Walau Hanya Sedetik
Saat langkahnya memulai, aku menutup jalannya dengan tubuhku. Saat dia bergeser hendak melewatiku, aku menahannya lagi. Sungguh, aku ingin dia tetap tinggal dulu. Kedua telinganya harus mendengarku berbicara. Dia mendengus kesal dengan raut wajahnya yang tak secerah dulu.
“Mau kamu apa?” katanya
ketus. Aku menarik nafas sebentar.
“Dengerin aku dulu, Sin
,” tanpa ragu aku memegang kedua
pundaknya. Walau akhirnya dia merasa risih dengan genggaman tanganku yang
mungkin dia pikir sudah tak sehangat dulu.
“Semua cukup jelas. Sudah
tidak ada lagi yang harus kamu jelaskan,” katanya menatapku dalam. Sedalam
cintaku padanya.
“Maafkan aku, Sin. Tapi
ini semua demi kakakmu,” terangku.
“Ya, dia lagi. Aku sudah sering
mendengarnya,” dia mendengus pelan.
“Sungguh, Sin. Aku
mencintaimu. Tapi kakakmu memintaku untuk mendampinginya, setidaknya
mendampinginya meninggal nanti. Umurnya sudah tak lama lagi, kau tahu kan?”
“Sudahlah. Kak Naomi memang
pantas untukmu. Bukan aku.”, katanya setelah mengusap air mata yang sempat
keluar dari sudut matanya. Seraya menepuk pundakku, dia melewati tubuhku.
“Sin?” panggilku yang tak
cukup membuatnya menoleh. Dia tetap terus pada langkahnya meninggalkan aku di
lorong kelas kampus. Sampai kemudian, langkahnya gontai dan perlahan tubuhnya
roboh di depan mataku. Aku panik, cepat-cepat menghampiri tubuh lemasnya, dan
membawanya ke rumah sakit terdekat.
***
Seminggu setelah kejadian itu. Aku
lebih sering mengurung diri di kamar dan berharap semoga kejadian tersebut
hanyalah mimpi belaka. Tapi nyatanya, kulitku masih bisa merasakan cubitan
kerasku sendiri. Menandakan bahwa Sinka yang aku bawa ke rumah sakit seminggu
lalu memanglah Sinka Juliani, gadis yang sudah setahun menjadi kekasihku dan
sekarang telah pergi meninggalkanku. Meningalkan semua yang ada di dunia ini
beserta seluruh isinya. Tuhan telah memanggilnya, saat hubungan kami dilanda
prahara.
Sesaat, aku mengutuk diriku. Mengutuk
kebodohanku yang mudah ditipu. Andai saja otak kiriku tak mencerna perkataanya.
Telingaku tak mendengarkan ucapan Naomi, pasti semua ini tidak akan terjadi. Tapi
tunggu dulu, ini semua bukan karena Naomi. Sekali lagi, ini adalah kesalahanku,
yang bodoh dan mudah ditipu.
Seminggu lalu saat aku mencium nisan
Sinka, Naomi menceritakan kebenarannya, dan meminta maaf padaku karena telah
berpura-pura. Awalnya aku tak mengampuninya, tapi setelah aku pikir lagi, Naomi
memang tidak salah. Dia hanya diminta adiknya untuk memainkan peran sebagai
gadis penderita leukimia yang membutuhkan laki-laki di sampingnya.
Namun siapa sangka bahwa Sinka
melakukan ini semua demi kebahagiaanku. Dia tidak menginginkan aku mendekati
tubuhnya yang rapuh lagi. Rasa sakit yang dipendamnya, tak ingin ikut aku
rasakan. Dia memang penulis skenario sekaligus pemeran yang hebat. Sungguh, aku
ingin memeluk tubuhnya yang rapuh itu lagi, dan membisikan ke telinganya, “Kau
sangat keras kepala.”
Walau hanya sedetik pun.
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar