Autumn Leaf
" Ada setiap kenangan untuk setiap daun yang gugur dari
tangkainya. "
Angin di bulan September. Musim gugur telah tiba. Serpihan daun
yang jatuh dari pepohonan perlahan menghiasi jalan sepanjang kota Akibahara.
Udara berhembus dingin. Mengalir sepoi membelai setiap ujung rambut. Menemani
perjalanan pulang seorang gadis bersama sepeda kesayangan.
Gadis tersebut tersenyum. Selalu saja tersenyum. Rona wajahnya
selalu cerah tatkala musim gugur menyapa. Entahlah, mungkin dedaunan kuning
yang berserakan di depan matanya, membawa arti tersendiri untuknya. Membawa
kekuatan tersendiri untuk hatinya yang terasa rapuh belakangan ini.
Kedua kakinya kompak. Mengayuh sepeda dengan kuat. Pikirannya tak
pernah terpusat untuk apa dia mengayuh secepat itu. Tubuhnya terlalu antusias
untuk menjalani hari pertama di musim gugur. Menyempatkan sebagian waktu
bersama daun malang berjatuhan.
Gadis tersebut telah tiba, di sebuah taman yang penuh akan daun
berserakan. Panorama indah dengan warna jingga seolah melukis semua yang ada di
mata. Dirinya lalu menyenderkan sepedanya di sebuah pohon besar yang berdiri
kokoh di sana. Lalu mendekat ke arah bangku tepat samping pohon tersebut
berada.
“Hah,” desahnya pelan, seraya tersenyum manis untuk udara kosong.
Tak ada yang menemani duduknya ataupun yang menyambut
kedatangannya. Yang ada hanyalah suara gesekan daun berterbangan, membuat
alunan khas yang memanjakan kedua telinga.
Punggungnya dia sandarkan pada bangku yang panjang. Pandangannya
lalu teralihkan pada sekitaran yang sepi. Sunyi dan tak ada satupun orang yang
berada di sana selain dia. Tempat yang seperti itulah yang menjadi favoritnya.
Sebuah tas selempang miliknya, dia alihkan ke atas paha. Membuka
pengaitnya lalu mengambil sebuah buku dari dalam tas tersebut. Buku hitam,
tertulis huruf kanji pada sampulnya telah berada di genggamannya sekarang.
Membuat hidungnya menarik nafas dalam untuk kesekian kali.
Rasanya berat. Tenggrokannya tercekat. Seolah dirajam oleh ribuan
batu ke arahnya. Dadanya terasa sesak, bersamaan dengan kenangan yang melintas
dalam benak. Membuat kedua kelopak matanya harus menahan bulir untuk ke sekian
kalinya. Menahan air matanya untuk tidak menetes lagi di musim ini.
“Aku lelah,” keluhnya pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Cukup
dia sendiri dan pohon besar di sampingnya yang mendengar.
Karena sekali lagi, dia hanya sendirian.
***
"Ah indah sekali," pekik gadis bergigi gingsul ke arah
serpihan daun yang menguning di tanah. Berguguran dari pohon melukis dengan
rapi hamparan taman yang luas nan sepi di pagi hari. Gadis itu lalu memutar,
merentangkan kedua tangannya seperti apa yang pernah dia lihat dalam drama
korea. "Seperti di Seoul," katanya lagi seraya menghirup udara segar
di sekitar.
Nina tersenyum. Cukup puas dengan reaksi gadis di hadapannya..
Kedua tangannya melipat di depan, sembari menghangatkan tubuhnya akibat dari
angin dingin yang membelai kulitnya. "Kau suka?" Nina berjalan
mendekat ke arah gadis tersebut.
Gracia mengangguk. Sama sekali tak pernah membayangkan bahwa Nina
akan mengajaknya ke sebuah tempat yang sama sekali tak pernah dia kunjungi
berdua sebelumnya. "Suka sekali." kata Gracia dengan senyum lebar.
“Kau bilang kalau kau tak menyukai musim gugur. Kenapa kau membawaku
ke sini?” tanya Gracia balik dengan tatapan yang sedikit sinis.
”Shin no (benar). Kecuali untuk hari ini,” Nina
mengangguk sedikit menjawabnya. Sementara Gracia tak peduli dengan jawaban
sahabatnya tersebut. Kedua kakinya terlalu sibuk bergantian menyepak daun yang
layu di tanah. Terus bersemangat untuk menikmati sesuatu yang selama ini ia
impikan: Bermain di taman saat musim gugur tiba. Terlebih lagi bersama Nina -
sahabatnya sejak SMP di Akibahara, Jepang.
"Duduk sini yuk, " ajak Nina mengisyaratkan untuk
mendekat. Sementara Gracia, masih asyik dengan serpihan daun yang terengkuh
pada kedua tangannya, "Sebentar dulu lah, Mids." jawab Gracia kepada
Hamids - sapaan Nina, yang sudah duduk santai di sebuah bangku taman samping
pohon besar. Tanpa menoleh sedikitpun ke arah sahabatnya.
"Ayolah, aku ingin mencium rambutmu," goda Nina dengan
tersenyum, membuat Gracia menoleh ke arahnya. " Shinkokuna?" tanya
Gracia balik.
"Hai (ya)," Nina mengangguk mantap sembari
menahan tawa dalam mulutnya.
Setelah Gracia tiba dan merapatkan tubuhnya di samping Nina, gadis
itu menghembuskan nafas dalam. Pandangannya dia lemparkan sepenuhnya ke arah
panorama musim gugur di depannya. Ada perasaan marah ketika pikirnya sadar
bahwa Nina terlalu jahat untuk menjadi sahabatnya.
"Tega sekali. Baru mengajakku ke sini," Gracia
mennggembungkan pipinya. Menyembunyikan gingsulnya yang lucu.
Buru-buru Nina menoleh ke arah wajah muram sahabatnya tersebut.
"Kau marah?", Gracia tak menjawab. Masih mempertahankan air mukanya
yang kesal.
"Gommen ne (maaf). Seharusnya memang aku mengajakmu ke
sini dari dulu," kata Nina lagi membuang pandangannya ke arah pohon
berdaun jingga. "Tapi setelah tahu bahwa kau akan pulang ke Jakarta besuk,
aku baru menyadari ini semua," Nina sedikit tertawa. Mencoba memanipulasi
kesedihan dalam hatinya. Tatapannya tertunduk dan mengerutuki hatinya.
"Aku memang bodoh kan, Gracia." tambah Nina sekali lagi lalu
tertunduk ke arah sepatunya yang kusam. Sekusam air mukanya sekarang
Gracia sadar. Perkataannya barusan membuat Nina sedih. Padahal dia
sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Tapi kenapa keadaan berbalik menjadi
Nina yang merasa terintimidasi.
"Oh, Nina," sesal Gracia seraya menawarkan pelukan untuk
Nina di sampingnya. "Aku hanya bercanda. Kau jangan sedih seperti itu.
Hidungmu bisa berubah jelek saat kau sedih seperti ini,” hibur Gracia.
Sementara Nina hanya bisa menikmati pelukan yang entah kapan lagi dia akan
merasakan hangat pelukan tersebut. Bayang-bayang tinggal sendiri tanpa Gracia
di Akibahara, menghantui pikirnya sekarang.
Gracia melepaskan pelukan. Kemudian mengambil satu daun yang baru
saja gugur menimpa lembut rambut Nina. Setelahnya dia meraih kedua tangan
Nina dan meletakkan satu daun tersebut ke dalam telapak Nina yang lembut.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi tolong
simpan baik-baik daun ini selagi aku di Jakarta," Gracia meninggalkan daun
tersebut ke dalam genggaman Nina.
"Bakatare (dasar bodoh). Mana mungkin aku bisa
mengganti sosokmu hanya dengan sebuah daun yang layu," cerca Nina kepada
Gracia yang menyunggingkan senyum.
"Justru kau yang bodoh,” Gracia terkekeh. "Aku hanya
menyuruhmu untuk menyimpannya. Bukan untuk mengganti sosokku," jelas
Gracia membuat kedua alis Nina mengerucut.
"Simpan daun ini di tengah buku diary-mu. Karena suatu saat
nanti aku akan kembali sebelum daun ini hancur di hadapanmu."
"Majisuka (serius) ?"
“Majiteou," jawab Gracia mengaitkan kelingking mereka.
***
Sekelebat kenangan itu baru saja muncul. Sepenggal cerita yang tak
pernah dia mengerti akhirnya terulang juga dalam pikirnya. Membuat bulir mata
yang berusaha dia tahan untuk tidak keluar, mengalir deras merambat kedua
pipinya.
Tak ada yang menertawakan. Udara dingin yang berhembus pun tak
sedikitpun berbelok menjauhinya. Semua tahu bahwa air mata memang sulit untuk
dikendalikan. Terlebih lagi ketika ini menyangkut dengan sahabat. Pastilah
sulit untuk dihindarkan.
Nina mendongak ke atas. Menatap kosong langit biru yang cukup
cerah. Hanya ada awan sedikit yang bertengger di sana, seolah mengibur Nina yang sedang muram.
“Gracia,” panggil Nina. Tak ada yang mendengar. Bahkan awan yang
diajak bicara pun sama sekali tak memperhatikan.
“Kau benar. Aku memang bodoh,” cerca Nina pada dirinya.
“Seharusnya aku tak selalu menunggumu di sini, “ tambah Nina sesenggukan,
sembari masih tak mengerti dengan kata hatinya.
Kata hatinya bilang dia harus tetap tinggal. Tetap menunggu Gracia
kembali dengan janjinya. Tetap tersenyum walau kepastian tak kunjung datang.
Namun di sisi lain pula dia juga harus sadar bahwa Gracia sudah
bahagia bersama orang lain. Bahagia bersama serpihan pesawat yang jatuh di
musim yang sama. Jatuh dan gagal membawa Gracia kembali ke Jakarta.
Betapa sedihnya Nina ketika harus membayangkan sahabatnya tertimpa nasib seperti daun di musim gugur. Jatuh, melayang dan hilang entah kemana. Bahkan sampai sekarang pun jasadnya tak pernah ditemukan.
Ah sial
Betapa sedihnya Nina ketika harus membayangkan sahabatnya tertimpa nasib seperti daun di musim gugur. Jatuh, melayang dan hilang entah kemana. Bahkan sampai sekarang pun jasadnya tak pernah ditemukan.
Ah sial
Dia menangis lagi. Air matanya menjadi. Tak pernah menyangka bahwa takdir akan sekejam ini kepadanya. Padahal di bandara, mereka sudah berjanji untuk merayakan kelulusan bersama. Namun mau di kata apa? Semua lenyap begitu saja. Seperti dedaunan yang lenyap diterpa angin di hadapannya.
Sampai kemudian,
Nina terpaku. Perasaannya dia biarkan untuk damai sementara waktu. Setelah mendapati daun yang dia selipkan – empat tahun yang lalu, dalam bukunya masih berwarna jingga seperti dulu. Masih tercium harum tangan Gracia yang sukses terpatri dalam ingatannya. Selembar daun pemberian Gracia di tempat yang sama.
Gracia belum habis. Dia akan selalu ada di hati Nina. Meski hanya sebuah selembar daun yang dimilikinya, sosok Garcia akan selalu ada di samping Nina.
Sampai kemudian,
Nina terpaku. Perasaannya dia biarkan untuk damai sementara waktu. Setelah mendapati daun yang dia selipkan – empat tahun yang lalu, dalam bukunya masih berwarna jingga seperti dulu. Masih tercium harum tangan Gracia yang sukses terpatri dalam ingatannya. Selembar daun pemberian Gracia di tempat yang sama.
Gracia belum habis. Dia akan selalu ada di hati Nina. Meski hanya sebuah selembar daun yang dimilikinya, sosok Garcia akan selalu ada di samping Nina.
Nina tersenyum sekilas, lalu bangkit dari kursinya. Tekadnya sudah
sangat bulat untuk menyakinkan sesuatu pada dirinya sendiri. “Bodoh. Seharusnya
memang aku tetap menunggumu, Gracia. Duduk di tempat ini sampai daun ini
benar-benar hancur dan menghilang dari hadapanku,” kata Nina yakin sembari
menutup bukunya
Kali ini dia benar-benar mengikuti kata hatinya. Meskipun dirinya
tahu, bahwa Gracia tak akan pernah kembali lagi, setidaknya ada setiap kenangan yang tergambar dalam ingatannya saat melihat daun gugur di taman tempat dia akan selalu menunggu.
Demi Gracia. Dia akan selalu menunggunya.
Sekali lagi, Gracia. :’)
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar