First Bestfriend [ Part 3 ]
Satu hari seperti mengubah semuanya
Hari ini cukup menarik. Banyak senyum
lucu yang aku lihat. Kedatangan Kris tadi pagi baru saja membuat deretan siswa
pemilik senyum lucu di sekolahku bertambah satu. Setelah sebelumnya senyum
Kinal yang menurutku terbaik dari semua senyum yang pernah aku temui di
sekolah, akhirnya aku menemukan pesaing yang layak untuk menandingi senyumnya.
Siapa sangka Kris lah orangnya.
Aku masih tak habis pikir kenapa Tuhan
menghadirkan satu makhluk menarik lagi untukku. Aku pikir Kinal akan menjadi
makhluk yang paling menarik, tapi ternyata Kris datang secara tiba-tiba.
Mengubah jalan pikirku untuk terus memujinya. Ah, laki-laki itu cukup luar
biasa. Apakah setiap makluk di dunia ini mempunyai sihir yang berbeda-beda ?
Sesuai rencana tadi pagi, sepulang
sekolah nanti kami bertiga - Aku, Kinal, dan Kris – akan pergi ke toko buku.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku akan pergi ke toko buku dengan seorang
laki-laki. Padahal biasanya aku pergi bersama Kinal, atau kalau tidak ya hanya
sendirian. Tapi untuk kali ini nanti, Kris akan ikut serta. Sekaligus
memberikan kami tumpangan ke tempat tujuan. Semoga hari ini akan berjalan
sesuai harapan.
Kinal dan aku sudah berada di depan
pintu kelas sekarang, sembari mata kami berdua menatap kompak ke arah tubuh
Kris yang sedari tadi masih sibuk mencatat materi pelajaran yang tertulis di
papan tulis. Padahal bel tanda usai sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang
lalu, namun laki-laki tersebut masih sibuk dengan pekerjaannya.
“ Ve, lihat deh! “ ucap Kinal, seraya
menyenggol lenganku. Aku yang merasakan siku lengannya tersebut, sontak
mengalihkan padanganku ke arahnya.
“ Dia kalau lagi serius keren juga ya,
“ bisik Kinal nyengir, matanya masih memandang tubuh Kris. Seperti tengah
mempelajari setiap gerakan yang Kris buat.
“ Namanya siapa tadi ? “ Kinal
menatapku.
“ Kris. “
“ Oh ya, Kris. Lucu juga, “ gumam
Kinal, kembali melayangkan lirikannya ke arah siswa baru tersebut.
Melihat sikap Kinal yang seperti itu,
membuatku sedikit gusar. Membuatku tidak nyaman dengan kalimat pujian yang baru
saja dia ucapkan dengan bibirnya tersebut. Entah kenapa, tapi yang jelas binar
matanya seolah menebal saat memandang Kris di dalam kelas. Memunculkan sebuah
tanda tanya dia atas kepalanya.
Jangan, aku tidak mau. Batinku dalam
hati.
Segera saja, sebelum semuanya
terlambat, dengan spontan aku menarik lengan Kinal untuk menjauhi ambang pintu.
Menjauhkan kedua matanya yang tengah bertabur bunga, dari sosok Kris yang
memang menawan. Aku tidak mau Kinal memandang Kris dengan cara seperti itu.
Apalagi dengan tatapan menggoda yang biasanya hanya lah aku penerimanya.
“ Hey, “ seru Kinal saat aku
mencengkeram lengan kananya. Mencoba menuntunnya untuk segera duduk di atas
kursi panjang yang membentang di sisi lorong kelas.
Aku hanya diam saja, saat dia menatapku
dengan wajah yang sedikit bingung. Mungkin saja cengkeraman tanganku terlalu
keras untuknya, hingga membuatnya sedikit terkejut oleh tingkahku yang
terbilang tiba-tiba.
Kemudian aku duduk merapat di
sampingnya, seraya melabuhkan tas punggungku di samping kanan yg masih kosong.
Kulingkarkan lengan kiriku ke tubuhnya, dan menjalarkan ketenangan ke dalam
tubuhnya.
“ Duduk sini aja ya. Capek kalau
berdiri terus, “ jelasku sembari tersenyum, setidaknya itu akan membuat
kebingungannya mereda.
Syukurlah, dia membalas senyumku. Tak
menaruh curiga ke arah wajahku yang memerah. Padahal aku sudah takut kalau dia
akan marah dengan perlakuanku barusan. Namun ternyata, dia membalas kesan
positif dengan senyuman.
Ya aku tahu, dia tidak akan pernah
marah. Seorang Kinal yang terbilang tegas selama ini memang selalu lembut
padaku. Namun bukan berarti aku harus selalu percaya bahwa semua sikap manusia
itu tak bisa berubah.
Hanya saja di balik kelembutan sikap
yang dia torehkan selama ini, apakah dia sadar bahwa sikapnya barusan membuatku
sangat takut kehilangannya ?
Kinal !! Bisakah kau sedikit mengerti
perasaanku?
***
Mobil tampak sudah berhenti, tepat di
parkiran depan toko buku. Kami bertiga kemudian keluar dari mobil dan membuat
langkah kompak menuju ke dalam.
Rame, mungkin adalah kata yang tepat
saat aku menginjakan kedua kakiku di lantai ruangan toko. Sebuah gambaran
suasana di dalam ruangan yang sudah tampak banyak sekali orang berhamburan di
sana. Sibuk dengan keperluan mereka masing-masing seraya mengunci pandangan ke
arah banyak ratusan buku, atau bahkan ribuan yang tertata rapi di sana.
Kinal menggenggam tanganku -seperti
hari-hari biasanya- . Tatapannya segera dia lemparkan ke arah sudut bagian
kategori di mana komik berada. Langkahnya sudah hafal betul dengan cepat dan
menyeret aku untuk mengekornya menuju bagian rak yang terlihat banyak sampul
lucu tertanam di sana.
Begitu juga dengan Kris yang baru
pertama kali mengunjungi toko buku langganan kami. Dia hanya celingukan mencoba
untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungan toko yang mungkin terbilang asing
untuknya. Langkahnya hanya bisa patuh dan mengekor ambisi Kinal yang masih
antusias untuk segera mendapatkan komik favoritnya.
Mungkin Kinal tak mau mengambil resiko
kehabisan stok komik incarannya. Hingga langkahnya cepat dan wajahnya seolah
rindu ingin bertemu dengan seri terbaru.
Pandangan Kinal membuas, seolah manari
ke sana kemari. Mencari keberadaan komik yang sudah menjadi andalannya sejak
bangku SMP. Sampai kemudian tangan Kinal bergerak cepat, saat matanya menangkap
sosok komik yang sudah tidaklah asing baginya. Seri komik favorit terbaru yang
dia cari akhirnya berhasil dia temukan.
Taburan bunga seolah terbang
berhamburan dari kedua matanya. Semburat senyum kepuasan terpancar jelas dari
sudut bibir tersebut. Kinal tertawa sendiri dengan apa yang baru dia dapatkan
sekarang.
“ Syukurlah, Ve. Ketemu juga. Hahaha “
nafasnya berhembus lega. Tangannya beralih mengelus komik yang akan dia beli
tersebut.
Hingga kemudian, senyum tersebut
terpenggal saat suara Kris yang menarik menggema secara tiba-tiba.
“ Hey, “
Aku mengalihkan pandanganku kepada
Kris, meski Kris menatap Kinal sekarang. Mata mereka saling melempar
pandangan.
“ Kamu juga suka ‘Miiko’ ? “
Mendengar perkataan tersebut, lantas
saja membuat Kinal terkejut. Matanya jelas terbelalak kaget dengan mulutnya
yang mengaga setengah tanpa sadarnya. Telinganya seperti belum siap menerima
kalimat Kris, dan masih belum mengerti dengan kenyataan yang terjadi.
Aku pun juga.
Siapa sangka, Kris yang mempunyai
perawakan tegap dan bawaan sikap yang – mungkin - terbilang dewasa tersebut
memiliki selera yang sama dengan Kinal. Padahal secara umum komik tersebut
hanya disukai oleh kaum perempuan, namun Kris baru saja membuktikan bahwa
pernyataan tersebut salah besar.
Hati Kinal mungkin berbunga-bunga
sekarang. Menemukan seseorang yang selera dengannya. Sedangkan aku sendiri
masih tak mengerti, mengapa rasa gusar selalu muncul saat momen seperti ini
terjadi. Terlebih lagi melibatkan keduanya yang tampak makin dekat saja.
Ah tidak. Aku tidak muak, mungkin aku
nya yang butuh beradaptasi dengan situasi seperti ini. Karena pasti kejadian
semacam ini akan sering terjadi nantinya.
“ Kamu juga suka ? “ seru Kinal
antusias. Semburat wajah terkejutnya masih membekas.
Kris mengangguk pelan.
“ Sejak SMP aku udah suka banget sama
komik ini, “ ucap Kris dengan senyum terbaiknya.
Benar bukan. Mereka semakin cocok saja.
Sedetik kemudian, Kinal tersadar bahwa
komik yang baru saja diambilnya adalah stok terakhir dari toko tersebut. Tak
ada komik sama yang tampak di sana. Aku sendiri juga ikut menerawang di
sekitar. Namun nihil, komik yang dipegang Kinal memang paling terakhir.
Kinal menatap lemah ke arah Kris. Dia
merasa tak enak dengan laki-laki tersebut. Tapi Kris justru melebarkan
senyuman.
“ Iya nggak papa kok, buat kamu aja.“
ucap Kris, masih mengulum senyuman untuk Kinal. Karena Kris sendiri mungkin
juga tidak mau membuat Kinal tak enak dengannya. Jadi dia mempertahankan
senyuman tersebut untuk menutupi titik kekecewaannya sekarang.
Hah, entahlah. Aku hanya sekedar
menebak hati seseorang. Belum tentu benar juga.
Tapi yang jelas, aku merasa tersisihkan
di sini. Tak ada peran berarti untukku saat mereka berbincang di depanku.
“ Gini aja deh, gimana kalau besuk kita
bacanya barengan? “ usul Kinal, membuat mataku sedikit membulat.
“ Boleh tuh, “ setuju Kris dengan
ceria.
Rasa sesak entah tiba-tiba saja
menjalar lagi dengan sendirinya. Masuk ke dalam tubuh dan mencekat
tenggorokanku yang memang sudah kering sejak tadi.
Baca bareng? Aku tidak salah dengar
kan?
Jujur saja, kalimat itu seperti sangat
langka saat aku mendengarnya barusan. Karena selama ini - sepanjang
persahabatan aku dan Kinal - dia tak pernah mengajakku untuk membaca berdua
komik favoritnya.
Ya mungkin sebab dia tahu bahwa selera
kami berbeda, jadi dia sungkan mengajakku untuk ikut serta menjamah apa yang
dia baca.
Tapi itu bukanlah sebuah alasan yang
konkrit untukku. Bagaimanapun juga dia sama sekali tak punya hak untuk mengajak
Kris melakukan hal tersebut.
Tanpa seijin aku.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana
perasaanku nantinya saat melihat mereka berdua duduk bersebelahan, membaca
komik bersama dan tertawa dengan sebab yang sama, jikalau dengan mendengar
rencana tersebut saja aku sudah berkecamuk tak karuan.
“ Ve ? “ Kinal memanggilku.
“ Ya ? “
“ Kamu mau beli novel sekalian nggak ?
“ tanya Kinal, kali ini mereka berdua menatapku.
Belum sempat bibir keringku menjawab,
tiba-tiba Kris angkat bicara.
“ Ve suka novel ? “
Nadanya seolah terkejut dengan ucapan
Kinal barusan. Ekspresi terkejut dengan mulut sedikit terbuka dan kedua sudut
bibirnya yang tertarik berlawanan. Membuat wajahnya semakin lucu saja.
Ah, kenapa aku berpikiran seperti ini.
“ Iya, Kris. Kamu juga? “ tanyaku
kembali, seraya membalas senyum lucu miliknya.
Kupandangi kedua matanya yang sipit tersebut untuk menunggu jawaban.
“ Hmm.. nggak. Menurutku novel itu
membosankan. Aku lebih suka komik seperti Kinal, “ Kris nyengir, berhasil
membuatku tertikam. Hatiku seperti jatuh saat dia mengakhiri jawabannya
tersebut.
Aku kira Kris denganku sama. Dia juga
akan menyukai novel. Tapi ternyata dugaan manusia memang tak selamanya benar.
Ah sial, kenapa aku ditakdirkan untuk
tidak menyukai komik.
“ Gimana, Ve. Beli novel sekalian nggak
? “ Kinal kembali bertanya. Tangannya masih menggenggam erat komik stok
terakhir tersebut.
“ Nggak lah, Nal. Masih ada yang belum
dibaca di rumah.“
“ Ya udah deh kalau gitu, aku juga
nggak nyari buku lain kok, “ ujar Kris.
Setelah Kinal membayar komik miliknya,
kami bertiga segera saja melangkah keluar dari toko tersebut. Meninggalkan
pengunjung lain serta ratusan buku tertata rapi di dalamnya.
Namun, ada satu hal yang belum
tertinggal, dan masih melekat di pikirku sejak tadi. Sebuah hal yang masih
menjadi tanda tanya bagiku dan menyisakan misteri tersendiri di sudut hati.
Kinal dan Kris, untuk hari ini telah
membuat jalan pikirku berbeda. Membuat detak jantungku lebih cepat dan riuh
dari biasanya. Membuat pelipisku berkeringat, dan hatiku yang perlahan hangat.
Membuatku bertanya dalam hati, apakah
aku cemburu kali ini?
Kalau iya, dengan siapa?
Kris atau Kinal ?
Sungguh, aku bingung sekarang.
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar