Basketball
Aku mencitaimu, bahkan sebelum kau tahu sedikit pun.
Seseorang pernah berkata padaku bahwa suatu hari nanti akan ada hari yang sangat tidak kau inginkan. Sangat tidak kau harapkan, dan rasanya ingin sekali kau menyesali semua yang pernah kau lakukan yang terbukti hanya membuang waktumu saja. Bahkan bisa jadi, penyesalan tersebut akan membuatmu tenggelam dalam kesedihan yang mungkin saja tak akan ada ujungnya untuk dirimu sendiri.
Percayakah kau pada hal tersebut? Dulu aku tak percaya. Tapi sekarang aku tahu bahwa kebenaran itu ada di depanku sekarang. Dirinya tengah menggaruk kepalanya, dengan balutan jas hitam menghias tubuhnya.
"Aku kira kau tak datang," katanya meringis sembari menggaruk beberapa kali kepalanya. Sebelah tangannya menggenggam sebuah map berisikan lembar nilai akhir sekolah. Seiring dengan itu ratusan tamu undangan sudah tampak meninggalkan gedung acara.
"Selamat," kataku padanya. Membuat senyumnya melebar. Aku masih duduk di atas tempat dudukku dan dirinya ikut merapat di samping kiri. Menyandarkan punggungnya setelah beberapa menit tadi berdiri di atas panggung.
"Terima kasih, kalau bukan karenamu juga, aku tak akan seperti ini," kedua tangannya lalu membuka map dan memperlihatkan lembar nilai padaku. Memperlihatkan nilai sempurna pada baris 'Bahasa Inggris' di tabel lembaran tersebut.
"Ah, semua ini juga karena kau sendiri. Aku hanya membantumu sedikit."
"Tidak, Shanju. Aku sangat berterima kasih padamu," ucapnya membuat senyumku turut melebar juga. Pandanganku kubiarkan menerawang setiap inchi wajahnya yang cerah dan senyum yang masih memperlihatkan giginya yang rapi. Sangat berkebalikan dengan raut wajahnya beberapa bulan lalu mengeluh dengan rumitnya tense pada kamus dan idiom yang sama sekali tak masuk akal baginya.
"Sama-sama," balasku, kepada wajahnya yang tampan.
Aku pikir memang demikianlah adanya. Rambutnya yang lebat - hampir menutupi dahinya, membuatku sangat terpesona. Berbalut kacamata yang membantu lensa matanya menangkap objek kabur, tak menyurutkan sedikit pun kharisma dalam dirinya. Bahkan bisa dibilang, aku sangat menyukai dengan bagaimana dia memakai kacamata, dengan bagaimana dia membaca buku dan berolahraga denganku setiap sore. Dia memang sering melatihku berolahraga.
"Nju?" panggilan lirihnya membuyarkan lamunku.
"Ah, Ada apa Boby?" aku mengerjapkan mata beberapa kali.
"Setelah ini aku akan meninggalkan sekolah. Kau tak apa kan?" tanyanya terdengar ambigu. Membuatku sejenak memikirkan apa maksudnya.
"Ya, jelas aku tak apa." jawabku ragu, membuatnya tampak mendengus pelan seraya melihatku dengan tatapan lemahnya. Aku tak tahu dengan apa yang sedang dia pikirkan sekarang, tapi air mukanya menunjukan kekecewaan.
"Bagaimana dengan tim basket kita nanti?" tanyanya serius. Membuatku mengalihkan pandangan pada banner dekat panggung. Memikirkan tentang suatu jawaban yang harus aku lontarkan untuknya. Aku sendiri juga tidak tahu dengan nasib tim basket sekolah kami nanti. Bahkan aku tak pernah memikirkannya.
"Tenang. Semua akan baik-baik saja." jawabku sembari menepuk pundaknya beberapa kali. Berusaha mencoba untuk membuat hatinya tenang. Tim basket sekolah memang sangat berharga untuknya.
"Semoga saja demikian," Boby mengalihkan pandangan ke arah lain. Membuang pandangan dariku. Begitu pula aku yang lebih memilih map milik Boby sebagai objek pandanganku sekarang. Aku tak tahu lagi pada apa aku harus memandang, karena pikiranku benar-benar ketakutan sekarang,
"Sangat sulit menentukan kapten dalam tim, bukan?" tanya Boby seolah memaksaku untuk mengangguk.
"Ya,"
"Ah, bagaimana kalau kau saja yang menggantikanku? Aku rasa kau cocok menyandang kapten tim." ujarnya sesuai yang aku pikirkan sebelumnya. Sesuai dengan ketakutanku saat dia mulai membahas hal ini. Membuat dadaku sesak dan tubuhku yang seolah memberat saat itu juga.
Menjabat kapten? Tidak. Aku rasa benar-benar tidak. Aku sudah tak menginginkannya lagi. Benar-benar tidak menginginkannya. Bahkan jika tawaran ini datang beberapa bulan yang lalu, aku akan menyesal jika menerimanya. Setelah tahu bahwa suasana sekarang ini sangat menyedihkan.
"Bagaimana? Kau setuju kan?" Boby memandangku lekat, seolah ingin menerawang pupil milikku.. Lewat sorot matanya yang dalam, aku mengerti bahwa dia ingin aku menerima tawaran darinya.
Namun, tidak kah semua yang ditawarkan itu harus diterima, bukan? Karena sebagai manusia, aku masih punya hak untuk menentukan hal apa yang dirasa terbaik untuk diriku sendiri. Aku ingin menjalani kehidupan dengan apa yang telah aku putuskan.
"Gommen. Aku tak bisa, Boby." putusku pelan. Nyaris tak bersuara. Tapi gendang telinganya masih mampu menangkap suaraku jelas. "Aku tak berhak menyandang kapten,"
"Kenapa, Nju? Aku lihat kau selalu bersemangat dalam latihan. Aku bisa melihat tekadmu yang selalu membara kala kita berlatih bersama. Ya walaupun memang -"
" Walaupun memang sangat bodoh, bukan? Tak pernah sekalipun membuat poin untuk tim. Selalu gagal merebut bola. Selalu sukses direbut lawan. Tak bisa bermain baik untuk teman-teman semua. Sering digantikan oleh pemain lain." jelasku panjang membuat Boby terdiam pada kursinya.
"Jadi kau salah jika memilihku hanya karena semangatku. Karena sebenarnya aku tak suka bermain basket, Bob. Aku benci dengan bola basket," sambungku kali ini dengan selapis air bening menggantung di kelopak mata. "Semua ini aku lakukan hanya karena ingin mendekatimu, Bob." lanjutku ke arah wajah Boby yang masih terdiam mengamatiku. "Maafkan aku karena selama ini telah membohongimu," kali ini air mataku benar-benar membasahi pipi. Menyembunyikan merah pipi dari hadapannya.
Sedetik kemudian, tubuhku tertarik mendekati tubuhnya. Dia memeluk dengan sangat hangat. Menepuk punggungku beberapa kali, berusaha menenangkan dengan usaha yang dia punya. "Maafkan aku juga, Nju. Aku hanya bercanda," bisiknya satu senti dari telingaku.
Kemudian tubuhnya melepaskan pelukan. Memandang kembali kedua mataku yang berlinang. Senyumnya menggantung dengan tawa yang seolah tercekat dalam bibirnya. "Tak peduli dengan semua alasanmu tadi. Walaupun kau selalu gagal merebut bola dari lawan, namun- " katanya terpenggal. Membuat kedua alisku mengerucut.
"-namun kau selalu sukses membuat jantungku bergetar tak karuan."
"Boby?"
"Aku sangat mencintaimu, Nju, Bahkan sebelum kau bergabung dengan eskul basket pun, aku telah menyukaimu," jujur Boby lalu menciumku dengan lembut. Menjawab semua teka-teki yang ada dalam hatiku. Menjawab semua keraguan perasaan yang sering menyelimutiku setiap malam.
"Aku juga mencintaimu, Bob," kataku membuatnya tersenyum lebar.
"Aku juga mencintaimu, Bob," kataku membuatnya tersenyum lebar.
"Oh ya. Aku punya bunga untukmu. Semoga kau suka dengan hari kelulusanku ini, sayang."
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar