyaan darinya. Dia mulai berpikir yang tidak-tidak padaku, setelah
mendapati aku dengan Kinal di kantin tadi.
“Aku masih nggak percaya. Beneran!,”
bisiknya pelan. Membuatku mendengus kesal ke arahnya.
“Terserah.”
“Jujur aja deh. Kamu suka kan sama
cewek kutu buku itu?” tuduh Suho menyebalkan.
“Namanya Kinal,” tegasku
“Terserah mau namanya siapa, tapi
kamu suka kan?” tanyanya lagi membuatku tak sabar ingin membungkam mulutnya
dengan batagor.
“Nggak. Aku nggak segampang itu suka
sama cewek. Emangnya kamu? Gampangan,” cibirku.
“Hihhh !” umpatnya lirih. Aku tertawa
kecil.
“Yakin?” tanyanya masih tak percaya.
“Yakin deh” kataku santai, membuat
dia bernafas lega.
“Syukurlah kalau gitu. Aku kira kamu
naksir sama dia,” bisik Suho pelan.
“Apa kata orang coba jika siswa
paling tampan se-SMA ini menyukai cewek yang aneh dan cupu? Hancur reputasimu,
Kris!” kata Suho cerewet.
“Jangan panggil dia cupu, panggil dia
Kinal. Sekali lagi kamu panggil dia cupu, aku hajar kau! ” gertakku pada Suho.
“Kris?” Suho memiringkan kepalanya
sejenak. Dahinya mengernyit saat itu juga.
Belum sempat aku menjawab
kebingungannya, suara lantang terdengar dari arah depan.
“KRISSSS !!! SUHO !!! KELUAR !! ”
seru Bu Lidya menyeramkan.
***
Langkahku bertambah cepat, sebanding
dengan rasa keinginanku untuk cepat sampai ke suatu tempat. Hari ini aku hendak
menuju kelas 11 IPA 3 yang terletak di lantai tiga sekolahku. Ya, kelas Kinal
ada di sana.
Ah, jarang sekali aku naik ke lantai tiga.
Bahkan aku sendiri saja lupa kapan terakhir kali aku ke sana. Kalau bukan
karena ingin menemui Kinal, mana mungkin aku mau?
Maksud aku, mengembalikan bukunya.
“Kinal nya ada?” tanyaku pada siswi
yang sedang berdiri tepat di mulut pintu kelas.
“Kris?” panggilnya lemah, membiarkan
mulutnya sedikit terbuka. Senyumnya merekah kemudian dan tatapannya menusuk ke
arahku.
“Halo … “ seruku mencoba
menyadarkannya, sembari melambai-lambaikan telapak tanganku tepat di depan
wajahnya.
“Oh, hai Kris. Tumben ke sini. Mau
ketemu aku ya?”
“Er.. Kinal nya ada?”
“Si cupu?” tanyanya ketus, memaksaku mengangguk
pelan.
“Hari ini sih dia nggak masuk. Nggak
tau deh kenapa. Nggak penting juga sih.”
“Nggak ada keterangannya ya?”
“Nggak kayaknya, akhir-akhir ini dia emang
sering bolos sekolah,” terangnya membuatku mematung sejenak.
“Eh, mau kemana?” tanyanya saat aku
membalikkan badan.
“Aku harus kembali ke kelas dulu.”
“Kenapa terburu-buru sih. Kita kan
belum kenalan. Aku Naomi,” katanya sembari menyodorkan telapak tangan.
“Oh ya, Hai Naomi. Tapi aku harus
pergi dulu. Maaf” pamitku sembari melambaikan tanganku padanya.
Wajahnya berubah kesal bersama dengan
telapak tangannya yang aku abaikan.
Sudah aku katakan, aku tak menyukai
gadis seperti itu.
Yang aku suka hanyalah gadis yang
baik, tenang, ikhlas dan mampu membuatku tertawa.
Walaupun dia suka membaca ...
Iya, perlahan aku mulai menyukainya.
***
Hari berlalu dengan sangat cepat dan
aku masih tak menemukan Kinal di sekolah. Sudah seminggu lamanya buku catatan
Kinal ada di tanganku, dan aku belum sempat mengembalikannya.
Ya karena dia tak pernah masuk
sekolah akhir-akhir ini. Bahkan sampai sekarang pun tidak ada yang tahu di mana
dia sekarang.
Kuhubungi nomor ponselnya – yang aku
dapatkan dari salah satu temannya- selalu saja gagal. Tak ada jawaban darinya. Aku
coba cari tahu dari wali kelasnya, beliau justru memilih bungkam. Tak mau
menjawab pertanyaan dariku. Harus ke mana lagi aku mencari Kinal?
Meminta tolong Suho?
Tidak, dia pasti akan menertawakanku
nantinya. Dia pasti akan berpikir bahwa aku memang menyukai Kinal.
Ya walaupun kenyataannya memang benar.
Aku mulai suka dengannya.
Gadis kutubuku itu telah membuatku
merasa kehilangan selama seminggu ini. Baru kali ini aku merasakan hal seperti
itu.
Apakah ini yang namanya jatuh cinta?
Aku tak begitu yakin dengan
perasaanku sekarang.
“Kris!” teriak Suho di mulut pintu
kelas. Membuyarkan wajah Kinal yang sempat melintas dibenak. Aku mendongak ke
arahnya, melihat nafasnya memburu mendekatiku.
“Kutubuku itu…”
“Kinal?” dia mengangguk.
“Ya, gadis aneh itu akhirnya pindah juga
dari sekolah. Hahahaha,” lanjut Suho sambil menyunggingkan senyum lebar.
Membuatku naik pitam melihatnya.
Segera saja aku beranjak dari kursi
dan menabrak tubuh Suho di samping meja. Membuat tubuhnya membentur meja lain
dan hampir tersungkur di lantai.
Aku sudah tak peduli dengan raut
wajah Suho yang mungkin terheran-heran dengan sikapku ini, karena yang
terpenting sekarang aku harus bertemu dengan Kinal sekarang juga.
Bagaimana pun caranya …
***
“Jadi, sekarang Kinal pindah ke
Jakarta?” tanyaku pada Veranda, teman sebangku Kinal.
Dia mengangguk pelan di kursi taman
sekolah yang sedang kami tempati sekarang. Raut wajahnya masih terlihat sedih,
tak secerah matahari yang menyinari dedaunan pohon di sekitar.
“Ya gitu deh. Impiannya untuk jadi idola
terkenal emang udah bulat sejak dulu, dan mungkin ini emang udah takdirnya,”
terang Veranda sedikit menunduk. Wajahnya terus saja muram sejak aku
menemukannya di taman ini.
“Tapi kenapa mendadak begini, ya?”
sesalku pada takdir.
“Iya ya? Kamu yang baru kenal sebetar
aja kecewa, apalagi aku yang udah setahun lebih,” kata Veranda mendengus lagi.
Membiarkan kenangannya bersama Kinal menyelimuti benaknya sekarang.
“Kris?”
“Ya?” aku menoleh ke arah Veranda.
“Kapan mau balikin buku Kinal?”
Pertanyaan gadis di sampingku
membuatku berpikir sejenak. Pandanganku terlempar jauh ke arah riuh ramai siswa
yang bermain basket di sana. Bibirku kaku tak bisa menjawabnya.
Sampai kemudian, aku menemukan jawaban
yang tepat.
“Entahlah … “
*** Flashback ends ***
“Halo,” aku menempelkan ponselku ke
telinga.
“Ya, Kris. Sorry nganggu.”
“Nganggu banget. Ada apa?” kataku
lagi.
“Hissh! Cuma mau ngingetin, besuk
jangan sampai kesiangan. Kita harus datang lebih pagi dari event kemarin.”
“Ya,”
“Terus jangan lupa juga, mampir dulu
ke rumahku. Besuk kita harus bawa banyak banner untuk Kinal,” kata Suho
mengingatkan.
“Iye ye, tahu lah. Kamu kan emang Nebengerss,” cibirku. Aku tertawa kecil.
“Yaelah, kamu kan yang bisa nyetir,
Kris.”
“ Hahaha. Iya gak papa,” kataku tenang.
“Kris?”
“Ya?”
“Jangan lupa juga,”
“Apa?” tanyaku.
“Buku catatan Kinal,” kata Suho
mengingatkan lagi untuk yang satu ini, membuatku menelan ludah.
Memang, rencananya besuk aku akan
mengembalikan buku itu kepada Kinal. Setelah tiga tahun lamanya memenuhi laci
mejaku yang hampir terisi penuh sekarang.
“Sudah aku masukan ke dalam tas,”
jawabku setelah hening sebentar.
“Bagus. Sekarang mendingan langsung
tidur aja deh, biar besuk gak kelihatan ngantuk pas handshake sama Kinal,” kata
Suho bawel.
“Ah, dasar cerewet,”
****
Keesokannya, tepat pukul delapan
pagi, sesi pertama untuk acara handshake festival dimulai. Segera saja aku
mengantri di jalur sembilan, jalur di mana Kinal berada sekarang.
Sampai kemudian, setelah cukup lama
menunggu antrian, akhirnya aku mendapat giliran untuk masuk ke dalam bilik
handshake Kinal.
Gugup?
Sangat gugup sekali.
Jantungku selalu berdetak cepat saat
hendak menemuinya di dalam bilik. Padahal ini bukan kali pertama aku bertemu dengannya,
namun entah kenapa jantungku selalu saja sulit diajak bekerja sama.
Terlebih lagi, hari ini begitu
spesial untukku, dan mungkin juga untuk Kinal.
Semoga saja rencana hari ini
berhasil.
“Hai, Kriss,” pekik Kinal pelan
sesaat setelah aku masuk ke dalam biliknya. Terlihat dia memakai gaun bergaya
India waktu itu. Ditambah lagi dengan aksesoris yang semakin membuatnya
terlihat mirip dengan Kajol.
Kajol versi rambut Dora The Explorer.
“Aku punya satu menit nih, langsung
aja ya,” kataku seraya mengaitkan kedua telapak tanganku dengan kedua tangannya.
Kami berdua bersalaman.
“Gimana kabarmu di jeketi?”
“Baik, kamu gimana?”, jawabnya ceria.
“Aku juga baik. Wah, semenjak jadi
member, kamu udah gak pakai bahasa anehmu itu ya? hahahaha,” cibirku.
“Hahaha, iya. Soalnya aku di sini
sudah punya banyak teman. Mereka baik-baik, dan juga sayang sama aku,”
terangnya.
“Aku juga sayang,” kataku keceplosan.
“Maksudnya?”
“Er… ya aku juga sayang sama keluarga
aku,”
“Ya semua harus sayang sama keluarga
dong. Hahaha”, katanya tertawa lagi.
“Oh ya hampir lupa, selamat ya kamu
kepilih senbatsu single ke-6. Bannernya udah dipasang di depan kok. Tadi Suho
yang masang,”
“Wah, makasih ya. Suho juga ke sini?”
“Iya, yang dulu suka ngatain kamu
itu. Dunia berputar dengan cepat ya,”
“Hahahaha, gak papa kok.”
“Oh iya, ada satu lagi,” kataku melepaskan
genggaman tangannya.
“Apa?”
“Ini buku catatan kamu, aku
balikiin,” kataku seraya meletakkan buku miliknya di atas meja.
“Beneran nih?”
“Iya,” kataku mantap.
“Ya udah, nanti kalau mau pinjam
lagi, mention aja ya. Hahaha,” dia tertawa lagi.
“Yee, emang aku masih SMA,” kataku
padanya. Kami berdua pun tertawa.
Namun, tiba-tiba saja suara berat terdengar
dari arah samping. Security mendorong-dorongku untuk segera meninggalkan bilik.
“Ya udah ya, Nal. Tetap semangat
pokoknya,” kataku sembari menerima sticker pemberiannya.
“Sip. Datang lagi ya, Kris,” sahutnya
ceria sambil melambai-lambaikan tangannya.
***
Setelah bersalaman dengan Kinal tadi,
aku langsung pergi keluar dari gedung tersebut. Meninggalkan Suho yang masih
mengantri di jalur sembilan.
Ya sekedar untuk mencari udara segar
sembari menikmati softdrink di dalam mobilku.
“Halo,” panggilku untuk yang di sana.
“Kris?”
“Ya, ini aku, Ve.”
“Ada apa?” tanyanya dari balik
ponsel.
“Aku cuma mau bilang kalau buku itu
udah aku kembaliin ke Kinal tadi,”
“Beneran?”, tanyanya.
“Iya,” jawabku santai.
“Kamu nggak nyesel?” tanyanya lagi.
“Kenapa harus nyesel?”
“Tapi kan?”
“Sudahlah, Ve, aku nggak papa kok. Aku
emang harus ngelupain Kinal. Sudah saatnya aku membuka hati untuk orang lain. “
kataku cukup panjang. Setidaknya membuat dia tenang.
“..dan demi kelangsungan hubungan
kita, aku rela mengorbankan apa yang sebenarnya berat untuk aku lakukan,”
sambungku.
“Makasih ya, Kris,” kata Veranda
terisak.
“Iya, Ve“ jawabku singkat, dan
kemudian membiarkan hening mengisi kekosongan percapakan kami untuk beberapa
saat.
Membiarkan memori pertengkaran yang
terjadi beberapa hari lalu untuk mengisi benak kami masing-masing.
Sungguh, aku benar-benar telah
menyakitinya selama ini.
“Hm..bagaimana kalau nanti kita makan
malam?” ajakku.
“Di mana?” tanyanya.
“Ada deh. Pokoknya bidadariku nanti
harus cantik dan wangi. Aku jemput jam tujuh, oke?”
“Terserah kamu aja deh, sayang.”
Oh, jadi ini bidadarinya Kris? |
-- Tamat --
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar