First Bestfriend
Bukankah kita selalu
bersama?
Bahkan hampir sedetik pun kita tidak pernah saling sendiri.
Aku
gadis lemah, namun dia pernah membuatku merasakan apa itu hidup. Sungguh,
semenjak berkenalan dengannya di sebuah ruang kelas yang sama, aku mulai
merasakan apa itu sahabat. Padahal sebelumnya aku mempunyai banyak teman di
sekolah, tapi tak pernah sekalipun mempunyai sahabat sebaik dan secantik dia.
Semenjak
berkenalan dengannya, aku mulai merasakan apa itu sebuah jalinan yang hampir
sama dengan percintaan. Ya walaupun aku tau, aku sendiri tak pernah menjalin
percintaan dengan siapapun, tapi aku rasa apa yang aku jalani bersama dengannya
selama ini lebih terkesan seperti hubungan sepasang kekasih.
Aku
salah, dia yang membenarkan. Dia marah, aku yang menenangkan.
Bukankah
itu yang selama ini orang katakan tentang cinta? Saling melengkapi antar satu
sama lain.
Sebuah
kehangatan itu seperti menjalar masuk melalui urat nadi, saat aku menjabat
tangannya pertama kali. Senyum di bibirnya seperti tengah mengguncangkan hatiku,
dan membuatku ingin mencium bibrinya saat itu juga.
Sungguh,
dia sangat menawan. Lewat cara dia berkenalan saja, sudah membuatku mengira
bahwa dia akan menjadi sahabatku nantinya.
Dan
ternyata benar. Dia lah sahabat sejatiku.
“
Kau ingin apa? Jus, es teh, susu, atau mungkin hatiku? “ candanya selalu saja
berhasil membuatku tersenyum saat kami mengisi jam istirahat berdua di kantin
sekolah.
“
Apa aja deh, asal sama kamu. “
“
Awww … “ sahutnya sambil memperlihatkan wajahnya yang sok-tersipu.
Kemudian
dia mengangkat tangannya dan memesan menu favorit kami setiap hari. Dua gelas
jus strawberry dan semangkok bakso untuk kita nikmati berdua.
Ya
benar. Aku serius. Kami memang selalu memesan satu porsi saja. Satu porsi bakso
untuk kami nikmati bersama, atau istilah umumnya ‘ Semangkok Berdua ‘.
Aku
pikir itu bukanlah sebuah hal yang memalukan, dan bukan pula sebuah yang baru
dalam kisah persahabatan kami. Kami biasa melakukan ini di kantin, ataupun di
tempat rame seperti sekarang.
Malu?
Tidak.
Justru
aku senang, bisa memperlihatkan betapa indahnya persahabatan kami ke khalayak
umum. Aku ingin membuat semua orang – mungkin saja – iri dengan cerita
persahabatan kami. Lagi pula, sejauh itu juga Kinal tidak pernah protes
denganku. Dia juga menikmatinya.
“
Nay, “ panggilku.
“
Ya? “ sebelah alisnya terangkat.
“
Kamu malu nggak makan semangkok berdua sama aku ? “ tanyaku menatap wajahnya
kali ini. Entah kenapa bibirnya yang seksi itu selalu menggodaku untuk
menciumnya.
“
Kenapa harus malu, sayang ? Malah aku seneng. “ sudut bibirnya terangkat.
“
Seneng karena bisa mesra sama aku kan? “
“
Nggak. Seneng karena bisa hemat uang saku. Hahahaha! “
Tiba-tiba
tawanya meledak. Suara keras tawa dari mulutnya dengan cepat mengisi seluruh sudut
kantin. Membuat seluruh siswa yang berada di sana menatap ke arah kami dengan
sinisnya.
“
Kamu kalau ketawa nggak bisa biasa ya, Nay “ tanyaku mengeluh, seraya melihat
beberapa pasang mata menyorot kami.
Sementara
Kinal hanya menggeleng, sembari senyumnya masih merekah.
“
Ketawa itu bawaan dari lahir kale, Ve. Nggak bisa di-edit, “ jawabnya ngasal,
membuatku terkekeh dibuatnya.
“
Ah kamu ini, bisa aja deh kalau jawab. Nggak pernah serius. “ kataku menanggapi
candanya yang begitu menghibur.
Bukan
Kinal namanya, dan bukan dialah sahabatku jika tak pernah bisa membuatku
terhibur, tak pernah membuatku tertawa atau membuatku sebahagia ini. Selalu ada
saja celah pada bibirku untuk tertawa saat sedang bersama dengannya.
Kami
berdua terdiam. Menyudahi canda kami. Sementara Kinal sedang sibuk dengan
pandangannya yang menyelidik ke sekitar kantin. Menoleh ke sana kemari seperti
kebingungan, serta rambutnya yang sebahu bersibahan.
Sangat
lucu, aku pikir dia memang sangat lucu. Apalagi saat dia terdiam seperti
sekarang, aura kecantikannya seolah menebal pada wajahnya. Membuatku selalu
tertarik untuk memandangi pancaran wajah yang menyilaukan.
Namun,
selalu saja. Setiap aku menikmati semua hal yang ada padanya, selalu terselip
rasa kekhawatiranku yang mungkin saja akan terjadi pada suatu saat nanti.
Sebuah hal yang tidak aku inginkan untuk terjadi dalam waktu singkat ini.
Sebuah
hal yang orang sebut ‘ Perpisahan ‘.
“
Nay, aku takut. “
“
Takut apa, sayang ? Zombie? “ tanggapnya masih ngasal.
“
Aku serius, Nay. “ kataku berdecak kesal, namun dia malah tertawa.
“
Iya deh iya, “ Kinal menatapku serius kali ini. Bola matanya menusuk kedua
mataku. Kedua alisnya terangkat sedikit dan pancaran keseriusannya kali ini
benar-benar terasa.
Melihat
peralihan wajah Kinal yang berubah menjadi lebih mengagumkan, justru membuatku enggan
menatap raut wajah keseriusannya. Jelas, dia hanya akan membuatku gugup
nantinya. Membuatku ingin mengecup bibirnya.
“
Kita udah lama kan temenan? “ kataku memulai, sembari melirik sedetik bibirnya.
“
Iya, terus ? “ bibirnya bergerak.
“
Kamu pernah kepikiran nggak sih kalau suatu saat nanti kita bakalan pisah? Nggak
bisa makan bareng, jalan bareng, ketawa bareng kayak gini, “ kataku murung, mengucapkan
hal yang tidak-tidak padanya. Hal terburuk yang mungkin saja akan terjadi pada
suatu hari nanti.
“
Ya iyalah, Ve. Hidup ini pasti ada perpisahan gitu.“
“
Tapi aku nggak mau, Nay. Aku pengennya terus sama kamu, “ kataku sedikit keras dengannya,
seraya menarik kedua tangannya dan menggenggamnya dengan hangat. Sekaligus memandang
kedua bola matanya dengan tatapan penuh arti, bahwa aku memang benar tak ingin
berpisah denganya.
Sungguh,
aku hampir menangis sekarang. Sekuat tenaga kukerahkan untuk menahan air mata
yang hampir saja keluar dari kelopakku.
Karena
ya seperti yang aku bilang tadi, aku wanita lemah. Hanya masalah seperti ini saja
aku hampir menangis di depannya.
Tapi
hey, bukankah semua orang menangis jika kehilangan orang yang dicintainya?
“
Ya aku juga gitu, Ve. Aku juga nggak mau pisah sama kamu. Tapi tetap saja kan,
suatu saat nanti kita bakalan pisah, “ terangnya, seolah tengah mengajariku
bahwa hidup memang tak selamanya bersenang-senang, ada kalanya kesedihan menimpa
kami sebagai manusia, dan kita hanya bisa menerima bahwa perpisahan itu memang
benar adanya.
“
Tapi tenang, Ve. Hanya ajal yang bisa memisahkan kita. Nggak ada satu pun
manusia yang bisa ganggu persahabatan ini,“ lanjutnya mantap sembari menepuk-nepuk
pundakku. Tak lupa juga dia menyunggingkan bibirnya untuk menguatkan
perkataannya sendiri.
Perlahan-lahan
aku mengembangkan senyum. Entah dengan mudahnya begitu, aku memperlihatkan
senyumku ke arahnya.
Membalas
senyumannya yang khas, bagaikan kelopak bunga sakura bermekaran, dan yang
selalu bisa membuatku tenang saat khawatir seperti ini. Terlebih lagi perkataannya
barusan begitu mantap, membuatku berangsur yakin dan tenang sekarang.
“
Iya, Nay. Nggak ada seorang pun yang bisa memisahkan kita.”
***
“
Sayang ? “ suara lirih terdengar, tepat saat sebuah pintu kamar terbuka.
Aku
yang tengah berbaring di kasur hanya bisa membiarkan laki-laki tersebut masuk
ke dalam kamar. Sembari melemparkan seutas senyuman ke arahnya yang tengah
membawakan nampan berisikan beberapa menu sarapan untukku.
“
Sudah bangun ya ? “ katanya, tak lupa juga senyum simpul khasnya. Kedua
tangannya kini tengah sibuk dengan nampan hingga membuat langkahnya hati-hati. Raut
wajahnya kebingungan untuk menyeimbangkan mangkok dan gelas agar tidak jatuh ke
lantai. Terlihat sangat lucu memang, membuatku terkekeh pelan.
Kemudian
dia meletakkan nampan di atas meja, lalu duduk menyambutku di sisi kasur.
Melihat aku yang masih terkekeh pelan, membuat kedua alisnya hampir menyatu.
“
Kok ketawa sih ? “ bingungnya, dengan decakan cemberut yang dia buat-buat.
“
Kamu lucu tauk tadi. Bawa nampannya kayak putri Solo, “ jawabku seraya menutup
mulutku menahan tawa.
Dia
semakin mengerucutkan bibir, dan sedetik kemudian ikutan tersenyum.
“
Masih mending putri Solo, daripada kamu … “
“
Apa ? “
“
Putri kayangan, “ jawabnya membuatku sontak memukul lengannya yang lumayan
kekar.
“Bisa
aja deh. “ ucapku seraya memegangi kedua pipiku yang mungkin saja sudah
memerah. Aku tak mau dia melihat pipiku sekarang. Sungguh, gombalannya barusan
membuatku melayang.
“
Sarapan dulu ya. Biar nggak sakit, “ katanya pelan. Tangan kanannya menjamah
keningku kali ini. Mengusa-usap dengan telapak tangannya yang lembut. Membuat
sentuhan yang memanjakan pada syaraf kepala.
Terlebih
lagi senyum yang mekar di bibirnya yang tipis itu seperti tak pernah surut. Selalu
bermekaran bagaikan bunga sakura di musim semi, membuatku merasa tenang sepagi ini.
Aku
sangat beruntung mempunyai suami seperti dia. Gemar melempar senyum dan selalu
berusaha untuk memanjakanku setiap hari. Bahkan dalam keadaan apapun, dia
selalu membuatku merasa bersyukur dan tegar.
Tak
ada sekalipun semburat penyesalan terpancar dari wajah tampannya. Dia selalu
memberikan semburat kebahagiaan, agar aku turut bahagia dengannya.
Sungguh
super bukan ?
Segera
saja aku membenarkan posisiku. Mengubah posisi yang tadinya berbaring, menjadi
duduk bersandar di kasur. Sedangkan suamiku, dia sibuk dengan semangkok bubur
ayam yang akan dia suapkan ke dalam mulutku.
Satu
sendok berisikan bubur dia angkat tinggi-tinggi. Kemudian melayangkannya tepat
di depanku.
“
Ayo, buka mulutnya tuan putri. “ godanya, membuat sudut bibir kami berdua
tertarik ke atas.
Tak
ingin membuatnya menanti, perlahan-lahan aku membuka mulutku. Tangannya
kanannya lalu menyuapiku dengan sangat lembut.
Sangat
lembut seperti tak ingin melukai mulutku dengan sendoknya.
“
Enak ? “ tanyanya, yang aku tanggapi dengan sebuah anggukan kecil. Serta tak
luput juga senyumku untuk menghargai usahanya sepagi ini.
Kembali,
dia mengaduk-aduk bubur di mangkok, sementara aku mencoba menelan bubur di
mulutku.
“
Tadi kamu mikirin siapa sih? ” ucapnya tiba-tiba. Kalimat bernada tanya
tersebut cukup membuatku sedikit terkejut. Aku menatapnya kali ini. Kedua
matanya benar-benar meminta jawaban.
“
Nggak mikirin siapa-siapa kok, “ sebelah tanganku mengusap bibirku yang basah.
Sebenarnya tidak basah sih, hanya saja aku tidak ingin dia tahu kalau aku baru
saja membohonginya.
Karena
sesungguhnya, dia pintar membaca gestur tubuhku.
“
Aku ini suami kamu, sayang. Kamu bohong kan ? “ tebaknya berhasil. Membuatku
kikuk sendiri, dan memilih diam dan tak menanggapinya.
“
Kangen Kinal ya ? “ tebaknya sembari tersenyum.
Aku
masih pada heningku sendiri. Tak menanggapi apa yang suamiku katakan.
Kemudian
dia mengirimkan lagi sesendok bubur ke arah mulutku. Kubuka mulutku dan
menelannya.
“
Kok diem sih? “
Dia
kembali mengaduk-aduk sebentar bubur di mangkok, dan kemudian kedua matanya
menatapku. Aku meliriknya sebentar.
Dia
mendengus pelan. Suara hembusan itu sedikit bisa kudengar dari hidungnya yang
menawan.
“
Aku nggak tau siapa itu Kinal, tapi kayaknya dia spesial banget buat kamu, “
ucapnya, seperti memancingku untuk membalas tatapannya.
“
Dia sahabat terbaikku, “ jawabku sedikit, seraya menghembuskan penat yang ada
di hati. Tapi berulang kali menghembuskan pun, jika ini mengungkit kenangan
bersama Kinal juga tidak akan melegakan. Bahkan air mataku hampir saja menetes
dibuatnya.
Ya
Tuhan, kenapa sepagi ini suasana kamarku berubah dengan begitu cepat ?
“
Ya aku tahu, sayang. Kamu sudah sering banget bilang itu ke aku, tapi … “ perkataanya
terpenggal.
“
Tapi apa? “
“
Tapi aku masih bingung … “ lanjutnya masih terpenggal. Tatapannya kali ini
mengerung dengan kalimat yang barusan dia katakan.
“
Bingung kenapa ? “ tanyaku antusias.
“
Kalau memang dia sahabat kamu, kenapa dia nggak pernah ke sini ? “
Sontak,
tubuhku panas dingin mendengar pertanyaan tersebut.
Aku
harus jawab apa?
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar