Never Let You Hurt ( Part 2 )
Senja sudah mulai muncul saat aku melewati
gerbang rumah sekaligus mobil ayah yang sudah terparkir di depan. Aku tahu,
hari ini Aryo tidak menjemput Kinal, jadi mungkin dia sedang berada di dalam
rumah sekarang. Buru-buru aku masuk melewati pintu rumah. Belum sampai aku
masuk ke kamar, seseorang bersuara di ruang tamu.
“Tumben baru pulang sekolah,” suara
tersebut menghentikan langkahku. Aku membalikkan badanku padanya. Terlihat Aryo
tengah duduk membaca buku. Aku kira selama ini dia tidak suka membaca.
“Baca buku sebentar di perpustakaan,”
“Sebentar, tapi sesore ini. Aneh,”
katanya sinis.
Aku mendengus kesal di depannya. Tak
ada gunanya juga meluapkan emosi kepadanya sekarang ini. Orang angkuh seperti
Aryo pasti tidak mau kalah. Lagi-lagi aku lah yang harus mengalah dan diam
menerima kelakuannya. Lebih baik aku ke kamar sekarang.
“Ada berita apa lagi hari ini?” tanyanya
lagi berhasil mengurungkan niatku untuk membalikkan badan.
“Kinal?” Aryo mengangguk.
“Seperti biasa, gak ada yang
mencurigakan. Terakhir aku lihat dia pulang sama teman-temannya,” sekali-kali
bohong tak apa kan? Tiba-tiba dia menutup bukunya. Kali ini matanya memandang
penuh ke arahku. Perasaanku tidak enak.
“Sama teman-temannya?”
“ Ya…” kataku lemah. Jangan-jangan
dia tahu kalau aku bohong?
“Oh,” katanya singkat. Dia kembali
membuka bukunya. Aku bernafas lega.
“Emang tadi gak jemput?” tanyaku sok.
Aryo mengendikkan bahunya, tatapannya
kembali tenggelam ke dalam buku.
“Hm..enggak,” aku manggut-manggut.
“Kamu nggak lagi bohongin aku kan?” sambungnya.
“Huh.. Aku capek. Aku mau ke kamar
dulu,” kali ini aku membalikkan badanku penuh dan berlalu meninggalkannya.
Berlama-lama ngobrol dengannya hanya akan menguras hati, dan tetap saja Tuhan
masih saja membuat diriku ini seperti laki-laki lemah yang tak berdaya. Aku
masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat, agar Aryo tak mengangguku
untuk sementara waktu. Mungkin hanya itulah caraku untuk bisa betah di rumah
ini.
Sesaat setelah aku meletakkan tas
punggungku, seseorang memanggilku lewat telepon. Buru-buru aku merogoh saku
celana.
“Halo,“
“Aryan?” katanya.
“Ya?” jawabku dengan nada bingung.
“Ini aku. Kinal,” sontak namanya membuatku
kaget. Padahal kami berdua belum sempat bertukar nomor telepon tadi.
“Hah? Eh.. kok tahu nomorku sih?,”
tanyaku. Aku mengecilkan suaraku. Siapa tahu Aryo mengupingku sekarang.
"Ada deh. Oh ya, tadi makasih ya udah
bayarin aku makan,” ucapnya dari balik ponsel.
“Iya sama-sama. Tadi kan kamu udah bilang
terima kasih. Lupa ya?” cibirku, seraya aku melabuhkan badanku di atas kasur.
Seragam sekolah dan sepatu sekolah masih melekat. Obrolan dengan Kinal lebih
penting untuk sekarang ini.
“Ya gak papa kali, dan sebagai
gantinya, nanti malam aku ajak ke kafe mau gak?”
“Kamu ngajak aku?” tanyaku setengah
tak percaya. Maklum selama ini tak ada satupun wanita yang pernah mengajakku ke
kafe. Jangankan kafe, ke kantin sekolah saja tak pernah. Sepertinya hidupku
memang hanya didominasi oleh sesama jenis.
“Ya iyalah. Siapa lagi? Mau nggak?” aku berpikir sejenak.
Kinal baru saja mengajakku ke kafe dan itu sama saja aku kencan dengan pacar
kakakku sendiri. Iya, aku menganggap itu kencan. Apakah ini yang dinamakan
godaan setan?
“Ide bagus sih. Tapi ....”
“Aku tunggu di kafe Singsot, jam
tujuh malam. Jangan telat. Bye,” kata Kinal memenggal ucapanku. Panggilannya
terputus, aku melongo.
“Halo… Nal ? Nal ? Masya Allah …” aku
memandangi layar ponsel, dan benar panggilan barusan telah diakhirinya. Padahal
aku belum sepenuhnya mengiyakan, tapi dia sudah menyimpulkan.
Aku berpikir lagi. Memikirkan
kemungkinan yang terjadi jika aku menuruti ajakan Kinal. Ternyata, tidak ada.
Tidak ada hal buruk terjadi jika aku kencan sama Kinal nanti malam, asalkan
Aryo tidak mengetahuinya. Sepertinya nanti malam aku harus berbohong lagi
padanya.
***
Jam berlalu dengan cepat. Tepat pukul
setengah tujuh, aku sudah bersiap dengan kaus polo hitam dan celana panjang
berwarna biru. Tak lupa juga parfum yang baru tadi sore aku beli di toko. Selama
ini aku memang jarang punya parfum, jadi terpaksa beli. Kalau pinjam milik
Aryo, dia pasti akan menaruh curiga. Rencana makan malammu bisa rusak.
Aku tidak tahu betul apa penampilanku
sekarang ini pantas untuk sebuah kencan pertama. Atasan hitam, dan bawahan
berwarna biru. Sepertinya lebih mirip anak clubbing. Arghh. pantas atau tidaknya
itu urusan nanti, yang terpenting
sekarang aku harus berangkat menemuinya. Aku tidak mau Kinal menunggu lama di
sana.
Aku membuka pintu kamar dan
menutupnya kembali. Bersamaan dengan itu, Aryo juga sudah berdiri di pintu
kamarnya. Dandanannya juga sudah rapi, aroma parfumnya juga menusuk. Sama
seperti ketika hendak berpergian. Perasaanku tidak enak sekarang.
“Widih… mau kemana nih?“ tanyanya
sembari bersiul-siul mendekatiku. Matanya memandangiku dari ujung celana sampai
ujung rambutku.
“Hm.. ada janji sama teman,” jawabku
sembari mencoba untuk menampilkan raut wajah yang tenang.
“Bukan sama Kinal kan?” tanyanya
membuatku gugup.
“Bukan.. Rangga tadi ngajakin aku ke
kafe,” Aryo manggut-manggut. Matanya berubah memasang curiga.
“Kafe mana?”
“Singsot,” celetukku begitu saja. Aku
tak tahu harus bilang apa.
“Oh.. Ya udah berangkat sama aku aja.
Kebetulan rumah Sinka searah sama kafe.”
“Sinka?“
“Ya, pacar kakak yang baru. Cantik,”
jelasnya.
“Emang udah putus sama Nobi?”
“Belum sih. Tapi ya mau gimana lagi,
Sinka lebih cantik sih daripada mereka berdua. “
Entah darimana kepalan tangan terasa
terangkat tinggi setelah mendengar ucapannya yang enteng. Rasanya ingin sekali
wajah Aryo yang angkuh itu aku hempaskan ke tanah. Kali ini Aryo memang tidak
bisa dibiarkan. Dia sudah sangat keterlaluan.
“Ckck.. Harusnya kamu tuh putusin
mereka dulu, baru cari yang lain. Jangan mainin perasaan kayak gini,” kali ini
emosiku menjadi. Tuhan baru saja memberikan keberanian untukku. Sejalan dengan
itu raut wajah Aryo berubah.
“Memangnya kamu tahu apa soal
perasaan?” matanya menatapku tajam.
“Aku memang cupu, kak. Tapi aku tahu,
mainin perasaan itu gak baik. Pengecut!”
“Jadi sekarang, kamu udah berani sama
aku. Ini itu hidup aku! Suka-suka aku dong mau punya pacar berapa!” bentaknya
keras di depanku. Sedikit gemetaran memang, tapi aku harus lebih tangguh dari
biasanya.
“Tapi ini menyangkut Kinal, kak ! Perasaan
Kinal ! Aku gak bisa terima itu!” bentakku tak kalah keras.
“Karena aku cinta mati sama dia.
Bahkan sebelum kamu cerita ke aku kalau kamu suka sama dia, aku sudah suka
duluan,” tambahku mengaku. Tak ada gunannya juga menyembunyikan perasaan
terus-terusan. Lebih baik Aryo tahu perasaan ini, untuk ke depannya biarkan
Tuhan yang menentukan.
“Susah payah aku merelakan dia untuk
kamu, tapi nyatanya kamu malah mempermainkan perasaannya. Aku pikir kamu bisa
bahagiakan dia, tapi ternyata omong kosong. Gak punya hati ya kamu?” kataku
lagi, kali ini nadaku lebih rendah.
Kemudian aku berlalu meninggalkannya
sendiri di depan kamarku. Membiarkan dia merenung untuk sementara waktu agar
dia sadar bahwa ada hati lain yang tersakiti saat dia mempermainkan perasaan seorang
wanita. Semoga saja dia sadar hal itu.
***
Sebuah kafe yang cukup rame kini
sudah berada di depan mata. Tanpa ragu, aku mendorong pintu kaca kafe tersebut.
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi lonceng yang tergantung di pintunya. Setelahnya aku berhenti sebentar untuk
mencari sosok Kinal yang entah di meja nomor berapa dia berada sekarang.
Seluruh penjuru aku amati.
“Bingo!” batinnku saat aku menemukan
sosoknya di meja nomor sepuluh. Aku melangkah mendekatinya seiring dengan
senyumnya yang mengembang.
“Maaf, telat.”
“Nggak papa kok,” katanya. Seraya aku
menarik kursi dan duduk di depannya.
“Bisa kita pesan sekarang?” tanyaku.
“Bentar. Dia belum datang.”
“Dia?” dahiku mengernyit. Alisku
menyatu. Aku pikir kami akan makan malam berdua, ternyata dia mengajak orang
lain.
“Iya. Ada yang mau aku kenalin sama
kamu,” jelasnya.
Tak lama kemudian, bunyi lonceng
terdengar lagi. Spontan, mata kami kompak mengekor ke arah pintu kafe. Setelahnya
terlihat seseorang muncul dari balik pintu tersebut. Berpakaian modis dan
rambut yang tertata pas sesuai bentuk wajahnya, serta langkah kakinya yang
teratur tersebut perlahan memperpendek jarak kami dengannya. Aku menoleh ke
arah Kinal , dia terlihat tersenyum ke arah laki-laki tersebut. Sepertinya
memang benar, laki-laki tersebut adalah ‘ Dia ‘ yang Kinal maksud.
“Sudah lama nunggu? “ ucap laki-laki
tersebut tepat saat dia menghentikan langkahnya.
“Lupakanlah,” jawab Kinal.
“Oh iya. Aryan, kenalin ini Aji.
Pacarku,” ucapnya enteng.
“Pacar?”
“Iya. Pacar.”
“Terus Aryo gimana?” tanyaku bingung.
Kinal terdiam. Raut wajahnya berubah.
"Aryo itu pacar kamu kan?” tanyaku
lagi meminta penjelasannya. Dia masih dengan kebisuannya.
“Aryo? Siapa Aryo?” kali ini Aji
angkat bicara. Dia mungkin juga ikut bingung dengan apa yang aku maksud..
“Jadi gini, aku bisa jelasin sayang. Sebenarnya
aku dan Aryo memang ada hubungan. Tapi aku cuma main-main. Aku gak serius.
Karena aku cuma cinta sama kamu sayang,” jelas Kinal pada Aji. Tangannya mencoba
meraih tangan Aji sekarang. Namun, Aji terlihat menolak. Dia menyingkirkan
tangan Kinal darinya.
“Kalau gitu, putusin dia sekarang,” tantang
Aji pada Kinal.
“Oke. Nggak masalah. Aku lakukan
sekarang,” Kinal meraih ponsel yang tergeletak di meja dan kemudian mencari
nomor Aryo di dalamnya.
“Aryo …” panggil Kinal.
“Ya, sayang?” suara berat Aryo
terdengar dari speaker ponsel Kinal.
"Jangan panggil aku seperti itu lagi.
Mulai sekarang kita putus.”
“Putus?”
“Ya. Itu sudah cukup jelas buatmu
kan? Oh ya, asal kamu tahu, selama ini aku hanya berpura-pura mencintai kamu,
dan sekarang pacarku sudah pulang dari Jogja. Jadi mulai sekarang kamu tidak
perlu menjemputku lagi,” jelas Kinal mematikan panggilannya.
Aku tidak menyangka kisah cinta
mereka akan berakhir seperti ini.
Seharusnya aku bahagia melihat
kenyataan tersebut. Bukankah selama ini hal itulah yang aku tunggu? Melihat
hubungan mereka berakhir, agar Aryo tak terus-terusan mempermainkan perasaan
Kinal. Tapi siapa sangka, yang kulihat sekarang adalah Kinal dengan laki-laki
lain yang berperan sama dengan Aryo. Dialah Aji, selingkuhan Kinal. Aku tak
tahu siapa dulu yang menjadi kekasih Kinal, mungkin saja Aji. Tapi yang jelas
mereka bertiga sama-sama pengecut. Menyepelekan perasaan.
Tanpa pikir panjang, aku putuskan
untuk berlalu meninggalkan mereka berdua. Tanpa kalimat perpisahan ataupun
ucapan terima kasihku padanya yang telah mengajariku trigonometri tadi siang. Mungkin
dengan cara itulah, rasa pusing yang ada di kepalaku sekarang akan mereda
dengan sendirinya. Aku tak menyangka Kinal, wanita pujaanku selama ini tega
menipu kakakku sendiri. Padahal aku sudah jatuh hati sama dia. Rencana Tuhan
memang tidak pernah bisa diduga.
Aku melangkah mendekati pintu kafe
dan menariknya untuk meninggalkan tempat tersebut. Seiring dengan itu, bunyi
lonceng kembali berbunyi menjadi backsound kekecewaanku mala mini.
***
“ Halo.. “
“ Halo, Kak. “
“ Ada apa, Yan? “
“ Maafin Aryan ya, kak. Aryan memang
cupu, dan nggak tahu apa-apa soal perasaan. “
“ Ah sudahlah. Lupakan… Justru kakak
mau terima kasih sama kamu. Gara-gara kamu, sekarang kakak sadar. Ternyata diselingkuhin
itu sakit ya. “
“ Sama-sama, kak. Terus Nobi dan
Sinka gimana? “
“ Hmm…Ternyata selama ini yang bisa
mengerti kakak hanya Nobi saja. Mungkin kakak akan pilih dia.. “
“ Sinka? “
“Sinka? Tadi waktu dia lagi ke toilet
restoran, ponselnya berbunyi. Aku iseng coba cek pesan masuknya. Ternyata dia juga
sudah punya laki-laki lain. “
“ Sabar ya, kak. “
“ Laki-laki itu namanya Aji. “
“ Hahh??!! “
-- Insya Allah, To Be Continued --
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar