Never Let You Hurt ( Part 3 )
Ya Ampyunn eneng Depi ~ |
Malam berbalut angin dingin. Udara
yang berhembus di luar memang cukup membuat tulang-tulang manusia membeku.
Entahlah, padahal seharian ini tidak hujan, tak juga mendung dengan awan hitam
yang tebal, namun angin yang bergentayangan masuk melewati celah-celah
ventilasi rumah telah memaksaku untuk membalut tubuhku dengan selimut tebal. Setidaknya
tulangku tak akan beku di ruangan ini.
Aku tengah berbaring di sofa, tempat
biasa aku menonton televisi di ruang tengah. Sembari menggenggam remote , aku melihat Aryo muncul dari
kamarnya. Dirinya sudah terbalut rapi pakian mahal yang biasa dibelinya di
distro langganannya. Serta wangin tubuhnya yang menusuk cukup menandakan bahwa
malam ini dia akan pergi keluar lagi. Sepertinya Aryo memang dilahirkan untuk
gemar keluar rumah. Sungguh berkebalikan denganku.
“Mau kemana, kak?” kataku saat dia
baru saja menutup pintunya.
“Jalan sama Nobi. Kamu jaga rumah ya!” jawabnya
sembari memain-mainkan kunci mobilnya. Aku tersenyum mengiyakan perintahnya.
Sungguh kali ini raut wajah Aryo sangat berubah. Kali ini dia tidak terlihat
angkuh seperti beberapa hari yang lalu. Tatapannya juga berangsur tumpul. Tak ada
tatapan sinis lagi yang biasa dia lemparkan padaku. Hubungan kami sudah mulai membaik.
Semenjak kejadian itu, dia perlahan
berubah menjadi sosok yang menyenangkan untukku. Sungguh, aku mulai merasakan
keberadaan seorang kakak sekarang. Karena memang, semenjak dia mengenal Kinal
aku seperti kehilangannya. Dia selalu serius mempermainkan cinta, dan selalu
memperalatku untuk memata-matai Kinal di sekolah.
Dan sekarang, hawa sejuk yang telah
lama menjauh di setiap sudut rumahku seperti berhembus kembali, membawa
ketenangan dan kedamaian dalam hati. Kalau begini, pasti aku akan betah di
rumah.
Kemudian dia berlalu sembari masih memainkan
kunci mobil di tangannya. Sedangkan aku, masih berbaring di sofa, mengunci
padanganku dan sesekali membenarkan selimut yang membalutku. Menonton televise,
ya hanya itulah yang aku lakukan sekarang.
Aku melihat ponsel yang tergeletak
sendiri di meja depanku. Lalu meraihnya untuk memastikan bahwa memang tak ada
yang mempedulikan aku hari ini. Memang benar, seperti hari-hari sebelumnya,
seharian ini tak ada satupun yang menanyakan kabarku. Bahkan orang tuaku
sendiri, yang sedang ada urusan di luar kota tak menanyakan kabar sekalipun
semenjak mereka di sana. Ya mungkin saja mereka berdua sedang sibuk dengan
urusannya masing-masing.
Sedetik kemudian, bayangan itu
datang. Siluet wajah yang menyenangkan setiap aku memandangnya terbesit lagi di
pikiran.
Ah, Kinal. Gadis itu lagi. Entah
mengapa setiap aku memegang ponsel milikku, selalu terbayang wajahnya di taman.
Selalu terbayang sebuah rambut sebahunya dengan senyum simpul yang terabadikan
ke dalam walpaper ponselku. Padahal aku sendiri sudah menggantinya dengan foto
lain. Tapi tetap saja, aku belum menemukan alat yang tepat untuk bisa mencabut
wajahnya dari pikiran.
Karena sungguh aku ingin
melupakannya. Semenjak kejadian itu, aku sudah menganggap bahwa mencintai Kinal
adalah sebuah kesalahan, dan syukurlah aku belum terjebak ke dalam permainan
cintanya.
Tapi kakakku, dia sudah menjadi
korban, atau lebih tepatnya sebuah karma untuknya. Berkat karma itulah kakakku
sekarang menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Entahlah, aku juga tidak tahu, sebenarnya
aku harus berterima kasih atau membenci
Kinal? Dua pilihan itu cukup membuatku bimbang. Tapi apapun pilihan yang akan
aku ambil nantinya, sepertinya aku masih mencintainya. Sungguh. Aku memang
laki-laki bodoh.
Malam semakin larut. Acara televisi
semakin tidak menyenangkan. Menutup kelopak mata dengan tenang mungkin lebih
baik untuk menyambut hari esok yang lebih segar untuk nafasku. Sampai
kemudiian, aku tertidur di atas sofa yang empuk.
***
Membaca buku, memang sudah menjadi
kegiatanku sehari-hari. Bahkan pada saat sela-sela pergantian jam pelajaran
seperti ini, aku lebih memilih untuk membelai lembaran daripada harus membuat
kelas gaduh.
“Selamat pagi, anak-anak,” suara Bu
Melody tiba-tiba memenuhi sudut kelasku. Guru muda tersebut melangkah masuk ke
kelas dengan tas hitam di tangan kanannya. Menghampiri tempat duduknya dan
menghadap ke arah kami.
“Pagi,bu,” jawab siswa kompak.
Bu Melody meletakkan tasnya dan
kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas tersebut. Terlihat lembaran yang
tertumpuk rapi muncul di tangannya.
“Hari ini, Ibu akan membagikan hasil
ulangan trigonometri kalian tiga hari yang lalu. Semoga kalian tidak pingsan,”
kata Bu Melody nyengir, diikuti dengan tawa siswa lainnya.
“Aryan. Maju ke depan!” panggil Bu
Melody padaku, cukup mengagetkan. Tangannya mengambil selembar kertas dari
tumpukan yang dia pegang. Sedangkan aku, beranjak dari kursi tanpa kata. Hanya sekedar
melangkah mendekatinya dan berharap semoga hasil yang aku dapat nanti tidaklah
seburuk yang aku pikirkan. Karena memang selama ini, trigonometri tidak pernah
berpihak padaku. Aku selalu membenci materi itu sejak Sekolah Menengah Pertama.
Bu melody mengamati sebentar sebuah
kertas yang dia pegang. Mungkin kertas milikku, tapi entahlah dia seperti heran
melihatku berdiri di depannya.
“Kamu udah ketemu sama Kinal kan?” tanyanya
sembari memberikan lembaran tersebut padaku. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi
yang jelas aku melihat sebuah angka ‘48’ saat aku membalikkan lembaran
pemberiannya. Ya benar, itu nilai ulangan trigonometri ku!! Apa aku bilang,
trigonometri memang tak pernah bersahabat.
“Iya, sudah, bu” jawabku sembari
membenarkan kacamataku yang sedikit merosot ke bawah.
“Hm, nanti istirahat pertama kamu ke
kantor ibu ya!”
“Baik, Bu,” aku hanya mengiyakan
dengan mengangguk lemah kepadanya, kemudian membalikkan badanku menuju bangku
semula.
Bel tanda istirahat berbunyi, semua
siswa berhamburan keluar dari kelas. Begitu juga dengan aku yang bergegas untuk
menemui Ibu Melody di kantornya. Aku tak tahu mengapa, tapi yang jelas perasaanku
tidak enak sekarang. Mungkin karena nilai matematika-ku yang tak pernah membaik
dan Bu Melody mulai cemas kepadaku, memikirkan nasibku nanti saat Ujian
Nasional. Entahlah, yang jelas aku harus bersyukur dan bangga dengan sosok Bu
Melody yang masih mau memperhatikan siswa bodoh menghitung sepertiku.
Aku menghentikan langkahku saat tepat
di depan pintu kantor guru. Sebentar ku menghela nafas dan menghembuskannya
kembali. Mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Bu Melody.
Memang, Bu Melody bukanlah tipe guru killer , namun memasuki ruang kantor yang
penuh akan guru bukanlah kebiasaanku. Bahkan bisa dibilang ini adalah pertama
kalinya aku ke ruangan mengerikan tersebut.
Sekali lagi, aku tegaskan bahwa aku bukan
anggota OSIS. Aku hanya siswa biasa yang menghabiskan waktuku di kelas, taman,
perpustakaan dan kemudian pulang ke rumah. Jadi wajar kalau aku gugup sekarang.
Apalagi akan berbicara empat mata dengan Bu Melody, guru muda yang terus terang
saja berpenampilan menarik dan cantik. Tentu akan menguras energi. Ah, bicara
apa sih aku ini, mulai ngelantur.
Aku melangkah mendekat ke mulut pintu
dan mencodongkan kepalaku masuk ke dalam ruangan. Mataku bergerak mencari sosok
di mana Bu Melody berada. Hanya butuh lima detik, aku sudah menemukanya tengah
menulis sesuatu dengan penglihatannya yang berbalut kacamata juga.
Aku menenggelamkan seluruh tubuhku ke
dalam ruangan lalu melangkah mendekati Bu Melody. Awalnya agak ragu memang, tapi
ya mau bagaimana lagi? Beliau menyuruhku untuk menemuinya.
“Langsung duduk aja gak papa,”
katanya setelah sempat melirik kedatanganku. Aku mematung di kursi depan meja
kantornya.
“Kamu kemarin udah ketemu Kinal,
kan?” tanyanya lagi, membuka percakapan yang akan terjadi di antara kami berdua.
“Iya, Bu. Saya sudah ketemu Kinal dan
dia juga sudah ngajarin saya Trigonometri,” jawabku.
“Tapi kok nilai kamu masih jelek ya?”
matanya menatapku dalam. Tatapannya penuh selidik. Aku bisa melihat pupilnya
walau terhalang bening kacamatanya.
“Soalnya, saya hanya ketemu dia satu
kali, Bu. Setelah itu sudah tidak ketemu lagi. Jadi ya masih belum paham,”
kataku sedikit melemparkan senyuman. Mencoba mencairkan suasana.
“Aryan … “ Bu Melody angkat bicara.
Dia meletakkan bolpoinnya. Kali nada bicaranya serius.
“Iya, Bu?”
“Kamu tahu kan kalau matematika itu
penting banget? Lima bulan lagi kamu juga udah ujian nasional.
Jadi kamu harus paham bab ini, supaya
nanti nilai matematika kamu bisa maksimal, gitu,” jelasnya cukup panjang.
Aku hanya manggut-manggut di
depannya. Tak ada yang bisa aku katakan pada beliau. Karena nasihatnya ada
benarnya juga. Aku harus bisa mengerjakan soal trigonometri, bahkan soal apapun
yang akan diujikan nanti di Ujian Nasional. Aku harus bisa.
Tangan Ibu Melody bergerak mengambil
salah satu map yang tertupuk di mejanya. Kemudian membuka dan mengambil
selembar kertas di dalamnya.
“Ini, Ibu ada tugas buat kamu.”
Aku meraih lembaran yang dia sodorkan
padaku. Aku mngernyitkan dahi melihat susunan angka dan deret bilangan yang
hampir saja membuatku mual di tempat.
“Jumlahnya tiga puluh soal. Minggu
depan kamu kumpulkan ya. Kalau nggak, jangan ikut pelajaran ibu lagi. Kamu
harus tau itu, ya?” tegas Bu Melody.
“Tiga puluh, Bu?” tanyaku tak
percaya. Sepuluh soal saja membosankan, apalagi tiga kali lipatnya.
“Iya, dan satu lagi …” katanya tak
selesai. Membuatku menahan nafas sebentar.
“Kamu harus kerjakan ini sama Kinal,”
tambahnya yang sukses membuat jantung ini seperti jatuh ke lambung. Aku
terdiam, aku mendengus pelan. Kinal? Padahal aku sudah berharap untuk tidak akan
berhubungan lagi dengannya.
“Bagaimana kalau saya sama Yona aja, Bu?”
Bu Melody menggeleng.
“Nggak. Biar Kinal aja yang ngajarin
kamu.”
“Tapi Yona juga bisa lho, Bu,”
“Yona kan udah jadi teman sebangkumu,
Yan. Emang nggak bosen apa Yona terus?” sahut Bu Melody masih dengan
pendiriannya.
“Kamu juga harus cari dong temen
kelas lain. Biar pergaulan kamu itu luas, gitu. Jangan cuma baca buku novel.
Udah cuma novel, fiksi lagi. Mana ada manfaatnya?” terang beliau menasihati
membuat mulutku terkunci rapat.
“Ya udah deh, Yan. Gitu aja. Silakan
kembali ke kelas,” kata Bu Melody dengan senyum. Aku membalas senyumnya dan seraya
meninggalkan kursi yang penuh kejutan tadi dengan selembar kertas di
genggaman.
-- Bersambung --
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar