My Angel's Gonna Go The Star
Veranda …
Nama yang begitu mempesona. Sama
seperti pemilik nama tersebut.
Bagaimana tidak ?
Rambutnya yang panjang, kelopak
matanya yang indah, serta pipinya yang imut itu sudah membuat banyak pria
tergoda olehnya.
Membuat banyak pasang mata memperhatikannya
sekarang, di pertengahan taman kota yang cukup ramai.
Sungguh.
Lengkungan rupa yang begitu cantik
itu telah membuat banyak pria terasa berdesir setiap kali memandangnya.
Bahkan sampai sekarang pun tak ada
pria yang berani mendekatinya dan menemaninya duduk di salah satu bangku taman.
Tak ada yang berani mendekati
bidadari secantik Veranda.
“ Dia belum datang, “ gumam Veranda
pelan. Matanya melihat ke sana ke sini tak karuan. Disapunya seluruh penjuru
taman dengan pandangannya yang lembut itu, namun manusia yang dia nanti tak
kunjung menampakkan diri.
Sudah setengah jam lebih kiranya dia menunggu
sendiri di situ, dan selama itulah dia menahan untuk tidak risih atas kejahilan
pandangan yang menikam ke arahnya.
Dia mendengus pelan. Sekali lagi dia
menghembuskan udara dingin ke bumi. Menanti seseorang memang selalu
menjengkelkan untuk setiap makhluk ciptaan Tuhan.
Lalu dia hanya bisa terdiam sembari
tetap menahan rasa sakit akibat sepi.
“ Sorry, aku telat “
Suara tersebut tiba-tiba saja muncul.
Menggetarkan kedua gendang telinganya. Membuat Veranda mendongak ke atas, dan kemudian
tersenyum setelah mendapati tubuh laki-laki yang dia temui siang tadi telah
berdiri di depannya.
“ Tidak apa-apa, “ kata Veranda
lembut. Selembut tatapannya ke arah laki-laki tersebut. Laki-laki pertama yang
mengajaknya bicara di taman. Sekaligus laki-laki pertama yang berbaik hati
dengannya di kota tersebut.
Segera saja, Luhan mengambil tempat di
samping Veranda yang tampak kosong, dan mengambil jarak yang cukup renggang dari
Veranda.
Tampaknya Luhan masih tampak kaku
dengan pertemuan tersebut. Terlebih lagi memang ini adalah kali kedua dia
bertemu dengan Veranda. Setelah sebelumnya dia menyelamatkan Veranda dari
ancaman penjahat siang tadi.
Untung saja Luhan pernah belajar
taekwondo. Kalau tidak, mungkin Luhan lah yang akan babak belur dihajar preman.
“ Soal siang tadi, aku mau bilang terima
kasih lagi ke kamu. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika waktu itu tidak ada
kamu, “
“ Oh yang tadi ? Udah deh, nggak usah
dipikirin lagi. Aku ikhlas kok, “ terang Luhan sembari tersenyum manis ke arah
perempuan cantik di depannya.
Sejurus dengan itu, Luhan merogoh
kantong plastik yang dibawanya dan kemudian mengambil beberapa softdrink yang
baru saja dia beli di supermarket.
“ Ambil. Kamu pasti haus kan nungguin
aku? “ kata Luhan menyodorkan softdrink yang telah dia buka.
Veranda mengerutkan dahi. Walau tidak
ada kerutan yang muncul pada dahinya. Dia tampak bingung dengan sesuatu yang ditengah
disodorkan pada dirinya.
“ Hm.. terima kasih. Tapi aku tidak
haus, “ kata Ve menolak.
Sebenarnya, dia bukannya tidak mau
dan tidak menghargai pemberian Luhan, hanya saja dia tidak membutuhkan itu. Dia
tidak kehausan, dan bibirnya juga tidak sama sekali kering.
Dia tidak akan pernah membutuhkan
minuman, apalagi yang bersoda.
“ Kamu gak suka soda ? “
“ Hm … soda ? “
“ Ya, soda, oh atau jangan-jangan
kamu sukanya air putih ? “ tanya Luhan antusias. Seperti tengah mengintrogasi tahanan.
Mendapati pertanyaan tersebut, Veranda
hanya mengangguk kecil dan membenarkan begitu saja tebakan Luhan.
“ Baiklah, akan aku belikan sekarang.
Tunggu sebentar. “ Luhan meletakkan softdrink di sampingnya dan kemudian
bangkit dari kursi.
“ Tidak perlu. “ cegah Veranda
menahan tangan Luhan. Melarang Luhan untuk pergi darinya.
“ Aku tidak haus, “ lanjut Veranda
lagi.
Luhan mengerucutkan bibir, sebelah
alisnya terangkat tinggi. Sembari mengendikkan kedua bahunya, dia duduk
kembali.
“ Ya sudah kalau gitu, “
Setelahnya, Luhan hanya bisa menyesap
softdrink miliknya. Bibirnya yang basah, dia usap dengan sebelah tangannya.
“ By
the way, kamu tinggal di mana sih ? “ tanya Luhan kemudian.
“ Hah ? “ Veranda menggaruk-garuk
kepala.
“ Iya, rumah kamu di mana? “
Veranda memutar otak. Mana mungkin dia
punya rumah, kardus untuk berbaring di pinggiran jalan saja dia tak punya.
Dia bukan manusia, Luhan !
“ Belum waktunya aku
memberitahukanmu. “
Mendengar jawaban seperti itu, Luhan
tampak tak puas. Dia memutar tutup botol dan menyesap kembali softdrink
miliknya.
“ Ya, kalau gitu boleh dong aku minta
nomor ponsel kamu ? “
“ Nomor ponsel ? “
“ Ya, hampir semua manusia di dunia
ini mempunyai nomor ponsel. Boleh ? “
Veranda menggaruk kepala sekali lagi.
Dia hanya celingak-celinguk.
“ Maaf, aku tidak tahu. “
“ Maksud kamu gak hafal gitu ?
Sekarang kamu bawa ponsel gak? “ tanya
Luhan lagi, yang ditanggapi Veranda dengan gelengan kepala.
Luhan, sekali lagi mendengus pelan.
“ Jaman sekarang, orang-orang bawa
ponsel kalau pergi keluar. Tapi kamu ? Malah enggak, “ ucap Luhan sembari
melempar senyum termanis yang dia punya.
“ Kalau gitu besuk aja ya aku minta
nomor kamu? “ usul Luhan.
“ Kenapa kau memaksa ? “ kata Veranda
cukup membuat Luhan sedikit geram, dan mendengus pelan lagi.
“ Ya udah deh. Kapan-kapan saja, “
wajah Luhan berubah murung di depan Veranda. Melihat wajah seperti itu, Veranda
hanya bisa tersenyum.
Baru kali ini dia melihat senyuman
lucu dari manusia bumi.
“ Kalau hanya ingin bertemu denganku,
datang saja ke sini setiap kali kau ingin menemuiku. Aku akan selalu menunggumu
jam tujuh malam, “
“ Gimana kalau misalnya aku pengen
ketemu kamu tiap hari? Apa gak ngerepotin kamu? “ Luhan tertenggun.
“ Sama sekali tidak. Justru aku akan
sangat senang sekali jika kamu mau menemaniku tiap malam. Karena jujur, aku hanya
tinggal sendiri di kota ini, dan sejauh ini hanya kamu yang aku kenal.“
“ Orang tua kamu ? “
“ Hm… mereka tinggal di suatu tempat.
Mereka tidak ikut bersamaku. “
Luhan manggut-manggut mendengar
penjelasan Veranda, dan kemudian menyesap kembali softdrink miliknya.
“ Jadi kamu bukan asli orang sini ? “
tanya Luhan.
Veranda hanya mengangguk mengiyakan.
“ Kalau gitu, aku akan jadi teman
kamu dan bikin malam kamu menjadi indah dari biasanya, “ kata Luhan dengan
semangat sembari menarik tangan Veranda ke suatu tempat, dan malam itu menjadi
awal dari goresan pertemanan mereka berdua.
Sejak saat itulah - malam pertama
mereka bertemu - , Luhan dan Veranda selalu bersama setiap malam. Setiap jam
tujuh setelah matahari terbenam, Luhan selalu datang ke taman tersebut untuk
menemui Veranda dan mengajaknya untuk mewarnai malam bersama lagi.
Terkadang mereka menikmati malam
dengan makan bersama di suatu restoran ataupun kedai kecil-kecilan. Tak jarang
juga mereka memilih untuk pergi ke suatu tempat yang indah untuk dinikmati bersama,
serta hal apa saja yang membuat mereka berdua begitu menikmati hangatnya
kebersamaan.
Sesuatu yang ada di benak mereka
berdua bukanlah tentang kemewahan cara mereka bersama, melainkan bagaimana
mereka bisa menikmati kebersamaan itu hanya dengan waktu satu malam tiap
harinya.
Mereka berdua tidak ada yang
menginginkan malam begitu cepat berlalu, bahkan terkadang mereka menginginkan
matahari untuk selalu bersembunyi dari pandangannya.
“ Aku gak nyangka kita bakalan gini
terus tiap malam. “ ucap Luhan.
“ Iya, sudah lima belas hari kita
menjalani malam dengan penuh kegembiraan, “ sahut Veranda menatap hamparan
langit yang penuh bintang di atas.
“ Kamu senang nggak ? “ tanya Luhan,
mengalihkan pandangannya ke arah Veranda.
“ Tentu saja. Terima kasih ya. “
“ Sama-sama. Aku juga mau makasih sama
kamu. Sebelumnya aku gak pernah ngerasain hal seperti ini, berdua bersama
dengan perempuan secantik kamu, “ jawab Luhan sembari tersipu.
Mendengar ucapan Luhan yang sedikit ‘nakal’
, Veranda hanya tersenyum. Pandangannya dia lempar ke arah Luhan sekarang.
“ Kau begitu baik, Luhan. Bahkan kau
masih tetap baik padaku meski aku tak pernah memberitahukanmu di mana rumahku.
“
“ Ya, kamu keras kepala memang, “
ucap Luhan agak kesal.
Veranda tertawa kecil mendengar
tanggapan yang tak puas tersebut, di bawah hamparan rumput yang luas dengan
pemandangan air danau yang begitu menenangkan, dan dimanjakan dengan udara yang
tak begitu dingin di sana.
“ Maafkan aku, Luhan. Aku hanya takut
kamu akan menjauhiku nantinya “ batin Veranda dalam hati.
Hari demi hari berganti, malam tetaplah
malam milik mereka berdua. Sampai kemudian tepat pada hari ke- 48 pertemuan
mereka, untuk pertama kalinya Luhan memegang kedua tangan Veranda dengan penuh
harap.
Baginya, sudah saatnya dia
mengungkapkan perasaannya yang rumit tersebut. Dirinya sudah tak kuat lagi
menahan perasaan cintanya yang perlahan tumbuh di setiap malam mereka bersama.
Dia menginginkan sebuah kepastian hubungan antara mereka berdua yang tampak begitu
membingungkan untuk setiap orang yang melihatnya.
Ya, mana Luhan tahu bahwa sebenarnya
Veranda lah yang menjadi bintang hatinya akhir-akhir ini. Bintang yang selalu
menerangi malamnya yang biasa. Bintang yang telah menyadarkannya dari indahnya
hidup.
Veranda …
Luhan begitu mencintaimu.
Kaulah orang yang dia pilih.
Bersama denganmu membuat benih cintanya
tumbuh dengan pupuk yang kau tebarkan lewat senyuman.
Apakah kau mau menerima cintanya
nanti ?
Aku rasa kamu akan bingung
menjawabnya.
Mereka berdua kini mendongak ke atas.
Seperti malam beberapa hari yang lalu, mereka berdua bersandar di bawah
rerumputan yang tampak kusam diterkam gelapnya malam.
Sembari melihat jajaran bintang yang
berusaha menerangi kebersamaan mereka dengan jutaan titik cahaya di langit sana.
Dan selalu saja …
Bintang yang paling terang bagi Luhan
adalah bintang yang tengah duduk di sampingnya sekarang
Perempuan berambut panjang bernama
Veranda.
“ Kamu kenapa ? Kenapa melihatku seperti itu ?
“ tanya Veranda kepada Luhan.
“ Hehehe, nggak papa, “ jawab Luhan
begitu ragu.
“ Raut wajahmu juga berubah, Luhan.
Apa ada yang salah denganku hari ini ? “ Veranda mengamati pakaiannya. Mencari
sesuatu yang salah darinya.
“ Nggak kok, sama sekali nggak. Hanya
saja aku masih bingung kenapa Tuhan bisa menciptakan kamu secantik ini ya? “
goda Luhan sembari tersenyum.
Veranda tersipu malu mendengarnya.
Cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya ke arah langit, dengan menebarkan
senyuman ke arah bintang.
Senyuman bidadari tanpa sayap yang
membius hati.
Ah sial, apakah Tuhan tidak salah
menciptakannya dengan sesempurna itu ? Luhan masih saja bergumam dalam hati.
“ Luhan ? “ panggil Veranda
tiba-tiba. Membuat Luhan spontan menjawab …
“ Ya ? “ sembari mengangkat sebelah alisnya,
Luhan mengamati kelanjutan ucapan Veranda.
“ Terima kasih telah menemani
malam-malamku selama ini, “ lanjut Ve.
“ Sama-sama. Terima kasih juga telah
menemani malam-malamku, Ve. Aku sangat bahagia bersamamu setiap malam.“
Luhan tersenyum tipis ke arahnya.
Begitu juga dengan Veranda yang turut menyemarakan senyum Luhan.
Mereka berdua saling bertukar senyum.
Senyuman yang paling manis untuk dilihat.
Sejurus dengan itu, ada segumpal
darah yang tiba-tiba saja berdesir di dalam tubuh Luhan.
Sungguh, setiap senyuman Veranda
selalu membuat darah Luhan berdesir tak karuan. Membuat Luhan semakin yakin
bahwa Veranda adalah pilihan terbaik untuknya.
Sampai kemudian Veranda berucap
petaka. Tidak ada yang menginginkan petaka ini.
“ Luhan, harus aku sampaikan sesuatu ke kamu
bahwa sebenarnya malam ini adalah malam terakhir kita bersama, “ ujarnya
tiba-tiba.
Sontak saja, mendengar perkataan
tersebut hati Luhan seperti disayat pisau. Menggoreskan luka dan membuat
tubuhnya panas dingin.
Semua alisnya terangkat tinggi,
pandangannya dia arahkan lebih dalam ke arah Veranda.
Sungguh, dia sendiri tak menyangka
kalimat berbau perpisahan itu akan terujar dari bibir gadis yang dicintainya
itu.
“ Maksud kamu, Ve ? “ tanya Luhan tak
sempurna. Bibirnya benar-benar gemetar menanyakan maksud perkataan tersebut.
Syaraf motoriknya seperti mati di saat itu juga.
Veranda mengambil nafas sebentar.
“ Aku akan pergi, dan mungkin tak akan
kembali, “ katanya lagi membuat gejolak dalam tubuh Luhan semakin ganas.
“ Eh … kok gitu ? Kenapa mendadak
gini ? Nggak-nggak, kamu gak boleh pergi ke mana-mana. Pokoknya kamu harus di
sini, atau kalau perlu aku ikut kamu. Kemana saja. “
Veranda terdiam. Mendapati ketakutan
Luhan yang begitu besar tersebut, dia hanya bisa dengan kebisuannya.
Entahlah, dia sebenarnya juga tidak
tahu apa yang harus dia jelaskan lagi kepada Luhan. Menurutnya itu sudah jelas,
dia akan pergi dan mungkin tak akan kembali.
Tentu kalimat tersebut tidak akan
bisa memuaskan Luhan. Bahkan sampai kapanpun, Luhan tidak akan bisa menerima
kalimat tersebut.
Terlebih lagi sebenarnya Veranda juga
tidak ingin berpisah dengan laki-laki yang telah berjasa kepadanya tersebut. Sudah
terlalu banyak pengorbanan Luhan untuknya, dan dia tidak ingin meninggalkannya
sendiri begitu saja.
Dia ingin tinggal lebih lama lagi
bersama Luhan.
Namun semua harus pada aturan. Dia
harus kembali ke tempat asalnya.
Veranda hanya bisa mendongak. Diangkatnya
sebelah tangannya ke atas, dan menunjuk salah satu bintang yang bersinar di
sana.
“ Aku akan ke sana, “ ucap Veranda
tenang.
“ Maksud kamu ? “
Sejurus dengan itu, Veranda memegang
pundak Luhan yang hampir rapuh. Kemudian mengelusnya dengan lembut, dan bibirnya
membisikkan sesuatu ke arah telinga Luhan.
“ Aku akan pulang ke bintang, “
Sembari kedua sayapnya membentang
dari balik punggungnya yang ideal. Kedua sayap yang tampak begitu besar dan
membentang indah dengan cahaya yang sedikit menyilaukan itu sekarang terlihat
jelas oleh manusia.
Untuk pertama kalinya, Veranda duduk
di samping Luhan dengan kedua sayap putih tersebut.
Sedangkan Luhan hanya bisa terkejut
melihat kebenaran di depannya. Matanya semakin menyipit akibat terang cahaya
pada sayap.
“ Aku tidak punya rumah, aku tidak
punya nomor ponsel dan aku tidak menyukai minuman soda. Karena aku bukanlah
manusia seperti kau. “
“ Dan hari ini adalah batas hukumanku
, sudah saatnya aku pulang ke kayangan. Maaf, telah merahasiakan ini semua
darimu. Aku takut kau akan menjauhiku nantinya, “ lanjut Veranda sembari
menitikkan air mata. Air mata bidadari tersebut jatuh ke bumi untuk pertama
kali dalam sepanjang hidupnya di bumi.
Melihat tubuh Veranda yang dihiasi
dengan sayap yang begitu indah, tak membuat Luhan ketakutan dibuatnya. Justru
dia semakin terpana dengan kilauan sinar cerah yang muncul dari wajah Veranda.
“ Veranda, dengarkan aku ! “ Luhan
memegang tangan Ve dan sebelah tangannya lagi mengusap air permata yang muncul
dari mata bidadari tersebut.
“ Siapapun kamu, aku sudah terlanjur
cinta sama kamu. Aku mau kamu tetep tinggal di sini dan bersamaku setiap malam,
“ ucap Luhan dengan tenang. Setenang suasana malam yang menyelimuti mereka
berdua di sana.
“ Tinggalah di sini saja, Ve ! “
Luhan menatap Veranda dengan penuh
harap, begitu juga dengan Veranda yang penuh akan keraguan di dalam hatinya.
Perlahan demi perlahan wajah mereka
saling berdekatan, bibir mereka hampir menyatu, sampai kemudian terciptalah sebuah
kecupan yang beradu.
Sebuah kecupan bibir yang mewakili
perasaan Luhan bahwa dia memang sangat takut kehilangan Veranda. Begitu juga
dengan Veranda yang sebenarnya tak mau membuat Luhan sengsara tanpanya.
Sebuah tanda kasih sayang tersebut
akhirnya terjadi di sebuah tempat favorit mereka berdua.
Pinggir danau Ontario.
Mata mereka terpejam, sembari menikmati
tanda kasih tersebut.
Sampai kemudian, Luhan mengakhirinya.
“ Maaf, “ ucap Luhan kemudian.
Tidak seharusnya dia berbuat lancang
seperti itu, pikirnya dalam hati.
“ Luhan ? “
“ Ya ? “ jawab Luhan lirih.
“ Aku tidak jadi pergi. “
“ Maksud kamu ? “ tanya Luhan semakin
tak mengerti.
“ Ciuman yang kita lakukan barusan
membuatku menjadi manusia seutuhnya. Terima kasih telah menjadi cinta sejatiku,
“ ucap Veranda dengan tersenyum.
Sedangkan Luhan, matanya baru
menyadari bahwa kedua sayap Veranda yang sempat membentang tadi, kini hilang
entah kemana. Cahaya yang berkilau di
wajah Veranda yang sempat membuat Luhan
terpana tadi, kini juga sudah surut dan hilang terbias oleh udara.
Sekarang yang ada pada Veranda hanyalah
sosok perempuan yang sama seperti pertama kali Luhan bertemu dengannya.
Berambut panjang, berkelopak mata
yang indah, serta kedua pipi yang imut.
“ Aku tidak bisa pergi ke kayangan
lagi, “ ucap Veranda kegirangan.
Senyumannya merekah, air matanya menetes lagi.
Segera saja, Luhan menarik tubuh
Veranda dan memeluknya dengan erat.
Luhan menangis di bawah pundak Ve.
Bagaimana tidak, dia hampir kehilangan wanita yang dicintainya. Wanita yang
menjadi cinta sejatinya. Dia sangat ketakutan akan hal itu.
Namun, nafasnya kini lega. Siluet
senyum lebih mendominasi wajahnya sekarang.
Wanita yang dicintainya tidak bisa
pergi lagi ke kayangan, tidak bisa lagi menyulap diri menjadi bidadari yang
bisa terbang. Melainkan menjadi manusia sejati seutuhynya.
“ Ve ? “
“ Ya ? “
“ Maukah kau menikah denganku ? “ tanya
Luhan masih pada pelukan.
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar