Nagoya Castle


Sejak kapan dirinya merasa sesepi itu? Hingga berulang kali tolehan kepala telah banyak dibuatnya.
Sepi. Tak ada bunyi ponsel terdengar. Sebuah suara yang dia harapkan mampu menggetarkan telinganya, tak kunjung terdengar. Sebuah pesan yang dia harapkan mampu memenuhi kotak masuk ponselnya, tak kunjung terwujudkan. Jangankan memenuhi kotak masuk, menambah satu pesan pun tak juga. Hanya membuat pemilik ponsel tersebut merasa kesal dan hampir menyerah menanti.
Sebuah pesan sudah sejam yang lalu dia kirim. Beribu nafas kesal mungkin sudah terhembus dari rongga hidungnya. Otaknya mulai tak mengerti mengapa gadis yang dia harapkan, tak memberi balasan apapun untuknya. Setidaknya satu huruf sebagai balasan atau mungkin emoji untuk menenangkan hati.
Tapi tampaknya, gadis yang diharapkannya tak peduli. Seolah tak mengerti bahwa dirinya sudah sedikit banyak menyakiti hati. Membuat kepala Gracia pusing dan merasa penat belakangan ini. Sekali lagi, Gracia harus kuat dengan kenyataan yang dia dapat.

“Mungkin sedang sibuk,“ putusnya sendiri. Tak mau membuat otaknya lelah menerka.  Terlebih lagi dirinya sadar bahwa terlalu berat berpikir bisa membuatnya gila. Dia tidak mau menjadi gila hanya karena satu gadis saja. Ya walaupun kenyataanya memang dia seperti tergila-gila belakangan ini, tetapi tetap saja dia tidak mau masuk rumah sakit hanya karena perasaannya yang membingungkan. Sebuah perasaan yang menjadi tanda tanya dalam pikirnya.
Dirinya masih tak mengerti dengan sebuh perasaan yang tiba-tiba menyerang hatinya. Entah lewat pintu mana, sebuah perasaan rindu tersebut meracuni pikirnya. Membuatnya sulit tidur belakangan ini. Sebab terbayang-bayang oleh senyuman seorang gadis yang dia rindukan.
Walau kenyataanya, hatinya berusaha menyangkal itu semua.
Setelah jam sekolah usai, Gracia memutuskan untuk menyempatkan diri melepaskan penat. Merehatkan jiwa dan hatinya yang sedikit banyak terusik akhir-akhir ini. Walaupun sebenarnya bukan hanya masalah gadis tersebut saja yang menjadi inti penatnya. Tetapi ada banyak hal juga yang menganggu pikirnya. Semisal tugas yang cukup membuatnya kerepotan membagi waktu, serta hal lain pula yang membuatnya harus bergaul dengan teman-teman barunya di Nagoya.
Tapi untuk kali ini, sepertinya sebuah pesan yang tak kunjung dibalas menjadi titik fokus pikirnya.
Ya, dia masih mengharapkan hal itu.
Telah tiba, Gracia di Nagoya Castle. Sebuah taman yang cukup asri di salah satu sudut kota Nagoya. Mendorong dirinya menarik nafas dalam dan membiarkan seluruh udara yang masuk, menyapu bersih penat di dalam dada.  Merentangkan tangan sepuluh detik lalu menguap di sana.
“Kurang tidur,” gumamnya pelan, seraya mengucek mata.
Langkahnya kemudian menghampiri sebuah bangku yang terletak di antara dua pohon besar yang lebat. Cukup teduh untuk tempat rehat.  Lalu dirinya mengambil tempat untuk duduk, dan membiarkan pandangannya memutar ke arah sekitaran. Dilihatnya punggung rumput membentang luas. Dengan hijaunya menampung banyak manusia yang sedang berolahraga, atau hanya sekedar bersantai ria. Dia sendiri juga kurang begitu tahu, tapi yang jelas dia sendirian di sana walau tampak ramai di sekitarnya
Teduh. Tatapannya teduh sekali saat melihat potret kehidupan tersebut. Ingin sekali rasanya berbaring menciumi rerumputan dan memejamkan kedua matanya di sana. Merasakan semilir angin yang membelai wajahnya di atas rerumputan yang hijau. Tapi sepertinya hal itu konyol baginya. Dia malu melakukan itu.
“Ii tenki desu ne (hari yang cerah, bukan) ?” sebuah suara sukses membuat Gracia terhenyak.
“Hai (ya),” jawab Gracia dengan sedikit anggukan. Pandangannya kemudian mendalam ke arah sosok yang sudah duduk di sampingnya. Membuat kedua alisnya menyatu sedetik.
“Sumimasen, tapi boleh kan aku duduk di sini?” kata gadis tersebut dengan nada aksen Jepang. Membuat Gracia cukup terkejut dengan perkataan gadis – di sampingnya barusan. Ah bisa bahasa Indonesia rupanya, pikir Gracia dalam hati.
“Silakan saja,” Gracia menggeser tubuhnya. Memberi kerenggangan antara kedua tubuh mereka.
“Arrigatou,” tanggap gadis tersebut cepat. Sementara Gracia sedikit mempelajari wajah gadis di sampingnya. Sosok yang belum pernah dia temui selama ini.
“Kau orang Indonesia, bukan?” tanya Gracia menunjuk sosok di sampingnya.
“Watashi wa Nihon jin desu (aku orang Jepang). Tapi aku pernah tinggal juga di Indonesia. Lumayan lama,” jawab gadis Jepang tersebut dengan senyum. Berbalut sweater hitam pada tubuh kurusnya.
“Ah. Sepertinya kau cukup pandai berbicara bahasa Indonesia.”
“Hanya sedikit. Saudaraku yang mengajari,” jawab gadis tersebut ramah, bersama tas selempang yang dia kenakan. “Oh ya, nama aku Jurina,” kata Jurina menjulurkan tangannya ke arah Gracia.
“Gracia desu. Douzo yoroshiku (senang bertemu denganmu) ,” Gracia menyambut tangan Jurina dengan senyuman khas miliknya. Kemudian melepaskan dan menyandarkan lagi punggungnya di badan bangku taman. Mengalihkan kembali pandangannya ke arah punggung rerumputan, dan membiarkan sebuah bayangan gadis yang dia rindukan masuk tanpa permisi dalam pikirnya.
Membuatnya terusik untuk kesekian kali.
“Ash, kenapa wajahmu sedih seperti itu?” Jurina angkat bicara saat mendapati wajah Gracia yang murung. Membuat Gracia sendiri terhenyak dengan pertanyaannuya.
“Ah? Tidak apa-apa,” jawab Gracia pelan. Berusaha menutup kecurigaan Jurina kepadanya.
“Bohong. Nada bicaramu saja pelan. Pasti kau menyimpan sesuatu kan?” tuduh Jurina setelah menutup buku yang tadinya hendak dia baca.
“Ya memang. Tapi aku pikir itu bukan urusanmu,” jawab Gracia sedikit ketus, “lagipula kita juga belum saling mengenal baik,” tambah Gracia dengan senyuman tipis miliknya.
Jurina merapatkan tubuhnya ke arah Gracia.  Kemudian menatap penuh wajah Gracia yang muram. “Cerita saja. Bukankah lebih baik jika kesedihan itu diluapkan kepada orang yang sama sekali belum kau kenal?” kata Jurina, “siapa tahu aku bisa membantumu.”
“Tapi ini terlalu rumit.” Gracia mendengus pelan setelahnya. Mencoba untuk tidak mengatakan semuanya kepada sosok yang baru dia kenal.
“Sesuatu yang rumit akan sulit diselesaikan oleh seorang diri,” balas Jurina mantap. Membuat Gracia terdiam di tempat.
Memang benar apa yang dikatakan Jurina. Sesuatu yang rumit akan sulit jika dikerjakan seorang sendiri. Tapi walaupun dikerjakan bersama orang lain pun, Gracia tetap tak yakin  bahwa dia akan menemukan jawaban atas semua perasaannya. Semua akan selalu menjadi rumit untuknya.
“Aku tak bisa,”
“Ayolah. Aku janji tak akan mengatakannya pada siapapun,” ucap Jurina memperlihatkan satu jari kelingking kanannya. Membuat Gracia mendengus pelan.
“Baiklah kalau kau memaksa,” Gracia menyerah, membuat Jurina menyungingkan senyum kemenangan. Kedua telinganya dia pasang dengan benar untuk mendengar kesedihan Gracia.
“Jadi, sudah satu bulan ini aku tinggal di Nagoya,” ucap Gracia seraya melihat punggung rerumputan di depannya.
“Pertukaran pelajar?”
“Hai,” Gracia mengangguk, “aku terpilih dari sekian banyak siswa di Jakarta untuk terbang ke Jepang. Kau tahu? Pergi ke Jepang merupakan impianku selama ini,” tambah Gracia tersenyum mengalihkan pandangannya ke arah wajah Jurina.
“Lalu kenapa kau sedih?” Jurina turut menyandarkan punggungnya.
“Seperti biasa. Masalah rindu.” Gracia menunduk. Sedikit menertawakan dirinya yang tampak konyol.
“Ah aku mengerti. Rindu memang hal yang biasa jika kau tinggal di negara tetangga. Tapi bagaimana bisa kau mengatakan bahwa hal yang demikian itu rumit?” Jurina mengerung. Sedetik memikirkan hal yang seharusnya tak begitu penting untuk dia pikirkan. “Ah, biar kutebak. Kau rindu dengan seseorang yang kau cintai, bukan?” tuduh Jurina membuat Gracia terkejut.
“Cinta?”
“Ya. Banyak hal yang berubah menjadi rumit hanya karena cinta. Seperti yang kau pikirkan sekarang ini,” jelas Jurina membuat dahi Gracia mengernyit. Sedikit tidak yakin dengan perkataan Jurina. Namun jika dipikir kembali, ada benarnya juga.
“Ah entahlah. Tapi mungkin lebih tepatnya sayang,” jawab Gracia ragu, ”bahkan aku sendiri juga tidak tahu,” putus Gracia kembali.
Jurina lalu menepuk pundak Gracia. Sebuah tatapan serius kembali dia layangkan, ” Kau harus menghubunginya sekarang.”
“Sudah. Tapi dia belum membalasnya,” jawab Gracia lemah.
“Mungkin sedang sibuk.”
“Aku juga berpikir seperti itu,” ujar Gracia, sedikit melirik ponsel yang ada di saku baju seragamnya, “mungkin dia tidak menyukaiku, Hahahaha,” tambah Gracia dengan tawa. Sebuah tawa untuk menutupi kesedihannya kini.
“Ah kau ini. Bagaimana bisa kau tahu perasaannya, sementara kau ragu seperti itu,” sanggah Jurina, “kau harus melakukan sesuatu untuknya. Setelah tiba di Indonesa nanti,  berikan sesuatu yang dia suka. Lalu ungkapkan perasaanmu. Jujurlah sekarang juga.”
“Tapi …”
“Ayolah. Jangan ragu. Kau mau menderita hanya karena masalah cinta? Itu konyol, Gracia.” Jurina terkekeh melihat wajah Gracia yang masih saja muram dilihat, “hatimu hanya butuh kejelasan. Sehingga kau bisa menyimpulkan nantinya,”
“Ya mungkin kau benar,” kata Gracia sedikit mengangguk. Mulai menemui titik terang dalam hatinya, “arrigatou, Sekarang aku mulai merasa tenang sekarang,” Gracia tersenyum.
“Sama-sama,” kata Jurina seraya kembali meraih buku yang sempat dia letakan tadi di samping kanan tubuhnya. Lalu mengalihkan kembali pandangannya ke arah Gracia yang sedikit lebih cerah dari pertama dia lihat, “kalau boleh tau, siapa nama yang kau rindukan itu?”
Gracia menoleh, “Tidak perlu aku sebutkan. Lagipula aku yakin kau tak akan mengenalnya,”
“Ah benar juga. Aku tidak mengenal banyak orang sewaktu di Jakarta.” aku Jurina seraya membelai lembaran novel yang ada pada genggamannya.
“Kau sendirian juga ke sini?” tanya Gracia membuat Jurina menoleh.
“Ya, Tapi aku sedang menunggu seseorang sekarang, “ Jurina mengambil ponsel dari dalam tasnya. Sekedar melihat kemungkinan pesan masuk datang kedalam ponselnya. Tapi tampaknya nihil. Orang yang dinantinya belum membalas ponselnya.
“Ah aku kurang tidur belakangan ini. Sepertinya aku harus pulang sekarang,” Gracia meraih tasnya kemudian beranjak dari kursi taman. “senang bertemu denganmu, Jurina. Kapan-kapan kita bertemu lagi ya?” kata Gracia dengan wajah yang lebih cerah dari sebelumnya.
“Senang bertemu denganmu juga, Gracia. Semoga kita bertemu lagi,”
“Semoga,” tanggap Gracia penuh harap, ”oh iya, titip salam juga untuk saudaramu itu. Seharunya kau berterima kasih padanya. Aku tak menyangka kau bisa lancar berbahasa Indonesia seperti itu,” Gracia menggeleng heran.
“Ya akan aku sampaikan nanti,” jawab Jurina dengan senyum terbaiknya.
“Sayounara”. Sekali lagi Gracia tersenyum, sampai akhirnya dia berbalik dan melangkah menjauhi Jurina. Menjauhi bangku yang terletak di antara dua pohon yang lebat. Meninggalkan semua keindahan yang tertera di sana dengan hati yang lebih tenang dari sebelumnya.
“Aku bingung sekarang. Kira-kira Nina sukanya apa ya?” gumam Gracia sembari mempertahankan langkahnya.
***
Jurina berhenti tersenyum setelah siluet bayangan Gracia menghilang dari pandangannya. Otaknya tidak bisa menjawab, kapan dia akan bertemu lagi dengan sosok yang baru saja dia temui tadi. Tapi yang jelas, dirinya begitu yakin bahwa Gracia akan melakukan sesuai apa yang dia katakan. Dirinya yakin bahwa Gracia akan mengungkapkan perasaannya kepada sosok yang Gracia rindukan. Iya, dia sangat yakin itu.
Pandangannya kembali fokus ke arah novel. Beberapa kalimat membuat matanya membulat. Terlebih, Jurina tidak tahu lagi harus sampai kapan dia akan duduk menanti saudaranya di sana. Tanpa balasan yang dia dapatkan dari ponselnya, membuat dirinya bosan untuk menanti lebih lama lagi. Entahlah, apa yang sedang terjadi hingga saudara kesayangannya tak kunjung membalas pesan darinya.
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar. Saat Jurina tengah menunpahkan perhatiannya ke arah novel. Sontak saja, membuat Jurina curiga dan menoleh pandangannya ke arah belakang.
Ternyata benar. Dia sudah datang.
“Jurina-san!!” gadis yang dinantnya pun mempercepat langkahnya. Mendorong Jurina bangkit dan memeluk tubuh saudaranya tersebut.
“Ah akhirnya kau datang ke Jepang juga,” Jurina meneteskan air matanya. Haru karena akhirnya dia bertemu dengan sauadaranya lagi setelah tiga tahun lamanya tak bertemu, “kau semakin cantik saja.”
“Jurina-san juga,” balas puji gadis tersebut. Mendorong Jurina mengusap-usap rambut saudaranya.
“Kenapa lama sekali. Aku hampir mati menunggumu,” pekik Jurina.
“Sumimasen, Jurina-san. Ponselku tadi tertinggal di apartemen. Jadi aku tak bisa memberitahumu bahwa aku harus pergi dulu ke salah satu sekolah di kota ini.”
“Sekolah Nagoya?”
“Ya, aku ingin bertemu seseorang di sana,” jelas gadis tersebut setelah duduk di bangku.
“Siapa namanya?”
“Tidak perlu aku sebutkan. Lagipula aku yakin kau tak akan mengenalnya,” sebuah jawaban yang membuat Jurina tak puas, “sepertinya Jurina-san sudah semakin lancar berbahasa Indonesia ya sekarang.”
“Syukurlah. Ini semua juga berkat kamu,” jawab Jurina. Membuat senyum mereka berdua merekah.
“Oh ya, tiba-tiba aku teringat dengan seseorang. Dirinya menitipkan salam untukmu. Dia sangat berterima kasih kepadamu yang telah mengajariku bahasa Indonesia. Orang Indonesia juga, sama sepertimu. ” tambah Jurina.
“Siapa namanya?”
“Tidak perlu aku sebutkan. Lagipula aku yakin kau tak akan mengenalnya,” jawab Jurina sembari terkekeh. Membuat sosok di depannya mengerung kesal.
“Jurina-san!!”
“Nina-san!!” pekik Jurina keras tak mau kalah dengan saudaranya.

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal