Maafkan Aku
Aku bisa mendengar suara
langkah kaki mendekat, tepat saat suara pintu rumah terbuka dan kemudian
tertutup kembali.
Tanpa menoleh pun, aku tahu
siapa dia. Seseorang yang telah lama membuat jantungku berdetak tak biasa.
Seorang wanita yang sudah lama tahu bagaimana cara membuatku nyaman setiap kali
berada di sampingnya.
Intinya, aku
mencintainya.
Telingaku masih mendengar
suara langkah kaki tersebut. Pikirku sudah terbiasa menebak bahwa dirinya nanti
akan memelukku dari belakang. Mencium rambutku, dan sesekali menggigit
telingaku dengan manja.
Ya seperti biasa. Dirinya
akan membuat aliran darahku berdesir tak menentu setiap kali bertemu.
Aku menunggu. Pada sofa yang
aku gunakan untuk menonton TV sekarang, tubuhku tak sabar untuk menanti
pelukannya. Kemudian membiarkan bibirnya melacak harum pada leherku dan
menggigit telingaku dengan lembut.
Namun sayang, hari ini dia
berlalu dan langsung berdiri di hadapanku. Melayangkan air muka yang kusut dan
berbeda dari biasanya.
Ada apa gerangan?
"Eh?" heranku.
Pandangannya masih menunduk. Dia sama sekali tidak memulai perkataan.
"Kenapa cemburut seperti itu?" tanyaku. Sembari mengusap-usap tubuh
sofa, mengisyaratkan dirinya untuk ikut duduk bersama.
Sungguh ini berbeda dari
biasanya.
"Aku hamil,"
katanya jelas. Tanpa sepenggal kalimat basa-basi. Membuatku terkesiap begitu
saja.
"Kamu hamil?"
tanyaku kembali, Seolah perkataannya barusan hanyalah gurauan belaka.
Dirinya mengangguk. Kedua
jemarinya sibuk mengaitkan satu sama lain, "Aku bingung sekarang. Apa yang
harus aku lakukan? Bahkan aku telah berniat untuk menggugurkan janin ini."
Dia kebingungan. Kedua
matanya mengalir deras air mata penyesalan. Sesekali sebelah tangannya menyeka
genangan air di sudut matanya.
Bahkan aku sendiri juga
tidak tahu apa yang harus aku lakukan padanya.
"Jangan, Veranda. Tuhan
sangat membenci perbuatan itu. Dosa!" ingatku padanya yang sudah tampak
frustasi.
Namun, tepat setelah aku
mnghentikan ucapanku barusan dia beralih tertawa sinis, "Apa? Kau bilang
dosa?"
"Ya?" jawabku
ragu.
"Sadar tidak jika
hubungan kita selama ini jauh lebih berdosa dari yang kau katakan
barusan?"
Aku terdiam. Namun tak
mengabaikan perkatannya. Hatiku merasa seperti dirajam habis-habisan. Sungguh,
baru kali ini kami membicarakan dosa. Baru kali ini juga kami membawa nama Tuhan
ke dalam pertemuan kami.
"Siapa yang
menghamilimu?" tanyaku padanya, sembari menatap harap untuk memaksanya
jujur.
"Dia dalah Brandon.
Suamimu, Nal. Maafkan aku."
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar