Early Ring
Jauh-jauh aku ke sini. Susah-susah aku mencarimu.
Hanya ingin memberikan apa yang seharusnya milikmu.
Sudah sekitaran dua menit lamanya, wanita tersebut tersenyum ke arah Veranda. Membuat tatapan yang riang dan memandang lekat dengan air muka yang seperti ingin memeluk gadis di depannya. Dua menit pula lamanya, Veranda masih tak mengerti dengan wanita yang ditemuinya di kafe itu. Walaupun wanita tersebut terlihat seperti model majalah terkenal - sangat cantik, tapi tetap saja dia tidak mau jika ada orang yang memandangnya dengan tatapan seperti itu.
"Kau bukan psikopat kan?" Veranda memberanikan diri memulai. Sebuah ucapan yang terbilang lancang untuk seseorang yang belum dia kenal. Tapi tampak familiar di matanya.
Wanita tersebut menyunggingkan senyum. Sudut bibirnya terangkat. Membuat pesona wajahnya yang cantik seolah menebal hanya dengan senyuman tipis tersebut. Sebelah tangannya meraih secangkir kopi hangat dan menyesapnya dengan pelan.
Lagi-lagi dia menyunggingkan senyum. Membuat Veranda semakin kesal melihat tanggapan kosong dari wanita di depannya.
"Kau bisu?" semprot Veranda kesal. Serasa ingin beranjak dan cepat pergi saja dari tempat yang hanya membuang waktunya.
Kalau tidak dia penasaran dengan sebuah ajakan yang tertulis pada surat - yang dia temukan dari loker miliknya di sekolah, mungkin dia sudah terlelap di kamar rumahnya dan tak memikirkan sosok misterius yang mengirimkannya surat akhir-akhir ini. Tapi apa daya, dia selalu penasaran dengan sesuatu yang kecil sekalipun.
"Kau jangan pergi dulu," kata wanita tersebut seolah mengetahui apa yang ada di pikiran Veranda, seraya menjulurkan tangan ke arah wajah Veranda yang memerah. " Aku Kinal, maaf telah merepotkanmu, " sebuah senyuman terselip lagi di ujung bibirnya, setidaknya mampu mencairkan ketegangan dalam tubuh Veranda.
Veranda ikut tersenyum, menyambut perkenalan itu. "Aku, er kamu sudah tahu namaku kan ya," Veranda mengurungkan niat untuk menyebut nama seraya menyambut sebuah tangan lembut dari Kinal.
"Ya, kau Veranda," bahu Kinal bergedik. "Oh ya, kau juga suka kopi, biar aku pesankan?"
"Tidak usah," Kinal manggut-manggut. Menahan mulutnya yang tadinya hendak memanggil pelayan.
"Sesuai dugaanku. Gadis SMA sepertimu pasti tidak suka dengan kafein, Karena menurutmu kafein hanya akan mengurangi kadar hemoglobin dan mempersulitmu untuk ikut donor darah," jelas Kinal sebelum dia menyesap kembali kopi miliknya. Matanya seraya melirik Veranda yang terlihat membuka bibir beberapa centi. "Benar kan?" sekali lagi Kinal mengangkat sebelah alisnya.
"Tapi percayalah suatu saat nanti kau akan menyukainya karena suamimu akan mengajarimu bagaimana menikmati kopi dengan baik." ucap Kinal lagi setelah meletakkan cangkir di atas meja.
Cepat-cepat Veranda membuang pandangannya ke arah lain. Menyembunyikan semburat wajah yang menandakan bahwa apa yang dikatakan Kinal barusan adalah benar adanya. "Er.. ya sedikit benar. Tapi bagaimana bisa kau tahu?" tanya Ve bingung yang ditanggapi Kinal dengan sebuah senyum sinis kembali.
" Veranda, gemar membaca novel. Setiap pagi selalu berolahraga di belakang rumah. Belakangan ini mengeluh karena lingkar perutmu bertambah, hingga kau memilih untuk melakukan diet kecil-kecilan, Padahal tidak begitu gemuk juga kamu sekarang, tapi entahlah apa yang membuatmu berpikir bahwa dirimu gemuk." terang Kinal membuat pipi Veranda memerah.
"Kau bisa membaca pikiranku?" Kinal menggeleng menangapi tuduhan Ve. " Bohong," ucap Ve masih tak percaya.
"Mana bisa aku seperti itu, Ve?" tanya Kinal balik membuat wajah Ve tak puas. Jelas, itu sulit dimengerti oleh Veranda sendiri yang dirasa mustahil jika Kinal tak bisa membaca pikirannya sementara Kinal tahu sepotong rahasia miliknya. Membuat Veranda merasa ngeri dengan sosok di depannya tersebut.
"Sekarang jelaskan saja, apa tujuanmu mengajakku ke sini," Veranda menunutut, membuat Kinal menghembuskan nafas dingin ke arah wajah Ve. Memaksanya membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu untuk menjelaskan tujuan dari semuanya. Sementara Veranda menunggu, sudah tak sabar lagi mendengar tujuan wanita berambut sebahu di depannya. "Baiklah," kata Kinal sedikit lesu.
Segera saja Kinal mengambil sebuah kotak kecil dari saku bajunya dan kemudian menyusuri meja kafe untuk meraih tangan kiri Veranda yang tampak bebas di sana. "Aku hanya ingin memberikan ini untukmu," Kinal membuka kotak kecil tersebut dan kemudian memasukan cincin ke arah jari manis Veranda. " Jaga ini baik-baik. Karena nanti aku tidak sempat memberikannya,"
"Apa ini?" Veranda tak mengerti dengan perkataan Kinal barusan. Bahkan dirinya juga tidak mengerti saat melihat Kinal menyelipkan emas kecil tersebut di salah satu jemarinya. Pikirannya tertumpuk banyak pertanyaan secara tiba-tiba, lalu mengalihkan pandangannya ke arah wajah Kinal yang serius.
"Jauh-jauh aku ke sini. Susah-susah aku mencarimu. Hanya ingin memberikan apa yang seharusnya milikmu, " Veranda mengernyitkan dahi. "Aku suamimu, Ve. Aku datang dari masa depan," kata Kinal sebelum kemudian dia hilang dari kursinya.
Comments
Post a Comment
Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar