Bidadari
Jemarinya sungguh lentik.
Terlihat lembut dan halus bagaikan sutra. Kedua alinya melengkuk elok. Indah
bagaikan pelangi yang menghias langit seusai rintik hujan tiba. Tutur katanya
terdengar sopan. Menyentuh lembut hati, meniup angin sejuk masuk ke
arteri.
Setidaknya itu semua lah
yang terbesit di dalam, tepat saat sosoknya hadir di depanku sekarang.
"Hey," dia
membangunkanku dari lamun.
"Ah ya?"
"Jadi?" tanyanya
sembari memperlihatkan secarik kertas kepadaku. Sembari menunggu diriku
berucap.
"Aku tahu. Tidak jauh,
kok." jawabku sembari melayangkan senyum terbaik. Walau sebenarnya
tidaklah lebih baik dari senyum yang dia lontarkan. "Saya antar. Kebetulan
rumah saya tidak jauh dari alamat ini."
Dia mengangguk. Ya
mengangguk begitu saja. Seperti tanpa menaruh curiga sedikitpun. Sebelah
tangannya meraih helm pemberianku. Kemudian duduk di belakang dan menggenggam erat kedua sudut
kemejaku
Sungguh. Jantungku hampir jatuh ke
lambung dibuatnya.
***
Aku berhenti. Tepat di depan
gerbang rumah bercorak putih. Lalu melepas helm dan menunggunya turun terlebih
dahulu.
"Kau yakin ini rumahnya?"
bibirnya berucap tanya. Air mukanya terlihat polos. Sesekali dia mengerjapkan
mata dengan sempurna. Melirikku secara memukau.
"Ayo masuk,"
ajakku segera kepadanya yang masih bertanya-tanya.
Untuk pertama kalinya, aku
memberanikan diri untuk menyentuh tangannya. Menarik pergelangan tangan dan
menuntunya untuk masuk menuju ke dalam halaman.
Sebelah tanganku yang masih
bebas, ku tugaskan untuk membuka kunci gerbang. Membuat kedua alisnya yang elok
itu terangkat.
"Bagaimana
bisa kau berani membukanya?" ucapnya bingung.
Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Aku tak peduli. Aku hanya tersenyum dan sedikit mengabaikan pertanyaannya. Terlebih lagi, langkahnya tak pernah berhenti sejak aku menarik tangannya tadi. Dia terlihat patuh begitu saja. Masih mempercayaiku yang bisa dibilang sangat asing untuknya.
Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Aku tak peduli. Aku hanya tersenyum dan sedikit mengabaikan pertanyaannya. Terlebih lagi, langkahnya tak pernah berhenti sejak aku menarik tangannya tadi. Dia terlihat patuh begitu saja. Masih mempercayaiku yang bisa dibilang sangat asing untuknya.
Setelah kami sampai di depan
pintu. Lalu sebelah tanganku yang masih bebas, ku tugaskan kembali untuk meraih
sebelah tangannya yang lain. Mengaitkan jariku dengan jarinya lentik. Memandang
rupa wajahnya yang sangat cantik.
"Setelah aku ketuk
pintu ini, akan aku perkenalkan kau pada ibuku. Kan ku bilang pada beliau bahwa
aku sudah menemukan bidadari yang tepat untuk diriku."
Dia terdiam. Tak mengelak sama sekali.
"Maukah kau menikah
denganku?"
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar