Segelas Vanilalatte

Secangkir kopi datang. Akhirnya...

Segera Relly menghangatkan tenggorokannya.

"Hmmm... Kopi buatanmu memang paling nikmat." puji Relly pada sahabatnya yang sekaligus bekerja di sebuah cafe. Siapa lagi kalau bukan Ricy.

" Aku udah bosen sama pujian kamu", cibir Ricy pada sahabatnya itu.

Relly tertawa kemudian menikmati lagi harum aroma kopinya.

"Badewai, gimana kelasmu? Udah ada cewek yang kamu suka? ", tanya Ricy sembari membersihkan meja Relly dengan kain lap.

Relly tersedak, tak percaya Ricy menanyakan pertanyaan seperti itu. Cukup tidak penting baginya.

" Hati hati bro minumnya. ", Ricy mencoba menenangkan Relly yang tengah batuk.

" Pertanyaan kamu kampret banget. ", Relly sembari mengelap bibirnya dengan tisu.

" Kamu tau kan kalau aku gak mau pacaran dulu. ", jelas Relly kepada temannya itu.

Ricy hanya mengerutkan dahinya, mencoba mengingat prinsip teman kuliahnya itu. Walau beda fakultas. Kemudian mengangguk pertanda dia sudah sembuh dari lupanya.

" Oh iya. ", sahut Ricy

Kemudian, terdengar suara pintu kafe terbuka. Spontan mereka berdua menoleh ke arah pintu. Di lihatnya sosok bidadari yang mungkin sedang menjelma menjadi manusia. Berparas cantik dengan poni yang lucu dan mata yang nyaris sipit itu baru saja tiba. Kemudian dia melempar senyum ke arah meja Relly. Bukan, dia bukan sedang menyapa Relly, melainkan Ricy.

Tanpa komando apapun, Ricy menghampiri wanita itu yang tengah duduk di meja dekat jendela kafe.

" Mau pesan seperti biasanya?  Segelas vanilalatte? ", tanya Ricy kepada palanggannya itu. Ya memang Ricy sudah lama mengenali pelanggan cantiknya itu. Hampir setiap hari wanita itu mengunjungi cafe tersebut dan memesan menu yang tidak pernah berbeda.,Segelas Vanilalatte. Entahlah sepertinya minuman itu sudah mendarah daging di tubuh kurusnya.

" Yaa. Seperti biasa ya, Ric. ", Kata wanita itu tersenyum. Agak malu memang kebiasaannya sudah cukup dikenal umum.

Segera Ricy menuju ke dapur untuk mengusahakan pesanan pelanggannya dan meninggalkan wanita itu yang tengah duduk sendiri sembari melihat pemandangan dari balik jendela cafe.

Di lain tempat, Relly tengah membaca beberapa lembaran fotokopi dari tempat kuliahnya. Ya, dia mengisi waktu luangnya dengan belajar.

"Cindy, pesanan kamu aku taruh sini ya. ", panggil Ricy kepada Cindy sambil meletakan segelas Vanilalatte di meja Relly. Ya, wanita itu namanya Cindy.

" Apa apaa sih. Kok ditaruh sini. ", Relly terlihat bingung dengan ulah temannya itu.

" Sstt.. Diem. Kenalan aja dulu", ucap Ricy menahan tawa.

Cindy hanya mengangguk. Dia seperti tak merasa sedang direncanakan. Lalu dirinya berjalan menuju meja Relly. Di saat bersamaan, jantung Relly berdegub kencang. Dia tak pernah begini sebelumnya.

Setelah sampai, Cindy mengambil vanilalatte dan hendak menuju ke meja semulanya.

" Mau kemana? Duduk sini aja, biar rame. ", Ricy menyarankan.

Cindy pun hanya mengiyakan saran Ricy.

" Oh iya. Gue tinggal ke dapur dulu ya. Bye. ", pamit Ricy meninggalkan mereka berdua. Padahal Ricy sengaja.

" Ricy kampret. ", kesal Relly dalam hati sembari membaca lembaran miliknya. Namun entah kenapa dia hilang konsentrasi. Rasanya kumpulan tenses itu sulit masuk di otaknya. Semenjak Cindy duduk dan mengamatinya belajar.

" Kamu lagi baca apa?  ", tanya Cindy memulai pembicaraan. Matanya membidik pupil Relly. Senyumnya mengembang. Relly tampak canggung.

" Eh..ini. Hanya sekumpulan materi kuliah. ", jawab Relly singkat.

Dilihatnya Cindy tengah mencicipi pesanannya. Segelas Vanilalate yang cukup dingin mengusir dahaganya.

" Suka Vanilalate? ", tanya Relly tanpa memandang Cindy. Dirinya berpura pura sibuk dengan lembaran yang tak pernah masuk di otak sejak Cindy di depannya.

" Iya. " , jawab Cindy dengan singkat.

" Kenapa?  ", tanya Relly masih dengan melihat lihat lembarannya.

" Setiap aku meminum minuman ini, aku merasakan dia selalu ada di sampingku. Dia lah orang pertama yang memperkenalkan aku dengan segelas vanilalate ini. Padahal awalnya aku tak suka. Namun dia bersikeras membujukku untuk menyukainya.", jawab Cindy sembari tersenyum membayangkan. Cukup panjang memang jawabannya. Seperti tengah mendongeng.

Kemudian Relly tak menanyakan sesuatu lagi. Dirinya masih sibuk dengan apa yang dia baca. Mencari kesibukan sendiri yang disengaja memang senjata ampuh untuk menjauhi kontak mata dengannya.

" Kamu pesan kopi?  Kenapa tidak Vanilalate saja? ", Cindy memberanikan diri untuk bertanya sembari menopangkan dagu di telapak tangannya. Matanya membidik seperti ingin memangsa Relly.

" Dulu aku juga suka Vanilalate. Bahkan bisa dibilang pecandu seperti kamu. Namun, sekarang enggak. Meminum segelas Vanilalate hanya akan mengingatkan luka. Aku sudah berusaha melupakannya. " Jawab Relly masih dengan lagaknya yang membaca buku. Berulang kali dia membuka banyak lembaran seperti tengah mencari sesuatu.

" Luka?  Luka macam apa yang pernah kamu rasakan dulu?  ", Cindy bertanya kepada Relly yang sok kutu buku itu.

" Dulu, Aku memergoki kekasihku tengah berduaan dengan temanku sendiri di kafe seberang sana. Rasanya tak terlalu sakit kok. Hanya seperti digores di kelopak mata. ", jawab Relly masih dengan sikapnya yang cuek. Aku tak tahu mengapa dia bersikap cuek kepada cewek secantik Cindy. Mungkin jika Ricy mengetahui hal ini, dia juga akan bingung dengan sikap bodoh temannya itu.

"Kafe itu?  Dulu aku suka kesana dengan kekasihku. Berdua di sana, bercanda di sana dan meminum Vanilalate bersama di sana. Tapi kemudian sejak dia masuk kuliah, dia berubah. Dia Tak pernah lagi mengajakku ke kafe itu. Jangankan mengajak, dia juga tak pernah menanyakan kabarku lagi, hari hariku dan sekitarku. Mungkin dia suka dengan wanita lain di kampusnya. Kemudian aku menanyakan hal ini dengan temannya yang kebetulan juga tengah mengunjungi kafe itu. Dan ternyata tidak. Dia tidak selingkuh dengan wanita lain. Dia memang sedang sibuk dengan kuliahnya.  Aku bangga punya kekasih seperti dia, walau akhirnya kami putus di saat itu juga. ", cerita Cindy.

Mata Cindy berkaca kaca, dia ingin sekali menyembunyikan kesedihannya itu. Namun, sial, berlian cair itu mengalir di pipinya. Kali ini dia tak bisa menahan tangisnya lagi. Relly yang awalnya cuek seketika memandang matanya setelah mendengar isak pelan Cindy. Diusapnya linang itu dengan tangannya. Relly berdiri mendekati Cindy.

" Maafkan aku, sayang. Aku udah mengacuhkanmu selama ini. Udah gak percaya sama omonganmu lagi. Aku minta maaf. ", kata Relly kepada kekasihnya dulu itu. Cindy hanya menganggukan kepala tanda kalau dia masih cinta. Dipeluknya tubuh Cindy dengan sepenuh jiwa.

" Yang seharusnya minta maaf itu aku. Aku udah mikir yang enggak enggak ke kamu. Aku lah yang selama ini gak percaya sama kamu.", Cindy masih dengan isak dan pelukan Relly. Namun kemudian tersenyum terharu dan tak menyangka hal ini bakalan terjadi.

Relly melepaskan pelukannya, memberikan kesempatan Cindy untuk bernafas. Diusapnya air mata Cindy, Digenggamnya kedua tangan Cindy erat erat

" Maukah kamu berdua, bercanda dan minum segelas Vanilalate bersamaku lagi? ", mohon Relly dengan sangat. Matanya memandang jauh ke dalam Cindy. Dia telah menyesal meninggalkan Cindy. Rasanya dia ingin menebus dosanya.

" Iya. Aku mau banget. ", jawab Cindy.

Kemudian mereka membayar sejumlah uang dan bergandengan tangan menuju ke kafe seberang sana. Berdua, bercanda,  dan minum segelas Vanilalatte bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal