I'm Sorry
Aku
masih tak mengerti, kenapa dadaku terasa sesak saat melihat tawanya mengembang
di ujung sana. Padahal dulu tidak. Dulu aku selalu bahagia tatkala dirinya
memperlihatkan giginya yang rapi tersebut. Selalu bahagia saat bibirnya membuat
semburat kepuasan dengan tawanya yang meledak.
Tapi
kini, tawa yang dihasilkannya bukanlah untukku. Melainkan untuk orang lain.
Senyum yang dihasilkan juga bukan karena aku. Melainkan karena orang lain.
Sungguh,
aku rindu sekali, dengan bagaimana cara dia tertawa dan caranya pula membuatku
tersenyum.
Namun
aku bisa apa sekarang ? Aku seperti manusia yang sudah tak berarti lagi
untuknya. Bukan lagi seperti dokter yang membawakan obat untuk pilunya. Karena
menurutnya, diriku sudah terlanjur menggoreskan luka di hatinya.
Aku
menatapnya dengan lembut. Namun tatapannya teralihkan entah kemana. Selalu
saja, tatapan itu mengerung benci saat aku temui di semua tempat sekolah ini.
“
Kamu masih membenciku ? “ tanyaku saat dirinya sempat aku temui di sebuah
halaman sekolah.
Tapi
nihil. Dia tak menjawab sama sekali. Bahkan semakin benci saat aku memaksanya
untuk menggali lubang luka tersebut.
“
Aku bisa jelaskan semuanya kok, “
“
Hah ? “ matanya menusuk ke arahku. Sebuah tatapan yang dulu tak pernah aku
terima, kini sudah terbiasa rasanya.
“
Kamu bilang apa tadi ? Jelasin? Nggak ada yang perlu dijelasin, Ve! “
“
Semua sudah sangat jelas, dan kamu tahu rasanya? “ Kinal menahan sebentar
perkataannya. Membuatku tak bergeming berdiri di depan tubuhnya
“
Sakit! “
“
Tapi … “ kataku hendak memperjelas, namun terpenggal saat tangan Kinal
mengisyarakat sebuah ungkapan untuk menghentikan perkataanku. Memperlihatkan
telapak tangannya.
“ Cukup, aku muak denganmu, Ve, “ katanya
mengakhiri pembicaraanku dengannya kali ini. Sebuah pembicaraan singkat dan
penuh kebencian darinya.
Dia
kembali marah, dan untuk kesekian kalinya bergerak menjauhiku. Sedangkan aku
masih berdiri dengan hati ingin menyembuhkan lukanya.
Bahkan
aku sendiri juga tidak tahu, kenapa tubbuhku terasa kaku, saat dirinya pergi
menjauh. Karena memang benar apa
katanya, aku tak akan bisa menjelaskan apapun untuknya.
Semua
sudah cukup jelas, dan akulah yang salah.
Tidak
seharusnya waktu itu aku tergoda oleh Ghaida, saat dirinya mencum bibirku
terlebih dulu. Membuatku terbuai saat tangannya membelai punggungku. Hingga
mampu membius tubuhku, sampai-sampai aku tak sadar bahwa sudah ada seseorang
yang berdiri melihat kami di ambang pintu.
Kinal
!
Sungguh,
aku menyesal telah melakukan itu. Apalagi saat aku berlari mengejarnya yang
tampak menangis saat melihatku tertidur di bawah Ghaida. Sampai-sampai, isak
tangisnya tersebut membuat langkahnya tersandung dan tersungkur dari tangga
apartemen.
Membuat
kedua kakinya patah dan berteman dengan kursi roda.
“
Sungguh, aku menyesal Kinal. Seharusnya aku tak tergoda oleh Ghaida, “ batinku.
“
Tapi setidaknya, ijinkanlah aku menyembuhkan luka di hatimu, sayang, “ harapku
seraya menangis menjauhi bayangan kursi rodanya.
lebih seru kalau dilanjut sih
ReplyDelete