Senyum Tipis Menyebalkan



Semua orang juga tahu bahwa satu poin yang selalu dikenang oleh perempuan dari seorang pria adalah dari bagaimana dia tersenyum. Lengkuk bibir yang melebar, seakan mampu merobohkan tubuh, memang menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu.

Tak terkecuali Naru, mahasiswi sastra Jepang, yang sedari tadi menghayal tentang keindahan senyum, tampak sangat bodoh sekarang. Bahkan jika ada banyak mahasiswa yang lewat di depannya pada saat itu, mereka akan mengira bahwa Naru bukanlah bagian dari kampus. Melainkan orang gila yang sedang menyusup di taman fakultas.

Sungguh itu sangat berbahaya, bukan? Setidaknya untuk nama baik keluarganya.


“Sudah jam segini, kenapa Juminten belum datang?” gumam Naru, sembari melirik ponselnya.

Tak ada tanda kedipan yang berarti di layar. Pertanda bahwa gadis yang dia maksud belum juga memberikan kabar. Padahal semalam, mereka berdua sudah membuat janji untuk bertemu di taman fakultas milik Naru dan sekadar membicarakan sesuatu yang dirasa Naru sangatlah penting untuknya.

Tapi sayang, sudah lewat duapuluh enam menit, Juminten yang dia harapkan tak kunjung sampai.
Membuat Naru tak mengerti lagi dengan keterlambatan temannya tersebut.

Tak perlu berlarut dalam kekesalan, Naru sudah tahu tentang apa yang harus dia lakukan untuk mengusir kebosanan. Dia baru saja ingat, seminggu yang lalu, kamera ponselnya dia gunakan dengan baik untuk merekam kegiatan serta mengambil banyak foto laki-laki secara terselubung.

Seorang laki-laki yang membuat hatinya berbunga belakangan ini, telah membuatnya rela untuk memakai topi dan sembunyi di semak-semak, hanya demi mengabadikan potret senyum milik laki-laki yang Naru belum kenal. Mengekor dari belakang, bak penjahat yang membidik kalung berlian.

Sungguh, baru kali itu, Naru berbuat nekat. Sangat berkebalikan dengan perilaku yang biasa orang kenal. Bahkan Juminten pun pasti tidak akan percaya jika mendengar tentang perbuatan Naru yang demikian konyol. Jangankan Juminten, tukang batagor langganan Naru juga tidak akan percaya.

Cinta memang membutakan. Dan Naru adalah salah satu korbannya.

Perlahan, sudut bibirnya tertarik, mengikuti bentuk lengkuk bibir dari foto yang tertera. Seakan mencoba untuk semirip mungkin dengan senyum laki-laki yang dilihatnya di ponsel.

Sungguh, senyum tipis yang ditangkapnya, sangat membius hatinya sekarang. Seakan, dunia hanya mereka berdualah penghuninya. Tak ada Juminten, tak ada Dosen Farish yang sok ganteng, dan tak ada ibunya yang genit.

Cukup hanya dia dan laki-laki yang belum dia ketahui namanya.

Jalan pikir Naru memang sedang bermasalah.

Sedetik kemudian, layar ponselnya berubah menjadi sebuah pesan dari Juminten.

“Kenapa gak bilang dari tadi.” Gerutu Naru setelah mendapat kabar bahwa Juminten tidak bisa menemuinya hari ini. “Kalau gini kan aku udah pulang dari tadi.”

Naru mengembuskan napas kesal, lalu dengan cepat sebelah tangannya meraih tas punggung yang berada di depannya sedari tadi. Kemudian beranjak dan meninggalkan taman, sekaligus  tempat dia berbosan dan tersenyum sore ini.

Naru pulang.

Pada akhirnya demikian.

***

Setibanya di halaman rumah, dahi Naru berkerut. Dia tidak mengerti dengan sebuah pintu yang sudah terbuka di depannya. Padahal biasanya tidaklah demikian, pintu rumah Naru akan terus tertutup sebelum Naru pulang dari kuliah, dan ibunya baru akan pulang dini hari bahkan sesekali tak pernah pulang ke rumah.

Tapi kali ini, dia memandang sebuah hal yang tidak biasa. Terlebih lagi sayup-sayup obrolan terdengar, membuatnya penasaran dan ingin bergegas masuk ke dalam.

“Mustahil jika Ibu pulang sepagi ini.” Gumam Naru sembari menggerakkan kedua kakinya.
Setelah dia sampai di ruang tamu, hatinya bergetar di saat itu. Tubuhnya seperti akan roboh dan bahkan tak pernah mau percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bibirnya kelu. Lidahnya kaku. Tak mampu untuk berucap sesuatu.

“Eh, Naru. Sudah pulang kuliah?” sapa Ibunya yang tengah asik dengan laki-laki di sofa. Naru tak menjawab. Pandangannya terfokus pada satu pusat. “Perkenalkan, Ini Randa. Pacar baru Ibu.” tambah Ibunya, yang lagi-lagi tak dihiraukan.

Tanpa perlu komando lebih, laki-laki tersebut kemudian berdiri dan menawarkan jabat tangan, sembari melemparkan senyum tipis menyebalkan.

“Randa. Senang bertemu denganmu.”

“Naru. Senang menjadi pengagummu.”

Comments

  1. saya baca ini harus sedih, senang, atau jungkirbalik yah?

    ReplyDelete

Post a Comment

Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal