Never Let You Hurt ( Part 1 )
Halte. Tempat favoritku untuk
berteduh. Menghindari terik matahari yang menyiksa, saat waktu pulang sekolah tiba.
Aku duduk seperti biasa, di bawah atap halte yang setiap siang menemaniku menanti
bus kota, sekaligus menanti seseorang yang telah lama aku puja.
Sekitaran satu menit setelah aku
duduk di atas bangku halte yang memanjang, sosok tersebut akhirnya datang.
Dirinya dari kejauhan tampak perlahan mendekatiku. Rambutnya yang sebahu
menari-nari seiring dengan langkah kakinya yang pasti. Bukan, dia mendekatiku
bukan karena mengenalku, melainkan karena ingin berteduh juga. Dia juga tidak
mau terik matahari membakar kulitnya nanti. Terlebih lagi halte tersebut juga bukan
milik ayahku, jadi siapapun boleh berteduh di tempat pemberhentian bus ini.
Termasuk dia, wanita penuh pesona.
' Kinal ‘, begitulah kata yang tak
sengaja kudengar saat teman-teman biasa memanggilnya di sekolah. Tapi entahlah,
sebenarnya dia itu tahu namaku atau tidak. Mungkin tidak, karena memang aku bukan
siswa populer, bukan juga anggota OSIS yang biasa sibuk berkeliaran
kemana-mana. Aku hanya siswa biasa yang sibuk menghabiskan waktu istirahatku
dengan membaca. Tapi setidaknya, kata itulah yang akan aku tulis di puisi
buatanku nanti, atau mungkin kata itulah yang akan aku gunakan untuk
memanggilnya di alam mimpi.
Semakin lama, langkah tersebut
memperpendek jarakku dengannya. Ekor matanya ke depan, memperhatikan jalannya
yang cukup terjal. Kedua sepatunya menendang debu dan bebatuan. Sampai pada akhirnya, dia semakin mendekat dan
berhasil melewatiku - tanpa menoleh sedikitpun tentunya. Kemudian dia duduk mengambil
tempat yang cukup jauh dari pundakku. Maklumlah, dua manusia yang belum saling
mengenal pasti ragu untuk berinteraksi, jadi wajar jika dia tidak menyapaku saat
melewatiku tadi. Ya walaupun aku tahu, bahwa kami memang sering tak sengaja berpandangan
di sekolah. Tapi aku yakin, hanya akulah yang mengenang. Dia tak menganggapku
berharga saat ketidaksengajaan memandang.
Desiran angin yang muncul akibat
sibakan rambut Kinal, tiba-tiba saja masuk ke dalam tubuhku. Membuat dadaku
terasa sesak untuk bernafas, serta detak jantungku yang berubah riuh. Pundakku
berguncang, seluruh tenaga kukerahkan untuk menahan mataku agar tidak
meliriknya. Namun tampaknya gagal, aku menyerah. Parasnya yang cantik, matanya
yang indah, serta rambut yang baru saja dia sibakan itu berhasil mencuri
pandangku. Sungguh mempesona bayangan leher yang sempat dia perlihatkan
barusan. Tapi tetap saja, hal itu tidak akan mengembangkan mentalku untuk
berani menjulurkan tangan padanya. Jangankan mengajaknya berkenalan, mengucap
sapaan saja lidahku kelu. Kalau begitu, bagaimana dia bisa jadi milikku.
Sudah banyak menit berlalu dan aku
masih saja bisu dengan rasa kebimbangan. Kaku tubuhku yang kurasakan sekarang
perlahan berubah menjadi rasa bosan yang cukup membuatku semakin tidak betah
berlama-lama di sampingnya. Bus kota yang aku pikir akan lebih cepat dari
kemarin, tampaknya sengaja mempermainkan waktu. Bahkan sampai sebanyak sepuluh
kali aku melirik Kinal, kendaraan umum tersebut tak kunjung datang juga. Mungkin
saat ini, pikiranku tengah sama dengannya. Sama-sama menanti jemputan. Andai
saja Kinal tak di sini, mungkin aku tak segugup ini.
Beberapa menit kemudian, sebuah
kendaraan baru saja berhenti tepat di depanku. Akhirnya jemputan itu datang!
Tanpa ragu, Kinal beranjak dari halte dan menggendong tasnya kembali. Melangkah
dengan cepat untuk meraih ganggang mobil
di depannya. Kemudian masuk ke dalam, dengan semburat senyum yang
berhasil aku curi dari wajahnya. Iya benar, jemputan yang aku maksud adalah
sebuah mobil hitam yang biasa menjemput Kinal sepulang sekolah. Bukan jemputan
bus berasap tebal yang biasa membawaku pulang seperti kemarin.
Aku mencodongkan wajahku, berusaha
untuk mendapatkan bayangan Kinal yang tengah bersama seorang pria di dalamnya.
Dari sela-sela kaca mobil itulah, aku melihat kening Kinal dikecup untuk
kesekian kali. Ya, pria itu melakukannya lagi. Mungkin sebuah kecupan memang
sudah menjadi tradisi pertemuan mereka. Sampai kemudian mobil tersebut berlalu
meninggalkan aku yang masih menunggu jemputan bus yang tak kunjung tiba.
Aku mendengus pelan, sejalan dengan
suara mesin mobil yang perlahan menghilang. Mendorong semua karbondioksida dari
dalam paru-paru agar bisa keluar dari hidungku. Bersamaan dengan itu asap mobil
yang baru saja membawa Kinal pergi, sudah mulai menipis. Aku mendengus pelan
sekali lagi.
Aku mendengus kesal bukan karena bus
sialan yang tak kunjung menjemputku. Tetapi aku mendengus kesal dengan keadaan
yang menimpaku sekarang ini. Mau sampai kapan aku diam dan membebaskan
kebohongan, sedangkan ada hati yang aku tahu sedang dipermainkan. Huft.. lama-lama
aku juga tak tega dengannya. Karena aku tahu betul Kinal, dia sangat baik dan
ramah pada siapapun. Walaupun kami tak pernah beramah tamah. Tapi aku yakin
dari cara dia bersosial.
Aku sadar betul, aku juga tidak gila,
dan mataku juga masih normal, bahwa mobil yang menjemput Kinal barusan adalah
mobil ayahku, sedangkan laki-laki yang berani mencium kening Kinal tadi adalah
kakakku sendiri. Kakak yang tega mengancam adiknya untuk tidak menceritakan
semua kebenarannya.
Padahal hatiku sudah tidak tahan
lagi. Ingin rasanya mengajaknya berkenalan dan mengatakan bahwa aku sangat
menyukainya. Namun sepertinya mustahil, dia sudah milik kakakku. Terlebih lagi Kinal
sudah terlanjur cinta dan memberikan setengah hatinya pada kakakku. Tapi
sayang, sampai sekarang Kinal masih saja tidak tahu bahwa sebenarnya kakakku tak
benar-benar serius dengannya.
Ah..aku pengecut. Aku tak pantas
merebut setengah hati Kinal.
***
Jam dinding yang tergantung di dalam
kamarku memang sudah menunjuk pukul tiga sore. Tapi tetap saja bayang-bayang
wajah Kinal yang aku temui di halte tadi masih saja membekas di pikiran.
Senyumnya yang khas, langkah kakinya yang pasti, serta matanya yang indah itu
semacam perekat yang menempel di hatiku. Sampai-sampai aku tak tahu, dengan
cara apalagi agar bayang-bayang itu mengelupas dari benakku.
Kuletakkan tas punggungku dan
kemudian kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Menuruti gravitasi dan membiarkan
tubuh ini berileksasi. Setelahnya aku meraih ponselku dan sekedar memainkannya
untuk berberapa saat. Aku tersenyum sendiri, saat melihat gadis berambut
pendek, menempel di layar ponselku. Ya, sebuah foto dirinya yang sengaja aku
ambil saat istirahat sekolah berlangsung. Waktu itu dia tengah duduk di taman
sekolah bersama teman-temannya, dan aku memotretnya saat dia mengembangkan
senyum. Entahlah kenapa waktu itu aku mempunyai niat seberani itu , dan entah
kenapa sampai sekarang foto itu masih saja aku jadikan wallpaper ponselku.
Semoga saja kakakku tak mengetahui kelakuan adiknya ini. Kalau itu terjadi, kau
tahu kan akibatnya? Aku bisa dihajar habis-habisan.
Kupandangi lekat-lekat wajahnya di
layar. Lama-lama berat juga mempertahankan kelopak mataku untuk terus membuka.
Sampai kemudian pandangaku gelap total. Sejalan dengan itu ponselku lepas dari
genggaman. Aku tertidur di samping sinar layar ponsel yang padam.
***
Dengan rambut acaknya, aku melihat
kakakku berdiri tepat di serong kiriku. Kemudian dia duduk di sampingku dan
memandangi layar televisi yang memang sudah aku nyalakan sejak tadi.
"Gimana kabar Kinal di sekolah
?" tanyanya sembari meraih toples keripik di meja.
"Ehm...baik-baik aja kok. Sejauh
ini gak ada yang mencurigakan,” jawabku sembari masih mengunci pandanganku ke
arah televisi.
"Bagus,” katanya mengangguk
mantap. Sembari mengunyah keripik di
mulutnya.
"Terus awasi dia. Nanti kalau
kiranya ada yang mencurigakan, bilang aku,” tambahnya sembari mengambil lagi
beberapa keripik kentang di pangkuannya. Aku mengangguk pelan namun hatiku
menggeleng. Setahuku manusia seperti Kinal tidak mungkin mengkhianati Aryo.
Justru sebaliknya, Aryo lah yang selama ini mempermainkan Kinal.
"Ehm..kak. Kamu sama Nobi masih
pacaran?” tanyaku.
"Masih. Kenapa?” dia mengangguk,
matanya kali ini menolehku.
"Sebenarnya kamu serius nggak sih
sama mereka berdua?” tanyaku ragu
Sontak, dia tersedak. Mendengar
kataku barusan, membuat katup tenggorokan dan kerongkongannya membuka
bersamaan. Cepat-cepat dia mengambil gelasku dan meminum seluruh air putih di
dalamnya. Lalu mencoba membenarkan nafasnya, setelahnya dia tertawa di depanku.
"Hahaha... aku ? Serius ? Ya
nggaklah. Aku sama mereka itu cuma main-main. Nyari hepi aja,” terangnya membuat aliran darahku naik. Namun
cepat cepat aku menyembunyikan wajah emosiku. Dia kakakku, aku harus
menghormatinya.
"Tapi Kinal serius sama kamu, kak,”
jelasku padanya.
"Tahu darimana kamu,” tantangnya
membuatku hening untuk beberapa saat.
"Sepertinya sih gitu,” kataku ragu.
"Tuhkan. Kamu aja gak yakin.
Jangan sok ngeramal deh. Anak ABG seperti Kinal itu nggak pernah bisa serius.
Mereka juga nyari hepi,” aku terdiam.
"Mungkin sudah saatnya kamu
kenalin diri kamu sama dia,” tambahnya.
"Bukannya selama ini kakak melarang?”
Aryo menggeleng.
"Kali ini enggak, soalnya aku punya
rencana baru sekarang,” jelasnya sembari tersenyum licik, kemudian dia berlalu
masuk ke dalam kamarnya sesaat setelah meletakkan toples di atas meja.
Sepuluh menit kemudian, Aryo muncul
dari dalam kamarnya. Tubuhnya sudah terbalut dengan kemeja wangi dan celana
panjang hitam. Rambutnya juga sudah tertata rapi. Tangannya tengah mempermainkan
kunci mobil.
"Jaga rumah, Yan. Kakak mau keluar
sebentar,” katanya yang kemudian berlalu meninggalkan pintu kamarnya. Sungguh, tak ada yang bisa aku lakukan,
selain mengangguk pelan menuruti kemauannya sekaligus melihat langkahnya yang
perlahan meninggalkan aku. Ya, kali ini dia meninggalkan rumah, setoples keripik
dan sebuah kata terselubung yang masih terbayang di pikiran.
Rencana baru ? Rencana baru apa yang
tengah dibuat Aryo?
***
Matahari sudah meninggi sejak tadi.
Bahkan sudah tergelincir ke arah barat. Hawa panas yang merambat sudah pasti
membuat para manusia kerepotan dan mencari cara untuk mendinginkan tubuhnya
masing-masing. Hari ini aku tidak langsung pulang, melainkan menginap untuk
sementara waktu di sebuah ruangan bernama ‘ Perpustakaan ‘ di sekolahku. Ya,
aku rasa udara yang dihasilkan pendingin dalam ruangan tersebut akan membantuku
memecahkan beberapa soal matematika. Maka, aku memilih perpustakaan yang sejuk dibanding
kamarku yang pengap. Apalagi sejak aku tahu bahwa Aryo mempermainkan Kinal, semakin
pengap lagi.
Aku tenggelam ke dalam soal yang
tertulis di buku matematika. Mengamati dengan seksama angka-angka yang tertulis
di dalamnya. Sebentar mempermainkan bolpoin yang aku pegang, dan sesekali
mengutuk diriku sendiri yang lemah dalam urusan Trigonometri. Andai saja ada
orang yang membantuku mengerjakan soal ini, aku janji akan membelikannya makan
siang.
"Ehem,” suara aneh tiba-tiba muncul
dari samping. Sontak aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara. Aku tak
menyangka sumber suara tersebut bukan manusia, melainkan bidadari sekolah ini.
“Hmm.. Aryan?” tudingnya ragu. Aku
masih dengan kebisuanku. Sungguh tak kusangka sumber suara tersebut adalah
wanita yang selama ini aku puja. Kinal.
"Iya…” kataku setelah hening cukup
lama. Memikirkan kata apa yang akan aku ucapkan sebagai pembuka pertemuanku
dengannya, sekaligus mempertahankan pundakku agar tidak bergoncang. Dia
mengangguk pelan.
“Akhirnya aku menemukanmu. Kenalkan
nama aku Kinal,” dia memperkenalkan, menyodorkan tangannya untuk berjabat.
"Oh..Kinal,” kataku berpura-pura
memastikan namanya. Padahal aku sudah tahu sejak lama. Sekali lagi, dia
mengangguk pelan, sembari mengambil tempat di depanku setelah aku menyambut
tanda perkenalannya yang halus tersebut.
"Jadi gini, tadi pagi Bu Melody
menyuruhku untuk mengajarimu matematika,” katanya ceria.
"Oh gitu?” Kinal mengangguk.
"Ya, katanya kamu sangat bodoh. Jadi
aku ditugaskan untuk mengajarimu,” katanya membuatku sedikit cemberut. Ah
mungkin dia sedang mengarang.
"Bu Melody bilang gitu?”
"Enggak, aku hanya bercanda. Hehehe,”
dia menggeleng dengan senyumya. Tebakanku benar, dia gemar mengarang.
Sepertinya dia suka bercanda.
"Tapi yang jelas aku harus
mengajarimu trigonometri, agar aku dapat nilai tambah juga,” katanya sedikit
malu membiarkan aku mengetahui imbalan yang dia terima.
"Ya udah, tunggu apalagi, kita mulai
sekarang aja,” kataku
Dia membuka bukunya, dan membelai
halaman yang sama denganku. Beberapa peralatan tulis dia keluarkan dari tasnya.
Sedangkan aku menunduk ke arah buku matematika yang sudah tergeletak lebih dulu
di meja, sembari mencengkeram kepalaku dengan kedua tangan. Seolah-olah aku
sedang berpikir keras memerangi sin cos tan, padahal tidak. Aku tengah gugup dilihatnya. Arghh… Kinal,
wanita yang aku puja selama ini kenapa bisa jadi sedekat ini!!
Kriukkriuk
~
Suara absurd terdengar di sela-sela diskusi
kami. Keras sekali memang, sampai-sampai terdengar oleh kami berdua. Kinal
menghentikan penjelasannya sebentar, kemudian cepat-cepat dia memulai lagi.
Pipinya memerah.
“Kita makan dulu yuk?” saranku
menyela perkataannya. Aku menahan tawa.
"Kita kan belum selesai,” jawabnya.
"Mengisi perutmu lebih penting
daripada mengisi otakku,” aku berdiri sembari mengumpulkan peralatanku di meja
dan memasukannya ke dalam tas. Sebenarnya otakku juga sudah panas gara-gara
penjelasannya yang membingungkan. Dia diam melihatku demikian.
"Kamu belum makan kan? Aku traktir
deh,” ajakku sekali lagi. Dia mengangguk lemah, mengiyakan bahwa dia memang
sudah kelaparan sekarang.
Dia memunguti juga peralatannya dan
memasukannya kembali ke dalam tas yang biasa dia gunakan saat belum mengenalku
di halte. Kemudian melangkah mengikutiku menuju kantin sekolah. Semoga saja
acara makan siang yang aku buat ini dapat
membuat perkenalanku dengannya menjadi semakin akrab, sekaligus menepati
janjiku tadi. Bukankah tadi aku sudah janji akan membelikan makan untuk
siapapun yang mengajariku trigonometri? Aku tak menyangka bahwa Kinal lah
orangnya.
--- To Be Continued ---
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar