Coba Tanyakan Selimut
" Naomi, aku mohon kasih gue kesempatan lagi. ", aku berlutut di hadapannya. Sembari menawarkan setangkai bunga mawar yang tampaknya akan percuma. Dirinya menangis, matanya yang merah mengeluarkan air mata yang deras.
" Lo jahat banget, Ji. sumpah. Lo tega ya selingkuh di belakang gue. ", dirinya tampak menyesali percintaan ini. Lalu melempar jauh pandangan ke arah lain. Seakan memang sangat membenciku.
" Gue bisa jelasin, yank. Gue sama Sinka cuma jalan biasa. Gue gak selingkuh sama adik lo.", dengan posisi yang masih sama, berlutut, gue berusaha menyakinkan dirinya. Walau Naomi masih semangat mengeluarkan air mata. Kemudian suasana hening. Aku diam menunggu responnya. Pandangannya masih jauh entah jauh kemana. Tapi aku yakin dia masih ingin menerimaku lagi.
" Lo cuma salah paham, beb. Gue gak mungkin setega itu. Apalagi kita udah lama ngejalanin semua ini. Gue cinta mati sama lo", kalimat itu mengalir begitu saja dari bibirku. Namun tampaknya percuma, Naomi berlalu meninggalkanku. Dia tak mau mendengarkan penjelasanku.
" Naomi. ", panggilku dari kejauhan. Dia masih mempertahankan langkahnya. Berpura pura tak mendengarku. " Gue mau ngelamar lo bulan depan. ", teriakku. Naomi terhenti, aku tersenyum melihat dirinya yang menghentikan langkahnya. Kemudian Naomi menoleh padaku, sepertinya usahaku membuahkan hasil. Kemudian aku berdiri menghampiri Naomi. Ku genggam tanggan kanannya, ku labuhkan setangkai bunga mawar tepat di atas telapak tangannya itu.
" Gue belum sempet beli lo cincin, tapi seenggaknya setangkai mawar ini bisa jadi saksi cinta kita. ", sahutku sembari menuntun jarinya.menggemggam tangkai bunga mawarku. Ku lihat matanya mengering. Air mata yang membanjiri kelopak matanya sudah surut mengalir di setiap sela sela pipi. Aku tersenyum, bersamaan dengan senyumnya yang merekah. Firasatku mengatakan bahwa dia akan menerimaku lagi. Aku sangat yakin itu.
" Bulan depan lo mau ngelamar gue? ", tanya Naomi padaku. Mata sipitnya seolah mengancamku untuk tidak berdusta padanya.
" Gue janji. ", jawabku agak terbata. Entah mengapa sebenernya aku juga masih ragu sama Naomi. Tapi aku gak mau kehilangan Naomi begitu saja.
DOR!!!!!!
Suara tembakan baru saja muncul dari tempat lain. Sinka yang berada di belakangku baru saja melayangkan peluru tepat di punggung. Seketika darah mengalir dari punggungku dan terus tanpa henti. Aku meringis kesakitan.
" Sinka? ", kagetku padanya. Dirinya masih menggenggam pistol dan membidikku kuat. Naomi hanya diam saja tak berbuat sesuatu untukku. Malah mereka berdua tersenyum, seperti kakak adik yang baru dibelikan boneka baru.
" Naomi? Sebenci itukah lo ke gue?", rintihku padanya yang hanya tersenyum melihatku terkapar. Bayangan wajahnya mulai samar. Pandanganku tengah gontai tak mampu fokus melihat mata sipit Naomi. Bibirku pucat. Aku hampir kehabisan darah.
Kemudian aku melhat Sinka mendekati kakaknya. Menyerahkan pistol yang ia bawa kepada Naomi sembari membicarakan sesuatu yang tak aku mengerti. Telingaku hampir mati. Aku hanya bisa terkapar dan mengerutkan dahi saat kejadian aneh ini berlangsung.
Tangan Naomi membidikku dengan pistol. Bersama Sinka, dia tersenyum melihatku. Aku yang terkapar hanya bisa menanti kejaiban agar Tuhan tak memanggilku hari ini.
" Bulan depan aku tunggu lamaran kamu ya. ", kata terakhir dari Naomi untukku sebelum dia menarik pelatuk pistol ke arahku.
DOR!!!!!!
Aku terjaga. Suara petir baru saja membangunkanku dari tidur malam. Hujan deras bersama angin yang lebat tengah menampilkan keperkasaanya di luar sana. Jendela kamarku basah kuyub dan menggigil karena dingin yang begitu menusuk. Namun keringat tengah bercucuran dari tubuh yang telanjang ini. Ternyata aku baru saja mimpi buruk di kamarku yang sengaja aku matikan lampunya.
Naomi, kekasihku membunuhku hanya gara gara aku selingkuh dengan adiknya. Mimpi yang konyol namun cukup menyeramkan untuk diingat.
Aku membenarkan selimutku. Kutarik dengan mantap agar tubuhku tak ikut menggigil kedinginan. Namun tampaknya tarikan selimut tadi membuat Sinka terbangun.
" Ini belum pagi kan? ", tanyanya padaku dengan rintih. Nada bicaranya menandakan bahwa dia masih setengah pulas. Kuraih kepala Sinka, dan kuraba rambut panjangnya yang wangi.
" Belum sayang. Malam kita masih panjang. Masih ada waktu mengulanginya lagi. "
" Lo jahat banget, Ji. sumpah. Lo tega ya selingkuh di belakang gue. ", dirinya tampak menyesali percintaan ini. Lalu melempar jauh pandangan ke arah lain. Seakan memang sangat membenciku.
" Gue bisa jelasin, yank. Gue sama Sinka cuma jalan biasa. Gue gak selingkuh sama adik lo.", dengan posisi yang masih sama, berlutut, gue berusaha menyakinkan dirinya. Walau Naomi masih semangat mengeluarkan air mata. Kemudian suasana hening. Aku diam menunggu responnya. Pandangannya masih jauh entah jauh kemana. Tapi aku yakin dia masih ingin menerimaku lagi.
" Lo cuma salah paham, beb. Gue gak mungkin setega itu. Apalagi kita udah lama ngejalanin semua ini. Gue cinta mati sama lo", kalimat itu mengalir begitu saja dari bibirku. Namun tampaknya percuma, Naomi berlalu meninggalkanku. Dia tak mau mendengarkan penjelasanku.
" Naomi. ", panggilku dari kejauhan. Dia masih mempertahankan langkahnya. Berpura pura tak mendengarku. " Gue mau ngelamar lo bulan depan. ", teriakku. Naomi terhenti, aku tersenyum melihat dirinya yang menghentikan langkahnya. Kemudian Naomi menoleh padaku, sepertinya usahaku membuahkan hasil. Kemudian aku berdiri menghampiri Naomi. Ku genggam tanggan kanannya, ku labuhkan setangkai bunga mawar tepat di atas telapak tangannya itu.
" Gue belum sempet beli lo cincin, tapi seenggaknya setangkai mawar ini bisa jadi saksi cinta kita. ", sahutku sembari menuntun jarinya.menggemggam tangkai bunga mawarku. Ku lihat matanya mengering. Air mata yang membanjiri kelopak matanya sudah surut mengalir di setiap sela sela pipi. Aku tersenyum, bersamaan dengan senyumnya yang merekah. Firasatku mengatakan bahwa dia akan menerimaku lagi. Aku sangat yakin itu.
" Bulan depan lo mau ngelamar gue? ", tanya Naomi padaku. Mata sipitnya seolah mengancamku untuk tidak berdusta padanya.
" Gue janji. ", jawabku agak terbata. Entah mengapa sebenernya aku juga masih ragu sama Naomi. Tapi aku gak mau kehilangan Naomi begitu saja.
DOR!!!!!!
Suara tembakan baru saja muncul dari tempat lain. Sinka yang berada di belakangku baru saja melayangkan peluru tepat di punggung. Seketika darah mengalir dari punggungku dan terus tanpa henti. Aku meringis kesakitan.
" Sinka? ", kagetku padanya. Dirinya masih menggenggam pistol dan membidikku kuat. Naomi hanya diam saja tak berbuat sesuatu untukku. Malah mereka berdua tersenyum, seperti kakak adik yang baru dibelikan boneka baru.
" Naomi? Sebenci itukah lo ke gue?", rintihku padanya yang hanya tersenyum melihatku terkapar. Bayangan wajahnya mulai samar. Pandanganku tengah gontai tak mampu fokus melihat mata sipit Naomi. Bibirku pucat. Aku hampir kehabisan darah.
Kemudian aku melhat Sinka mendekati kakaknya. Menyerahkan pistol yang ia bawa kepada Naomi sembari membicarakan sesuatu yang tak aku mengerti. Telingaku hampir mati. Aku hanya bisa terkapar dan mengerutkan dahi saat kejadian aneh ini berlangsung.
Tangan Naomi membidikku dengan pistol. Bersama Sinka, dia tersenyum melihatku. Aku yang terkapar hanya bisa menanti kejaiban agar Tuhan tak memanggilku hari ini.
" Bulan depan aku tunggu lamaran kamu ya. ", kata terakhir dari Naomi untukku sebelum dia menarik pelatuk pistol ke arahku.
DOR!!!!!!
Aku terjaga. Suara petir baru saja membangunkanku dari tidur malam. Hujan deras bersama angin yang lebat tengah menampilkan keperkasaanya di luar sana. Jendela kamarku basah kuyub dan menggigil karena dingin yang begitu menusuk. Namun keringat tengah bercucuran dari tubuh yang telanjang ini. Ternyata aku baru saja mimpi buruk di kamarku yang sengaja aku matikan lampunya.
Naomi, kekasihku membunuhku hanya gara gara aku selingkuh dengan adiknya. Mimpi yang konyol namun cukup menyeramkan untuk diingat.
Aku membenarkan selimutku. Kutarik dengan mantap agar tubuhku tak ikut menggigil kedinginan. Namun tampaknya tarikan selimut tadi membuat Sinka terbangun.
" Ini belum pagi kan? ", tanyanya padaku dengan rintih. Nada bicaranya menandakan bahwa dia masih setengah pulas. Kuraih kepala Sinka, dan kuraba rambut panjangnya yang wangi.
" Belum sayang. Malam kita masih panjang. Masih ada waktu mengulanginya lagi. "
Parahh parahhhh !!! Lagi pisan iki aku moco hahahaa
ReplyDeletemesum lu ji
ReplyDelete