Halaman Terakhir Buku Harian
Seperti biasa,
malam di sekitar taman rumah memang agak remang. Butuh beberapa buah lampu yang mungkin bisa membuat taman ini lebih
terang dari sebelumnya. Apalagi bulan di
malam ini tampak begitu redup, seperti tengah malu bak baru pertama kali
memantulkan sinarnya ke bumi. Bintang-bintang juga tampak tertidur, tak ada
satu pun dari mereka yang membuka matanya dan asik bermain di taman langit yang
lapang. Ditambah lagi keramaian suara jangkrik yang membuat taman ini terasa
sangat sunyi sekali. Sunyi dan sepi, seperti suasana hati yang tengah
menyelimuti laki-laki berkacamata, yang sejak beberapa jam yang lalu sudah duduk di kursi taman belakang rumahnya, sembari
membelai beberapa lembar buku di pangkuannya.
Tiba-tiba,
terbesit di benaknya akan halaman terakhir dari buku tersebut. Dengan cepat,
dia belai sampai halaman terakhir muncul. Kemudian bibirnya merekah, dia
tersenyum sembari matanya terus mengamati halaman tersebut. Tak ada mendung di
langit, tiba-tiba air misterius sudah membasahi sudut dan bola matanya. Cepat-cepat
dia menyeka bulir bening itu dengan tangan kanannya. Walaupun ada setetes air
yang berhasil jatuh membasahi kertas buku tersebut. Sekonyong-konyong,
pikirannya sudah dibawa kabur oleh sesosok wanita manis, bergigi taring nan
lucu.
***
“ Kalau aku
menikah nanti, kita tidak akan bisa lagi berduaan di sini. “ kataku padanya di
sela-sela keramaian taman kota. Dia hanya mengangguk lucu di sampingku.
“ Iya. Suatu
saat nanti, aku juga akan menikah… “ ucapnya sembari menolehku. “ …dengan
laki-laki yang tampan tentunya, bukan seperti kamu. “ tambahnya.
“ Ah..kau ini.
“ aku menyenggol lengannya, kita berdua tertawa cukup keras.
“ Aku juga akan
menikah dengan perempuan yang cantik, dan juga mencintaiku apa adanya. Ah tapi,
bukankah semua laki-laki memang mendambakan perempuan seperti itu? “ tambahku.
“ Perempuan
cantik memang banyak, tapi yang mencintai apa-adanya itulah yang sulit. Tapi
percayalah, sulit bukan berarti tak bisa. “ ucapnya sembari matanya bergerak
lagi menelusuri buku novel yang tengah dipegangnya.
“ Kalau kamu,
tipe perempuan yang menerima apa-adanya bukan? “ tanyaku iseng. Aku hanya ingin
mencoba membuatnya sedikit malu.
“ Tapi yang
jelas, aku tidaklah secantik yang kau inginkan. “ jawabnya dengan nada sedikit
meledek, sembari menoleh ke arahku cukup lama, namun daya tarik novel masih
lebih kuat dibanding diriku sendiri. Dia kembali tenggelam ke dalam novelnya.
“ Suatu saat
nanti, aku akan menemukan perempuan yang ngangenin dan menerimaku apa adanya “ celetukku. “ .. dan pastinya juga cantik. “ tambahku.
“ Omong kosong!
“ umpatnya cengengesan.
“ Iya serius.
Aku akan membuktikannya. “
“ Kita lihat
saja nanti. " ucapnya menantang.
Beberapa jam
setelah obrolan tersebut, kami berdua pulang bersama. Dengan mobil hitam milik
ayahku, dia duduk di jok samping
tempatku menyetir. Seperti kisah persahabatan lainnya, kami berdua memenuhi
seluruh ruang mobil dengan celotehan dan candaan. Hingga pada akhirnya, kami
berdua berhasil menghantam mobil lain dari arah berlawanan yang kebetulan
memang tengah melaju dengan kencang. Takdir tak dapat dihindar, bahkan aku tak
tahu bagaimana kejadian tersebut bisa begitu saja terjadi. Yang kurasakan hanya
tenang waktu itu dan pandanganku gelap total. Aku tak bisa merasakan apa-apa..
Setelahnya aku
sudah berbaring dengan piyama hijau dan hidungku sudah tertutupi dengan bantuan
pernapasan. Tangan kananku sudah terhubung oleh selang infus bening. Dengan
ragu aku membuka perlahan mataku. Walau silau lampu kamar yang sedang aku
tempati tersebut cukup menyiksa, aku mencoba untuk mengondisikan pupilku. Berulang
kali aku mengedipkan mata, sampai kemudian aku dapati sesosok wanita telah
berdiri di samping tempat tidur tempat aku dirawat.
“ Kau sudah
sadar. “ katanya lembut.
“ Ada apa? “
“ Kau tak
sadarkan diri selama 3 hari. “ jelas Nobi padaku. Sedetik kemudian, aku
berniat untuk mengingat kembali kejadian apa yang telah terjadi padaku, hingga
membuatku harus menggunakan piyama hijau ini. Tapi dasar otak jika tak
digunakan selama 3 hari memang membuat kepalaku cepat pusing. “ Mobil itu. Aku ingat sekarang. “ gumamku.
“ Bagaimana
denganmu? Kau baik-baik saja kan? “ cemasku sembari menahan sakit yang
menjalar di kepala.
“ Tak usah
berpikir macam-macam dulu. Kau masih butuh banyak istirahat. Dokter sebentar
lagi akan ke sini. “ dia tersenyum memperlihatkan gigi taringnya yang lucu.
Memang benar
kata Nobi, aku masih butuh banyak istirahat agar rasa sakit di kepala dan
tubuhku mereda. Bahkan aku bisa melihat sendiri kalau dirinya baik-baik saja,
buktinya dia masih kuat berdiri menungguku terbangun dari koma. Syukurlah kalau
memang begitu.
Sejenak aku
menutup mataku, mencoba untuk kembali menggali peristiwa tersebut. Belum sampai
setengah menit, suara pintu terbuka terdengar. Dengan sigap, laki-laki dan perempuan
berseragam putih mendekatiku, sembari tangannya tengah sibuk meraba beberapa
peralatan di sekitar. Diikuti dengan Ayah, Ibu dan saudara-saudaraku masuk ke
dalam ruanganku dengan serempak. Mata ibuku basah, aku bisa melihatnya dari
kejuahan yang tampak bengkak.
“ Akhirnya kau
sadar juga, nak. “ kata beliau. Aku hanya tersenyum, masih bingung untuk
mengatakan apa selain memberikan mereka seberkas senyuman. Tangan beliau
mengusap-usap lembut rambutku. Usapan yang begitu menenangkan. Mungkin beliau
takut kehilangan diriku..
***
“ Ayah. “ panggil anak perempuan kecil kisaran 4 tahun memecah lamunannya. Diikuti dengan
wanita cantik berambut sebahu, mereka berdua mendekati laki-laki berkacamata
tersebut.
“ Iya, sayang.
“ laki-laki tersebut membentangkan kedua tangannya menyambut buah hatinya yang
tengah berlari kecil menghampiri. Lalu menempatkannya di atas pangkuan.
“ Jangan
dipangku ayah dong, Nak. “ tegur si Ibu.
“ Nggak papa, Sayang.
“ katanya sembari mengusap-usap rambut anaknya dengan lembut. Seraya anak
tersebut menyederkan kepalanya di dada ayahnya, tampak seperti menikmati wujud
kasih sayang ayahnya tersebut.
Jelas, seorang
ayah memang harus menyanyangi putrinya, terlebih lagi laki-laki tersebut tidak
mau jika harus kehilangan orang yang dicintainya lagi.
“ Sayang, besuk
kita ke permakaman Nobi. Aku sudah sangat rindu dengannya. “ Kinal hanya
mengangguk mengiyakan permintaan suaminya itu.
“ Nobi ? Kok
namanya sama sih, Yah? “ tanya anak tersebut dengan polosnya.
“ Iya ,
sayang. Ayah sengaja beri kamu nama itu, supaya kamu jadi anak yang lucu dan
ngangenin. “ jawab laki-laki tersebut sembari mencolek batang hidung putrinya.
Mereka bertiga lalu tertawa di taman belakang rumah mereka.
Dengan
hati-hati, laki-laki tersebut kemudian berjalan masuk menuju rumahnya. Tentunya
dibantu oleh Kinal, istrinya yang selalu setia menemani bahkan membantunya belajar
untuk bisa berjalan kembali. Dia adalah wanita yang tak pernah mengeluh saat harus
mendorong suaminya di kursi roda, dan menarik tangan suaminya saat terjatuh
dari kursi. Tapi syukurlah, kata dokter, sebentar lagi dia akan bisa berjalan. Terapi
yang dilakukannya selama ini ternyata tidak sia-sia.
Tapi yang
jelas, dia telah berhasil menikahi perempuan cantik dan yang bisa menerima dia
apa-adanya. Walau harus kehilangan sahabat terbaiknya, Nobi. Wanita yang
dimakamkan saat laki-laki tersebut tengah dalam koma.
“ Aku
berhasil, Nobi. Kau sudah lihat kan? Kinal lah orangnya. Perempuan yang aku
janjikan padamu waktu itu. Semoga kau menemukan laki-laki tampan di surga sana.
“ ucap laki-laki tersebut sembari memandang lekat-lekat foto Nobi di halaman
terakhir buku hariannya.
Tuhkan giginya lucu |
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar