Pita Merah


Apa yang lebih ramai dari sebuah demo mahasiswa di jalanan? Tentunya adalah sebuah perbincangan anak muda di kantin, pada saat jam istirahat pertama.
“Kalian sudah tahu?” ujar seorang siswi berambut sebahu. Terkejut bahwa berita yang baru saja dia ceritakan sudah cukup menyebar di kalangan temannya.
“Iya. Aku saja masih tak percaya.” tanggap siswi lain, seraya menghela napas.
“Masa’ iya sih?”
“Aku juga tidak tahu apakah itu hanya sensasi saja. Tapi aku baca itu di internet,” tegas sekali lagi siswi pelopor perbincangan tersebut.
“Oh. Tidak!” seru mereka, seraya menunjukkan air muka kekesalan. Seakan-akan hanya merekalah yang paling dirugikan dari berita tersebut.
Padahal, kenyataannya tidak. Ada yang lebih dirugikan dari mereka.
Bahkan, lebih rugi dari orang yang diberitakan.
Seorang siswi yang tengah sendirian di salah satu meja samping merekalah yang paling dirugikan. Siswi yang sejak tadi mendengar semua perbincangannya.
Sekali lagi, Semuanya.

***
Meninggalkan kantin lebih dini adalah keputusan yang tepat bagi Ve untuk hari ini. Bisa-bisa, rambut panjangnya rontok bila harus berlama-lama di sana dan memikirkan semua omong kosong yang dia dengar
Belakangan ini, sosial media memang sedang gencar membicarakan sebuah topik yang menurutnya adalah salah besar. Awalnya dia sendiri tidak percaya dengan perbincangan teman-temannya di kelas, tapi kemudian menyadari bahwa semua itu benar saat dia membaca sendiri di internet.
Kinal adalah tipe wanita Brandon.
Begitulah adanya yang dia baca beberapa hari yang lalu. Membuat pundaknya cukup bergetar. Membuat tubuhnya terasa berbeda setelahnya.
Seharusnya Ve bersikap wajar dengan semua itu. Belum tentu juga Brandon adalah tipe laki-laki Kinal. Dia baru mengetahui pendapat dari satu pihak saja, bukan? Terlebih lagi tak ada orang yang mengetahui bahwa Kinal sangatlah dekat dengan dirinya. Dia yakin apa yang dia ragukan belakangan ini tidak akan terjadi.
“Brandon bukanlah tipe Kinal,” gumamnya pelan.
Dia yakin demikian.
***
Ve melangkah gontai. Tubuhnya seperti akan roboh. Lemas, seolah tak ada semangat di dalam dirinya.
Dia meletakkan begitu saja tas sekolah di atas mejanya. Merebahkan punggung di kasur dan menatap langit-langit kamar miliknya.
Semoga saja dari lamgit-langit kamar tersebut, muncul jawaban yang dia harapkan. Sebuah jawaban yang menjadi penantian beberapa hari ini.    .
Entahlah, sampai sekarang, Kinal tidak menjelaskan apapun. Terlebih lagi, gadis tersebut tak pernah memperlihatkan batang hidungnya di sekolah. Semenjak berita busuk tersebut mencuat, seolah bumi telah menelan tubuhnya.
Ada apa dengan Kinal? Kemanakah dia pergi? Apakah dia bersembunyi?
Bahkan, Veranda sendiripun tak mampu menjawab itu semua.
Yang dirinya bisa lakukan sekarang hanyalah memandang layar dan menunggu sebuah pesan dari aplikasi LINE ponselnya.
Ya. Hanya itu saja. Tak lebih. Ve tidak mau berbuat lebih jauh lagi.  
“Veranda,” Ibunya memanggil dari balik pintu. Membuat lamunnya buyar.
Tanpa berkata apapun, gadis nan cantik tersebut beranjak dari kasur dan membuka pintu kamarnya.
“Ya? Ada apa, mah?” sapanya sembari merapikan rambutnya sebentar.
Sebelah tangannya kemudian meraih sesuatu dari sodoran tangan ibunya.
“Pergilah ke Salon!” pesan ibunya yang kemudian menjauh dari pintu kamar anaknya. Meninggalkan kerutan untuk dahi Veranda.
Pikirnya berputar sebentar, sebelum memutuskan untuk melihat lebih teliti apa yang dia dapat barusan.
Sampai kemudian, kedua tangannya kompak untuk merusak sampul plastik yang membungkus benda tersebut.
Sebuah benda berbentuk persegi. Berhias pita berwarna merah.
Kinal dan Brandon akan menikah. 

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal