You Were Only Mine
Ketika
hari menjelma gelap. Ketika senja sudah resmi tertutup oleh gunung yang tak
pernah kau harapkan. Saat tubuh mulai senggang untuk kau baringkan di atas
tikar dambaanmu, aku sering memutuskan untuk memikirkan sebuah hal yang
menurutku membingungkan.
Pernahkah
kau berpikir bahwa sebenarnya aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Saat senja
lenyap diterkam malam, aku tak pernah sedikitpun menyisihkan waktuku untuk
memikirkan sebuah hal yang tidak penting seperti ini. Sebuah hal memikirkanmu,
yang aku pikir sudah jelas apa yang akan aku dapatkan di ujung nanti.
Yaitu
hal yang percuma dan nihil jawaban yang membuatku selalu tak puas akan hasil
kerja keras otakku. Hingga membuatku berulang kali melakukannya dan malam ini
entah untuk kesekian berapa bayangan wajahmu aku persilakan mengusik
pandanganku untuk sementara waktu.
Aku
masih ingat betul. Tentang semua awal yang menjadi pemula akan pertanyaan yang
berangsur menyesakan dada. Tubuhmu yang kulihat dari belakang, tampak sangat
menawan, hingga membuat niatku membulat untuk mendekatimu waktu itu. Sebuah
senyuman yang aku pikir bisa menjadi awal pertemuan, nyatanya benar dengan
balasan yang kau luncurkan. Kau menyambut baik tanganku. Mengalirkan sebuah
kehangatan perkenalan yang sebelumnya tak pernah aku rasakan.
Dan
semua itu masih terekam baik dalam ingatan.
Aku
masih ingat betul, tentang bagaimana pola bibirmu saat pertama kali kita
bertemu. Kau hanya menyungging tak jelas, menarik ujung bibir mendekati satu titik pipimu yang padat. Tak banyak kata
terucap, dan hanya memperkaya senyummu yang sebenarnya tak perlu. Padahal aku
sedang berbicara denganmu, tapi pandanganmu selalu saja membuas entah ke mana.
Bahkan
sampai sekarang pun aku tak tahu ke mana.
Sesekali
kau menoleh, lalu menoleh ke arah lain. Menyibakan poni rambut dan menggaruk
kepala yang aku yakin sebenarnya tidak gatal.
Benar
bukan? Kau malu berhadapan denganku?
Lalu
kenapa pipimu memerah tatkala ada orang asing berucap di wajahmu. Apakah kau
takut jika orang yang sedang berada di depanmu menyimpan niat bengis untukmu.
Mungkin ada, tapi bukan aku. Kau berlebihan jika selalu memasang tatapan acuh saat
bertemu dengan setiap orang baru kau kenal. Karena tidak semua orang itu sama,
semisal kita berdua.
Maka
dari itulah, dengan sikapmu yang bodoh itu mendorongku untuk terus berkata,
mengajakmu berbicara dan mencoba mengenalmu lebih dalam dari semua orang kau
kenal. Bahkan sampai-sampai pada saat itu, saat kita berdua terdiam tegang
menunggu nomor kita berdua disebutkan, aku pernah berpikir untuk merangkul
pundakmu. Meredakan setiap getaran yang menjalar di tubuh, dan saling
menenangkan riuh jantung kita masing-masing. Namun sepertinya hal tersebut
terlalu cepat dan mungkin membuatmu terkejut nantinya.
Jadi,
kuputuskan saja untuk memendam niat premature tersebut dalam-dalam.
Kau
tahu? Otakku selalu bekerja keras mengolah pancaran wajah saat kau memandangi
wajahku. Terlebih lagi sangat lekat, hingga membuatku selalu teringat. Bahkan
mataku saja seperti candu tatkala sepasang matamu menatapku dengan cara khas.
Sebuah tatapan yang lain, dan hanya kamu yang sepertinya pemilik satu-satunya.
Belum
lagi sebuah senyuman yang selalu kau layangkan, kerap kali membuat pundakku
bergetar. Mataku seperti bertabur bunga, dan langkahku melemah tak kuasa melihatnya.
Padahal seharusnya hal tersebut adalah biasa untuk ukuran wanita sepertiku.
Tapi untuk kesekian kalinya harus ku katakan lagi bahwa kau sangat sempurna,
Veranda.
Kita
sudah lama, menjalin kisah layaknya sepasang sandal di pantai. Saling
beriringan, berhadapan, berjalan bersama kemanapun dan tentunya mengangkat
beban hidup berdua. Lebih tepatnya, aku selalu ada ketika dirimu ada, kau
selalu menunggu ketika aku jauh darimu. Kita tampak mustahil untuk dipisahkan.
Hanya
saja akhir-akhir ini aku merasakan sebuah hal yang mengusik di pikiran. Entah apa itu, tapi yang
jelas darahku selalu meninggi saat melihat dirimu dengan yang lain. Memang aku
bukan sosok yang melahirkanmu, bukan juga yang merawatmu dari kecil, tapi aku
seperti berhak untuk membatasi pergaulan yang kau jalani di bumi ini.
Karena
begini, kau sudah menjadi tanggung jawabku. Bagian dari hidupku. Maka apa yang telah
menimpamu, aku pun turut tertimpa pula. Oleh karena itu, tak akan kubiarkan
sembarangan orang menyakitimu.
Apalagi
membuatmu jatuh cinta. Karena hanya akulah yang boleh memilikimu, Veranda.
Rasanya
ingin sekali menarik tanganmu setiap senyuman yang biasa kau layangkan untukku
harus terbagi dengan yang lain. Merebut perhatianmu, saat tatapanmu fokus ke
arah yang tak aku inginkan.
Ini
memang terkesan egois, tapi sungguh aku tak mau jika bagian kesempurnaanmu
harus diberikan juga kepada yang lain. Apalagi secara percuma.
Tapi
siapalah aku ini. Hanyalah seorang sahabat yang sampai sekarang tak pernah
berani mengungkapkan cemburu tersebut. Karena aku tak mau membuat dirimu terganggu,
merasa gusar, ataupun tertekan dengan sikapku yang terbilang posesif. Padahal
itu semua aku lakukan hanya untuk melindungimu.
Dan
aku tak mau kehilanganmu.
“
Besuk aku Shinkirou sama Ghaida, nggak papa kan ? “ kau membisikan kalimat
tersebut.
“
Nggak papa, Ve, “ kataku menahan air mata.
Situs Judi Slot Online - JT388 - Slot Online Gampang Menang 2021
ReplyDeleteJoker123 merupakan situs 수원 출장샵 slot 안성 출장샵 online 의정부 출장안마 yang menghadirkan berbagai game slot online mudah dimainkan 김포 출장샵 kemenangan juga 제천 출장샵 memberikan dapatkan bonus melimpah