Terlambat Memang
Unyu betzzz |
Aku duduk sendiri, saat hujan beramai-ramai
menghempaskan diri ke bumi. Duduk di halte, sembari menanti jemputan bus yang
biasanya sudah tiba saat senja bekerja. Tapi ini hujan, tak ada senja untuk
hari ini. Mungkin bus tidak akan lewat.
Kanan kiri, mataku mencoba menelusuri percikan hujan,
sampai kemudian kudapati bayangan seseorang yang sedang berlari mendekat. Tentu
saja dia ingin berteduh, tidak ada manusia yang ingin sakit dan masuk rumah
sakit besuk.
Terlihat dia menggunakan tangannya seakan menjadi
payung untuk dirinya. Padahal percuma, bajunya sudah basah kuyub. Keringatnya
sudah bercampur dengan air hujan. Tapi setidaknya, dia telah berusaha untuk
menghindarkan tubuhnya dari air hujan. Walaupun dia tahu, hal itu akan percuma
saja.
Tak perlu waktu yang lama untuk mengenali sosok
tersebut. Dari alisnya yang tebal, matanya yang sayu, aku sudah bisa
menyimpulkannya.
Sekonyong-konyong, dia sudah duduk di sampingku.
Keberadaanya sukses membuat aliran darahku terasa membeku. Tapi syukurlah, aku
masih bisa memalingkan wajahku untuk tidak melihatnya. Tanganku merapat ke
tubuh, begitu juga kakiku yang mungkin sudah dingin. Udara memang dingin saat
hujan, bahkan menjadi lebih dingin tepat saat dia duduk di sampingku.
Dia meletakkan tas punggungnya ke depan. Kemudian
dibukanya tas hitam tersebut, dan dengan cepat dia mengeluarkan jaket. Dari
mana aku tahu? Aku meliriknya.
Tanpa basa-basi, tanpa ada ragu sedikitpun, dia
menawarkan jaket miliknya ke arahku. Aku pura-pura tidak tahu, aku tak peduli
dengan apa yang dia lakukan.
" Kau masih marah? " katanya memulai.
Tangannya masih menawarkanku jaket.
" Cepat pakai ini. Aku gak mau melihatmu
kedinginan. " tambahnya, sedikit memaksaku kali ini.
" Aku gak marah. Aku hanya ingin kamu lebih
dewasa. ", kataku secukupnya. Padahal aku sedang tidak mau berdebat lagi.
Dia meletakkan jaket di pangkuannya. Matanya masih
menatapku. Aku membalas tatapannya.
" Baiklah. Aku salah. Sekarang kamu pakai ini
" dia mengangkat jaketnya ke arahku.
" Seharusnya kamu minta maaf sama mama ku. Kalau
saja kamu bohong, pasti mama tidak akan jantungan seperti kemarin. " mendadak mataku tak kuat lagi menahan sesuatu yang hendak keluar. Semakin lama,
semakin kuat dorongan air mata untuk keluar. Sampai kemudian air mataku
berhasil membuat parit-parit kecil di ujung mataku. Aku memalingkan wajahku
darinya, berusaha untuk menyembunyikan air mata ini. Tubuhnya mendekat, dan
tangan kanannya melingkar ke tubuhku. Sedangkan tangan yang satunya menyeka
bulir air mata yang hendak jatuh dari pipi. Dia selalu tahu bagaimana membuatku
lebih baik.
" Maafkan aku, Nal. Aku cinta sama kamu. Aku
hanya ingin mereka tahu hubungan ini. Mau sampai kapan kita menyembunyikan
semuanya? " katanya, kali ini nadanya merendah. Tangannya masih melingkar
ke tubuhku. Dadanya kugunakan sebagai senderan kepala. Bahkan aku bisa
mendengar degub jantungnya, hangat tubuhnya yang masih sama seperti biasanya.
Tak bisa kupungkiri lagi, aku sangat mencintai laki-laki ini. Tapi aku sadar,
aku tak boleh mencintainya. Aku angkat kepalaku dari dadanya.
" Maaf, Ji. Tapi kita gak bisa lagi seperti ini.
"
" Maksud kamu? "
" Aku tahu 4 tahun memang waktu yang lama, tapi
memang sebenarnya kita ini salah besar. Kita tak seharusnya menjalin hubungan.
" terangku. Dia masih tak percaya dengan apa yang aku katakan.
" Kita udahan aja sampai di sini. " kataku
mengulang, yang mungkin akan merajami hatinya. Tatapannya lemah, lalu angkat
bicara.
" Gak bisa begitu dong, Nal. Kita memang kakak
adik, tapi kamu kan hanya adik tiri aku. Lagian mana mungkin aku tahu kalau
ayahku akan menikah dengan mamamu. Bahkan kalaupun aku tahu, aku tetap akan
mencintaimu. Aku bersumpah.. " sahutnya tak menerima keputusanku yang
sepihak.
Tangannya meraih tanganku dan menguncinya rapat-rapat. Aku bingung, antara melepaskan genggamannya atau membiarkan genggaman tersebut mengalirkan kehangatan ke tubuhku. Aku masih bisa merasakan kekuatan cintanya.
Tangannya meraih tanganku dan menguncinya rapat-rapat. Aku bingung, antara melepaskan genggamannya atau membiarkan genggaman tersebut mengalirkan kehangatan ke tubuhku. Aku masih bisa merasakan kekuatan cintanya.
" Aku juga mencintaimu, Ji. Tapi takdir berkata
lain. Papamu dan mamaku pasti tidak akan setuju. Aku ingin kita udahan saja
sampai di sini. Tolong ngertiin aku sekali ini saja. " jelasku sekali
lagi. Berharap semoga dia mengerti apa yang sekarang aku putuskan. Keputusan
yang sebenarnya juga tidak aku inginkan.
" Kalau memang begitu, bagaimana nasib dia ?
" dia mengusap-usap perutku.
" Dia belum tahu apa-apa, dia masih kecil dan tak
berdosa. Aku ingin dia lahir selamat nantinya. " tangannya berhenti
mengusap. Matanya keluar air mata. Aku bisa melihatnya, dari tatapannya yang
menunduk.
" Kita belum menikah, kenapa waktu itu kau
melakukannya? " sesalku.
" Semua sudah terlambat. Semua sudah terlambat,
sayang. Kau harus berani menghadapi ini semua. Aku akan bicara ke ayahku nanti
tentang janin itu. " katanya yakin. Tangannya meraih kepalaku untuk
merapat lagi ke dadanya. Dia memelukku dengan kuat, sejalan dengan itu hatiku
juga kuat. Kuat akan keyakinan bahwa masih ada jalan lain yang lebih baik untuk
kami berdua, dibanding harus memilih untuk berpisah. Alasannya bukan hanya
karena janin yang sedang aku kandung ini, tapi memang laki-laki yang tengah
memelukku ini adalah pilihan hatiku. Kalau bukan pilihan, mana mungkin bisa
sampai empat tahun menjalani hubungan dengannya.
" Aku akan bertanggung jawab. Demi Aku, kamu, dan
janin itu. " katanya menenangkan.
Iya Janji... |
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar