Never Let You Hurt ( Part 4 )


Senja telah datang ke dunia. Mewarnai angkasa dengan sinar jingganya. Udara luar yang mengalir membelai lembut kulit keringku, membuat suasana teras rumah terasa sangat menyenangkan.

Aku sendiri duduk di kursi teras, menggeggam sebuah buku fiksi yang sering menemaniku akhir-akhir ini.  Mungkin dengan cara inilah, segala penat seharian akan sirna dibawa angin senja. Bahkan aku sendiri tak peduli dengan apa yang dikatakan Bu Melody tadi pagi. Karena membaca sudah menjadi hobi. Tak ada yang bisa mencegahku untuk menyudahinya.

Sudah hampir setengah jam yang lalu aku tenggelam ke dalam novel. Namun entah kenapa, rasanya setiap kata yang kubaca seperti sulit kucerna. Rasanya ingin sekali memuntahkan semua kata, lalu menutup buku dan membantingnya ke lantai. Baru kali ini aku merasakan hal seperti itu.


Seperti ada yang mengganjal di otak saat aku mencoba untuk menenggelamkan diriku ke dalam novel. Bayangan yang terus berputar dan sukses merusak konsentrasiku tersebut menyisakan deretan angka di dalam benak. Aku yakin ini semua gara-gara tugas yang diberikan Bu Melody tadi. Ah sial, seharusnya aku tak memikirkannya sekarang.

“Hey!” tiba-tiba suara absurd terdengar. Membuat jantungku berdetak rusuh.

“Baca buku kok ngelamun sih. Hayo, ngelamunin siapa?” tambahnya seraya duduk di sampingku.

“Nggak ngelamunin siapa-siapa kok.”

“Halah. Bohong. Jujur aja deh,” cibir Aryo masih tak percaya.

“Beneran.”

“Ya udah deh. Eh, Kinal gimana kabarnya?” tanya Aryo antusias.

“Kok masih nanyain Kinal lagi sih?”

“Ya nggak papa. Emang kenapa?”

“Masih cinta?”

“Ciyee, cemburu ya?” ledek Aryo.

“Enggak,” aku menggeleng ragu.

“Katanya cinta sama Kinal, kok gak cemburu sih?” tanyanya lagi, membuat aku berpikir sejenak.

Bahkan aku sendiri tidak tahu dengan perasaanku. Aku terdiam tak merespon Aryo kali ini.

“Eh, Yan. Ingat nggak? Nama pacar Sinka dan Kinal itu sama kan?” katanya membuat topik pembicaraan baru.

“Iya, terus?”

“ Ya kakak curiga aja gitu. Jangan-jangan mereka orang yang sama.”

“Maksud kakak, Aji mendua gitu?” Aryo mengangguk mantap.

“Ya mungkin saja kan?”

“Iya sih, tapi yang namanya Aji kan banyak,” kataku.

“Gimana kalau kita selidiki?” cetus Aryo antusias.

“Nggak penting banget, “ kataku ketus.

“Kamu gak mau kan kalau Kinal dipermainkan?” sahut Aryo membuatku memutar otak.

“Iya memang. Eh, nggak tau deh,” jawabku seraya melemparkan pandanganku ke arah buku.

Tiba-tiba Aryo merebut novelku dan menutupnya di atas meja kecil yang berada di antara kami. Matanya menatapku serius kali ini.

“Yan, kamu sendiri kan yang bilang kalau kamu nggak mau perasaan Kinal dimainin? Kalau emang kamu cinta sama dia, jangan pernah biarkan Aji melakukannya,” kata Aryo yang diikuti langkahnya pergi meninggalkanku. Dia masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan diriku di teras rumah.

Memang benar apa yang dikatakan Aryo. Sampai sekarang pun aku masih tak rela jika perasaan Kinal dipermainkan. Walaupun aku tahu Kinal telah berbuat jahat pada kakakku, tapi entah kenapa aku masih ingin melindunginya. Ya benar, aku masih mencintainya. Ini tak salah lagi, akan aku habisi siapapun yang berani menyakiti dia.

Namun ada satu pertanyaan lagi yang sampai sekarang masih belum terjawab.

Apa benar Kinal menjauhiku?


***

Bel tanda istirahat berbunyi, buru-buru aku meraih lembaran tugas trigonometri dan membawanya pergi keluar kelas. Rencananya hari ini aku akan pergi ke kelas Kinal, kelas XII IPA 4, ya rencananya aku akan menemuinya. Aku berjalan dengan kecepatan yang cukup cepat, dan menelusuri lorong kelas yang ada di lantai dua tersebut. Empat pintu kelas berhasil aku lewati, sampai kemudian aku telah berdiri di depan kelasnya.

Sama seperti hari kemarin, saat hendak masuk ke dalam kelas Kinal, aku tak langsung masuk ke dalam. Melainkan berdiri sebentar, mengumpulkan mental dan menghela nafas dalam. Butuh sekitaran sepuluh detik memandangi lekat lembaran tugas trigonometri yang aku pegang, lalu mengangkat kepalaku mantap, menandakan bahwa aku siap menemui gadis yang aku cari.

Aku melangkah masuk tanpa permisi, mencari sosok Kinal yang mungkin masih tinggal di kelas. Namun sayang, sepertinya tidak ada. Kelasnya sudah sepi, hanya menyisakan satu siswi yang kudapati sedang duduk di sudut kelas. Dia tampak tenggelam ke dalam buku yang tengah dia pegang. Tampak serius sekali, sampai-sampai gadis tersebut tak menyadari kedatanganku ini.

“Maaf,” kataku mencoba menyadarkan siswi tersebut.

Dia tak menjawab sepatah kata pun, namun menoleh ke arahku dengan sibakan rambutnya yang panjang. Cukup mempesona. Wajahnya tampak cantik dengan balutan kacamata di wajahnya, begitu juga dengan pundaknya yang proposional. Aku rasa dia seorang kutu buku, tapi entahlah tubuhnya mengatakan bahwa dia seperti model majalah terkenal.

“Lihat Kinal nggak?” tanyaku setelah membiarkan hening cukup lama dengannya. Aku melirik mulutnya yang sedikit terbuka. Bibir tipis itu membiarkan angin masuk memenuhi rongga mulutnya.

“Mungkin lagi di perpus.” dia menggendikan bahu, seraya membenarkan kacamatanya.

“Emang kenapa?” bibir tipisnya berucap lagi.

“Oh ini, hmm..anu..mau minta tolong Kinal buat bantuin ngerjain tugas,” kataku sembari menunjukan sebuah lembaran yang aku bawa. Aku membalikkan kursi di depan mejanya dan seraya duduk di depannya.

“Matematika?” aku mengangguk.

“Boleh aku lihat?” ijinnya, jemarinya yang lentik menunggu sodoranku.

“Silakan,” aku tersenyum kecil, lembaran tugas aku berikan padanya. Dia meraih dan mengamati soal trigonometri tersebut. Tatapannya seolah menusuk kertas pemberianku.

Kalau dilihat dari perilakunya yang kekutubukuan tersebut, sepertinya dia jago Matematika. Mungkin aku bisa minta tolong sama dia, dan tidak perlu mencari Kinal lagi.

“Gimana? Bisa?” tanyaku antusias.

Wanita tersebut mengangguk secukupnya, diikuti dengan senyum manis yang terpancar dari wajahnya.

“Bisa,” jawabnya mantap, membuat hatiku lega sesaat.

“Tapi nomor satu doang, yang lain susah,”  tambahnya, membuatku sedikit mendengus kesal.

“Di sini yang paling jago matematika itu Kinal,” katanya lagi seraya menenggelamkan diri kembali ke dalam bukunya.

“Mending tanya Kinal aja deh,” sahutnya lagi.

“Ya kan rencananya memang begitu,” kataku.

Dia mendadak terdiam, tak merespon sedikitpun. Sepertinya bukunya lebih menarik daripada keberadaanku.

“Ya udah aku langsung ke perpus aja deh. Makasih ya.”
Aku mengambil lembaran tugasku dan kemudian beranjak dari kursi. Saat aku membalikan badan, dia mencegah.

“Bentar …”

“Ya?” tanyaku menatapnya.

“Nama kamu siapa?” tanyanya, kali ini matanya dia curahkan lagi padaku. Meninggalkan ratusan paragraf pada buku.

“Aryan” jawabku singkat dan mantap. Tak lupa juga senyum termanis aku lemparkan padanya.

“Aku Veranda, salam kenal,” dia tersenyum. Sebuah senyum yang entah kenapa mampu menggetarkan hatiku. Senyum yang sangat pantas dia lemparkan bersamaan dengan pancaran wajahnya yang anggun. Aku tertenggun sesaat, memandangi lengkungan bibir tipisnya.

Tanpa sadar ujung bibirku tertarik berlawanan, membuat senyum simpul sebagai tanda perkenalan. Sampai kemudian aku benar-benar pergi meninggalkannya. Langkahku kulanjutkan untuk menemukan bayangan Kinal. Aku harus cepat menemuinya sebelum jam istirahat berakhir. Langkah demi langkah aku buat menyusuri lagi lorong kelas, kemudian menuruni tangga dan menuju lantai dasar.

Butuh sekitar dua menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai di mulut pintu perpustakaan. Dengan sigap aku dorong pintu bening di depanku dan tanpa ragu masuk ke dalam ruangan sejuk bernama perpustakaan. Ruangan favoritku.

Seketika hawa dingin menyelimuti, membelai kulit tanganku dan menyapu keringat yang sempat keluar. Segera saja mataku berputar mencari keberadaan Kinal, seraya melangkahkan kakiku ke seluruh penjuru ruangan untuk menemukannya.

Ternyata benar dugaan Veranda, Kinal sedang berada di perpustakaan sekarang. Dirinya kudapati tengah membaca di salah satu bilik ruangan ini. Matanya yang bulat itu seperti melekat di kertas, dan tajam ke depan seolah memberitahu bahwa dia tidak bisa diganggu untuk sekarang ini.

Dari kejauhan aku mencuri pandang wajahnya. Sesekali juga aku membalikkan badanku ke arah rak buku untuk menghindari kecurigaan. Berpura-pura mencari buku sembari memikirkan keraguan yang sejak kemarin menimpaku. Ya, aku masih ragu jika Kinal memang menjauhiku akhir-akhir ini. Apakah mungkin hanya perasaanku saja? Ah entahlah, mungkin pertanyaan tersebut akan terjawab jika aku berani menemuinya.

Sebentar mengambil nafas dalam, sejalan dengan itu benih-benih tekad terasa berkumpul menjadi satu. Menjadi tembok tekad yang kokoh di salah satu sudut hati. Tanpa ragu lagi, aku membalikkan badanku dan melangkah mendekati biliknya. Ku sapa dirinya yang tampak hening.


“Hai.” sontak dia menoleh.

--- Bersambung ---

Comments

  1. Lanjutkannn yaaaaaaaa. Kembangin lg ceritanya. Kata kata perkalimat bagus dan rapi. Good job deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih kakak!!! Keep supporting me. I am nothing when nope of any support.

      Delete

Post a Comment

Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal