Senyum Segaris Shania
“Aku akan menikahimu. Kelak…”
***
Jangan pernah bilang sekalipun bahwa
aku adalah manusia yang hobi tidur di kasur. Karena memang jujur, aku bukanlah
manusia seperti itu. Aku adalah laki-laki biasa yang setiap pagi buta sudah
berdiri dengan mata terbuka. Melangkah keluar dari kamar, mencuci muka dan mengambil
sesuatu dari rak sepatu. Ya seperti biasa, aku akan lari pagi hari ini.
Matahari memang masih belum tampak.
Ayam jantan di kandang tetangga, juga masih gencar meneriakan keperkasaannya.
Bahkan udara di luar juga masih terlalu dini untuk kita hirup dengan paru-paru yang
kecil. Padahal, kata dokter itu tak baik. Udara pagi bahaya untuk kesehatanmu.
Tapi, bukankah lari pagi itu lebih sehat daripada tidur? Ya sebenarnya ada
alasan tersendiri kenapa aku mau membuka mata dan lari pagi buta seperti ini. Tapi
nanti, kamu pasti akan tahu sendiri.
Kusimpul tali sepatuku dan
mengencangkannya. Kemudian berdiri untuk memulai langkah hari ini. Mematung
sejenak, di bawah langit-langit teras rumah. Merenggangkan otot yang mungkin
masih tidur di dalam tubuh. Menghela nafas panjang dan kemudian memulai langkah
pertama. “Selamat pagi, dunia,” bisikku pelan.
Aku menyusuri bahu jalan, dengan
ayunan langkahku yang pasti. Dengan kedua mataku, aku bisa menyimpulkan bahwa jalanan
depan rumahku masih cukup lenggang. Membuatku cukup nyaman untuk menghirup
udara murni tanpa polusi. Andai saja udara sepagi ini selalu sama dengan siang
nanti, pastilah nyaman berlari seharian.
Dengan cekat aku mengangkat paha
kanan dan kiri bergantian sembari membawa tubuhku perlahan mendekati rumah
seseorang. Ya, aku tak pernah berlari sendiri, dan sebab inilah aku selalu
menyempatkan pagiku dengan berlari pagi. Namanya, Shania, sobat terbaikku yang
gemar mengajakku ke waduk. Entah, sejak kapan dia menyukai waduk tapi yang
jelas dia selalu mengajakku duduk di pinggir bebatuan dan menghadap ke arah
munculnya fajar. Mungkin sebab itulah dia gemar lari pagi. Tak ingin melewatkan
sinar fajar sekalipun.
Seperti pagi sebelumnya, saat aku
belum sampai di depan gerbangnya, dia tampak sudah siap dengan kaos dan celana
training, lengkap dengan sepasang sepatu yang menghias kedua kakinya. Sepatu
biru kesukaannya yang entah sudah berapa bulan tak pernah dia cuci. Aku curiga,
jangan-jangan hanya itu sepatu yang dia punya.
Kedua tangannya tengah memegang ujung
handuk kecil yang melingkar di lehernya dan menatapku dengan senyum saat aku
telah mendekat padanya. Aku membalas senyumnya.
“Telat lagi,” sahutnya, tepat saat
aku menghentikan langkahku. Aku mengatur nafas sebentar. Menstabilkan degub
jantung yang riuh.
“Maaf,” jawabku lemah. Dia tersenyum,
matanya segaris mewarnai pagi ini.
“Hahaha, lupakan. Aku hanya bercanda,”
aku mendengus lega sembari masih mengatur nafas. Memang, jarak rumahku dengan
rumah Shania tidaklah terlalu jauh. Hanya jeda enam rumah. Tapi yang namanya
lari selalu menguras energi, bukan?
“Yuk berangkat. Keburu telat,”
sahutnya sembari membalikkan badannya membelakangiku. Dia mengambil langkah dan
meninggalkanku sendiri yang tengah mengumpulkan tenaga.
Cepat-cepat aku mengekornya dan berusaha
mengimbangi kecepatan joggingnya. Namun gagal, dia selalu tercepat dan paling
cerdas mengatur nafas. Sedangkan aku, dengan badan yang cukup berisi, selalu
menghentikan langkah dan mengatur nafas berkali-kali.
Aku pikir, dia pantas menjadi atlet
lari suatu saat nanti. Bahkan dengan kakinya yang jenjang itu akan membantunya
berlari dengan kencang dari lawan-lawannya nanti. Ya, walaupun aku tahu banyak
juga atlet lainnya yang berkaki jenjang seperti dia, tapi setidaknya bukankah
itu yang seharusnya dimiliki para atlet lari? Tapi tunggu, ada satu hal yang
harus dia lakukan untuk bisa dikatakan pantas menjadi atlet lari : Rambutnya
yang panjang harus dia pangkas, atau minimal dia kucir agar tak terlalu
menganggu saat dia berlari nanti. Karena jelas sangat lucu jika dia tak
memangkas rambutnya kelak. Mirip ekor kuda yang bergoyang. Ya itupun kalau dia
jadi atlet lari. Tapi aku yakin, dia tidak menyukainya. Dia lebih memilih duduk
di pinggir bebatuan dan menikmati fajar tiap pagi bersamaku. Aku hanya menebak.
Belum tentu benar juga.
Kami sudah sampai di waduk dan
menghampiri wilayah pinggir bebatuan. Tempat biasa kami gunakan untuk melihat
sinar fajar secara penuh.
“Di sini udaranya sangat sejuk
sekali,” dia tampak menghirup nafas dalam, membiarkan seluruh hempasan angin
masuk memenuhi paru-parunya.
“Ya.” kataku, lalu aku melakukan hal
yang sama dengannya. Kemudian menghembuskannya dengan kuat bercampur dengan
hembusan nafas Shania. Dia tak pernah bohong. Udara di waduk ini memang sangat sejuk.
Dia memeluk kedua lututnya dan
memandang jauh sinar samar matahari yang mulai tampak. Sepertinya sinar
matahari sebentar lagi akan tiba, dan aku juga sudah mempersiapkan diriku untuk
melihat senyumannya yang lucu. Senyuman yang membuat matanya segaris dan
terlihat sipit sekali, bahkan nyaris tak terbuka. Ya Tuhan, jenis anuegrah apa
yang Kau berikan padanya? Mengagumkan sekali.
“Maaf ya, kalau selama ini aku suka
maksa kamu buat nemenin aku ke sini,” katanya tiba-tiba. Membuyarkan rencanaku
untuk melihat senyumnya pagi ini. Raut wajahnya tampak murung. Tak menampilkan senyumnya
sedikitpun.
“Ah, tidak apa-apa kok. Malah
sekarang aku jadi lebih kurus gara-gara kamu,” jawabku dengan tersenyum.
Sedikit memancingnya untuk melemparkan senyum juga, dan ah berhasil. Dia ikutan
tersenyum, walaupun hanya tampak dari samping.
“Beneran? Perutmu aja masih tetap
buncit tuh,” katanya menoleh, mencoba menepuk perutku. Namun berhasil aku
tangkis.
“Siapa bilang? Aku sudah turun
sepuluh kilo.”
“Ah yang bener?” dia menoleh lagi.
Kali ini raut wajahnya tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku
mengangguk.
“Ya. Tapi kemarin naik sebelas kilo
sih. Hahaha,” candaku mendorong tangannya untuk menampar pundakku. Kali ini dia
berhasil menampar pundaku. Aku masih terkekeh tertawa melihat raut wajahnya
yang kesal. Tak lama kemudian, dia ikut tertawa juga. Ah itu dia yang aku
tunggu, matanya yang segaris saat dia tertawa selalu menyenangkan di mata.
“Reyhan?”
“Ya?”
“Aku tidak tahu, sampai kapan kita
akan terus begini,” celetuknya lagi yang membuatku sedikit bertanya-tanya. Pandangannya
seperti kosong menatap jauh sinar yang masih membias tipis dari balik gunung. Sedang
bibir bawahnya yang tipis, tengah dia gigit, mengisyaratkan bahwa ada sesuatu
yang tersimpan dalam benaknya. Aku semakin terheran-heran dengan sikapnya yang
tak biasa.
“Maksud kamu apa, Shan? Kamu punya
masalah?” tanyaku sedikit mendongakkan kepala ke arahnya.
“Ah tidak. Aku hanya khawatir saja
jika suatu saat, kita akan terpisah. Tak bisa lagi menikmati fajar berdua seperti
ini,” jawabnya memelas.
Aku mengerucutkan bibirku. Perpisahan
memang akan datang, tapi entah kapan, dan itulah yang menjadi pertanyaan. Aku
jadi ikutan mendengus pelan.
“Ya begitulah,” kataku singkat. Jujur
aku tak tahu lagi harus mengatakan apa jika menyangkut sesuatu yang
menyedihkan. Karena selama ini yang ada dia antara pundak kami hanyalah tawa
dan kesenangan. Jarang sekali memikirkan sesuatu hal yang seperti ini. Tapi
entah kenapa kali ini Shania membicarakan hal demikian.
“Aku tak pernah siap dengan apa yang
namanya perpisahan. Kau juga kan?” aku berpikir sejenak, mencoba mencerna
pertanyaannya. Butuh lima detik untuk merespon dengan anggukan kecil di
depannya.
“Ya.”
“Terlebih lagi, jika aku berpisah
denganmu. Pasti aku akan menangis seharian,” katanya lagi mellow, mendorong
tanganku untuk mengacak-acak rambutnya.
“Ah kamu ini, bicara apa sih.” Kedua
ujung bibirku tertarik berlawanan.
“Jangan! “ larangnya. Dia
menggeserkan kepalanya menolak usapanku. Susunan rambutnya tak mau aku rusak,
dan kepalanya sangat dingin.
Aku menarik tanganku kembali dari
kepalanya. Rambutnya yang hitam legam tersebut ternyata menyimpan kelembutan
dan aroma tujuh bunga di seratnya. Aku yakin dia pasti tidak mau memangkas
rambutnya yang sempurna itu.
“Aku selalu siap dengan perpisahan.
Karena semua pertemuan pasti akan ada perpisahan. Tapi sejauh ini aku belum
yakin, jika setiap perpisahan akan saling bertemu kembali,” kataku cukup lebar.
“Poin yang kedua itulah yang membuat
perpisahan tampak mengerikan, bukan?”, sahutnya. Aku mengangguk tanda setuju.
“Tapi jikalau kita berpisah, aku
yakin kita akan bertemu lagi,” kataku mantap.
“Tidak, kita tidak akan berpisah. Kau
temanku satu-satunya, dan aku akan sellu menjagamu. Walaupun aku seorang wanita,”
katanya menyanggah perkataanku.
“Kau juga akan selalu menjagaku, kan?”
tambahnya bertanya.
“Kau pikir yang menyelamatkanmu dari
preman kemarin, hantu gitu?” tanyaku mendengus kesal. Dia tertawa,
mengakibatkan matanya yang segaris itu muncul lagi. Tak sadar melihatnya, aku
turut tersenyum di depannya.
“Ya, aku percaya. Kau memang
sahabatku yang paling hebat. Hahaha. Terima kasih telah menjagaku selama ini,”
ujung bibirnya tertarik. Begitu juga dengan aku yang menerima ucapan terima
kasihnya.
Sungguh aku merasa dihargai sekarang.
Karena menurutku, tak ada hadiah yang paling berharga dari sebuah persahabatan,
kecuali ucapan tulus terima kasih dari sahabatmu itu sendiri. Kau setuju, kan?
Kemudian mata kami manatap hal yang
sama. Sebuah matahari yang tanpa disadari sudah hampir menampilkan seluruh
tubuhnya dari balik gunung. Sinarnya juga sudah mulai pekat, memantulkan semua
berkas cahaya ke lapisan lensa mata kami. Ya, seperti fajar-fajar sebelumnya,
tak jauh berbeda.
Sebenarnya aku bosan dengan sifat
fajar yang terkesan monoton tiap aku melihatnya di sini. Bergerak ke atas secara
perlahan dan kemudian meninggalkannya pulang. Lalu datang kembali untuk
menunggu fajar lagi. Tanpa ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Begitu
terus yang aku lakukan, sampai aku muak dibuatnya. Membosankan bukan?
Mungkin jika ada pelangi yang tumbuh
di sampingnya, membentang di atas gunung sana, itu jauh lebih baik untuk mataku.
Setidaknya menjadi sebuah ornamen untuk pemandangan fajar tiap pagi, dan agar
lebih bagus dilihat.
Namun, perlu aku tekankan lagi bahwa
Shania-lah alasan utamaku datang ke sini. Kalau tidak demi matanya yang setulus
itu, mana mungkin aku?
“Berjanjilah, kau tidak akan
meninggalkanku, Reyhan! ” pinta Shania tiba-tiba padaku. Aku mengernyitkan
dahi.
“Kenapa harus aku lakukan?” tanyaku
membuat Shania mendengus kesal. Nafasnya yang dia hembuskan kuat sekali,
sampai-sampai aku mendengar hembusannya.
“Kalau tidak mau, ya udah,” wajahnya
berubah kusut. Sepertinya dia marah.
“Eh, jangan marah dulu dong. Oke, aku
janji tidak akan meninggalkanmu. Puas? ” kataku disambutnya dengan senyum kemenangannya.
“ Dan satu lagi, anggaplah aku
seperti angin di pagi ini. Penuh kehangatan bagai cahaya matahari. Ya kan?”
“Ya. Lumayan,” celetukku singkat.
Sebenarnya dia ngomong apa sih?
“Janji?” dia menawarkan jari
kelingkingnya.
“Haruskah?” tanyaku lagi yang diresponnya
dengan tatapannya yang tajam dan seperti ingin menerkam jika aku menolaknya.
Mengerikan, garis matanya yang aku kenal lucu, menjadi sangat menakutkan. Tajam
sekali
“Baiklah, Shania. Aku janji tidak
akan meninggalkanmu ” aku menurutinya.
“Hanya itu saja?”
“… dan menganggapmu seperti angin di
pagi ini. Sosok yang penuh kehangatan bagai cahaya matahari. Puas? ” dia
tersenyum setelah aku menyelesaikan perkataanku, sedang aku menghembuskan nafas
sekali lagi sembari mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya.
Sebenarnya aku ragu berjanji
dengannya. Karena memang mustahil. Seperti yang aku katakan tadi bahwa setiap
ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Entah kapan itu akan terjadi, tapi
yang jelas kami berdua akan mengalaminya. Namun, jika dengan demikian mampu
membuatnya bahagia, aku rela.
Sungguh, aku rela melakukan apa saja
yang mampu membuatnya bahagia. Karena aku sangat mencintainya. Seharusnya kau tahu perasaanku ini,
Shan.
Dia masih mengunci rapat pandangannya
ke arah sinar fajar yang cerah. Langit yang mulai membiru dengan hiasan awan
ditubuhnya. Juga suara kicauan burung yang terbang membelah pandangan, menjadi
backsound senyumnya pagi ini.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan
tangan. Sudah pukul lima tiga puluh, dan seharusnya aku sudah sampai rumah
sekarang. Sebelum ibu membentakku dan menyuruhku untuk bergegas mandi. Namun,
Shania masih terlihat asyik dengan dunianya. Tanpa mempedulikan jam yang
melingkar di tangannya.
“Shan, pulang sekarang yuk,” ajakku.
Kepalanya tak menoleh. Matanya masih asyik menikmati sinar cerah di depannya.
Seperti mengatakan bahwa tak ada yang boleh menganggunya. Termasuk aku.
“Shan?” panggilku lagi. Kali ini aku
mengetuk pundaknya.
“Eh?” dia menoleh.
“Sudah setengah enam, pulang yuk,” ajakku
lagi.
“Ah, tidak. Kamu duluan aja. Aku masih
ingin di sini,” katanya menolak, kemudian pandangannya kembali tenggelam ke
depan.
“Beneran?” dia hanya mengangguk pelan
dengan senyumnya, tanpa menatapku.
Baiklah kalau itu membuatmu bahagia,
aku akan pulang sendiri.
***
Semakin lama, jarum kecil di arlojiku
bergerak perlahan ke kanan. Sementara itu aku juga masih berlari agar sampai
rumah tepat waktu. Mungkin akan membutuhkan waktu lima belas menit nantinya.
Aku berlari dengan cepat menuju
rumah, dengan kecepatan lari yang sama saat aku berangkat tadi. Kemudian
langkahku berangsur berhenti, setelah aku lihat banyak kerumunan warga
berkumpul di depan rumah Shania. Aku berjalan pelan dengan banyak pertanyaan di
angan. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, tapi yang jelas aku melihat Ayah
sedang mengangkat kursi dan membawanya ke dalam rumah Shania. Begitu juga warga
lain yang tengah sibuk mempersiapkan sesuatu.
Aku semakin penasaran, kupercepat
langkah kakiku untuk mengetahui kebenarannya,
“Ada apa, Pak?” tanyaku saat berhadapan
dengan Pak Hari, salah satu tetanggaku. Tetangga Shania juga.
“Shania … “ katanya tak selesai.
“Shania ? “ aku mengernyitkan dahiku.
“Shania meninggal, Rey.” katanya
membuat jantungku berhenti sejenak. Kepalaku mendadak pusing. Alisku menyatu
tanda tak mengerti. Meninggal?
“Shania meninggal?” orang di depanku
mengangguk. Aku tak bisa berkata sama sekali. Otaku masih buntu untuk mengolah
kata.
“Sabar ya, Rey,” lalu Pak Hari
berlalu masuk ke halaman rumah Shania dan meninggalkanku di depan gerbang. Aku
semakin tak mengerti. Setahuku Shania sedang di sana, di waduk tempat kami
tadi.
“Ayah,” panggilku setelah melihat
ayah keluar dari halaman rumah Shania. Beliau mendekat.
“Ini ada apa sih?” tanyaku penuh penantian
jawaban pasti darinya. Beliau tampak mendengus sebentar. Tangannya menepuk
pundak kiriku beberapa kali.
“Kau harus kuat!”
“Maksud ayah?”
“Sudahlah, ayah mau pasang bendera
kuning dulu. Hari ini kamu tidak usah sekolah. Bantu warga mempersiapkan
pemakaman. Cepat ganti baju,” kata ayah cukup lebar memperjelas semua
pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiran.
Badanku mendadak panas dingin. Tubuhku
seperti akan roboh. Entah antara yakin atau tidak yakin, aku harus
memastikannya sendiri.
Aku menghiraukan perintah ayah,
cepat-cepat aku masuk ke dalam rumah Shania untuk melihat kebenaran yang
sesungguhnya. Aku masih belum yakin betul apa yang dikatakan Ayahku. Walaupun
aku tahu, ayah tak pernah berbohong di saat yang tampak genting seperti ini.
Sampai kemudian, kebenaran
benar-benar terungkap. Aku melihat sendiri, dengan kedua mataku yang ragu, dia
terbaring kaku di karpet hijau ruang tamu. Berbalut kain putih polos yang
berhasil mengunci kedua tangannya. Tubuhku seketika lemas, lalu roboh di depan
jenazahnya. Air mataku tak bisa kutahan. Ini benar-benar Shania…
Di antara aku dan keluarga yang
menangisinya.
***
Aku menghirup bebas udara yang melayang
di sekitarku. Pagi buta seperti ini memang sejuk sekali. Persis apa yang
dikatakan Shania dulu di tempat yang sama, di pinggir bebatuan menghadap sang
fajar. Entah kenapa, air mataku mengalir lagi. Bayangan kenangan itu sangat
sulit kulupakan. Kenangan yang hampir sejak tujuh tahun lalu setia menamaniku, dihantui
roh Shania di tempat ini.
Siapa yang bisa menyangka bahwa Shania
yang mengucapkan terima kasih itu adalah Shania yang lain. Shania yang telah
lepas dari raganya. Bahkan sampai sekarang pun aku masih tak percaya. Tapi
begitulah kenyataannya. Shania memang sudah meninggal dalam tidurnya. Tidak
pernah bangun pada pagi itu.
Kau tahu? Aku sangat suka sekali
tempat ini. Bahkan aku sendiri menyesal dulu pernah meremehkan sinar fajar yang
aku anggap membosankan. Tapi ternyata, Shania telah mengajarkan aku sesuatu,
untuk lebih menghargai banyak yang hal yang ada di depanku. Aku jadi lebih
sering bersyukur karenanya.
Ponselku tiba-tiba bergetar, aku
merogoh kantongku untuk meraihnya.
“Aku pasti akan datang,” kataku untuk
yang di seberang sana.
“Jangan lupa ya, bro”
“Iya pasti. Selamat ya,”
“Terima kasih. Kapan menyusul? Kamu
sudah dua tujuh tahun lho.”
“Hm.. entahlah. Aku belum mau memikirkan
pernikahan.”
“Naomi mencintaimu, Rey. Kau harus
tahu itu. Kau harus menikahinya.”
“Selamat untuk pernikahanmu, ya.” aku
menutup telepon dan mendengus pelan.
Sampai sekarang aku masih tidak
mengerti jalan pikiran teman-temanku yang selalu menjodohkan aku dengan gadis
bernama Naomi. Aku tahu dia cantik, rambutnya lurus, kulitnya putih, bahkan
nyaris sempurna seperti bidadari. Tapi ada satu hal yang kurang darinya : Mata
yang segaris nan lucu saat tertawa. Mungkin hanya Shania-lah yang bisa.
“Shania, aku akan menikahimu. Kelak
di surga nanti.”
Cinta
bukanlah api asmara yang membara. Kehangatan angin yang bagai cahaya matahari ~
Tapi tetep lucu Kinal sih.. :3 |
Sama kayak cerita gue gan, tapi belum waktu nya untuk menikah aja :D
ReplyDelete