Debt
Ibu adalah segalanya
Tangannya dingin. Aku masih bisa merasakan kegelisahannya sekarang. Bahkan kedua matanya yang tampak berkaca, membuat otakku yakin bahwa dia tidak bahagia dengan semua rencana yang telah dilaluinya.
Kuseka dengan sebelah tanganku bulir bening matanya. Sedikit meniupkan hembusan untuk nafasnya yang tersedu. Pipinya yang gemuk perlahan memerah dengan semburat wajah yang muram.
"Sudahlah, " kataku menguatkan hatinya yang mungkin saja rapuh."Kau tak perlu menangis lagi," kuusap lembut tangannya. Masih terasa lembut seperti hari sebelumnya. "Semua sudah menjadi suratan takdir dari Tuhan."
Matanya membulat. Aku sedikit terkejut dengan peralihan tersebut. "Kau bilang apa?" serunya padaku. " Suratan takdir ? " Aku diam tak menjawab sama sekali.
"Ini bukan takdir. Ini salahmu !" katanya mengerutuki perasaanku. Dia melepas genggamanku dan menunjukku dengan tegas.
"Semua tidak akan menjadi begini jika dari dulu kau sudah menjual sawah ibu."
"Tapi itu peninggalan ibu satu-satunya. Aku tak mau membuat beliau sedih di surga," ucapku membela arwah ibunda.
"Lebih sedih mana, ibumu atau ibuku yang harus menyaksikan anaknya menikah dengan pria lain demi menembus hutang mertua?"
"Diamlah," segera saja kuraih tangan kanan mempelai pria dan mengucapkan ijab untuk menwujudkan qobul mereka.
Maafkan aku Farin. Abang harus melakukan ini demi ibu.
"Diamlah," segera saja kuraih tangan kanan mempelai pria dan mengucapkan ijab untuk menwujudkan qobul mereka.
Maafkan aku Farin. Abang harus melakukan ini demi ibu.
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar