7 Ji 12 Fun



Tepat pada kursi yang aku gunakan, sebelah otakku yakin bahwa dirimu akan kembali padaku. Bahkan tidak hanya setengah, melainkan seluruh raga yang kupunya mengharapmu datang sekarang. 

Masih jelas teringat. Terpatri dengan rapi, segala kata yang pernah kau ucap. Saat bibirmu menyusun kata janji -bahwa kau akan mencintaiku selamanya- hatiku jelas bertabur bunga. Rasanya seolah dunia sudah menjagaku dengan takdir cinta yang memang kuharapkan darimu. Membuatku tersenyum, meski rahangku hampir pegal karena sudut bibir yang terlalu lama menarik ke atas karenanya.

Masih jelas teringat. Terpatri dengan rapi, segala hangat yang kurasakan dari genggaman tanganmu. Saat hangatmu menjalar lembut dan merasuk melalu pori, segala syaraf bibirku menjadi kelu. Tak bisa berkata apa-apa, selain menyadari bahwa kau memang mencintaiku apa adanya. 

Tentu, bukan perkara hal yang mudah, bukan? Saat diriku harus melepaskan genggaman dan melihatmu mengecil diterkam oleh siluet perpisahan. Bahkan, jika ku tak mampu sekalipun, kau tetap akan pergi dan meninggalkan demi mengejar pendidikan yang telah lama kau impikan, bukan?

Ya. Aku memang tak boleh egois. Aku tetap harus merelakanmu pergi. 

Intinya, aku tetap akan menunggumu. Meski itu berat sekalipun.

***

Sebuah jam melingkar di sebelah pergelangan tangan. Kedua pandanganku sibuk menoleh ke arah benda logam tersebut. Baru kali ini, hatiku terasa resah. Menunggu dirinya yang tak kunjung tiba. Padahal, aku yakin, seharusnya dia telah tiba pukul tujuh lebih dua belas di bandara ini. Namun kenyataannya, tak ada bayangan yang kudapat darinya. Tak ada sosok yang melangkah mendekat, kemudian menoleh kebingungan mencari sosokku seperti dua tahun yang lalu saat dia kembali ke Jepang. 

Beberapa kali pula, telingaku mendengar gemuruh suara pengunjung lain. Mereka tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Ada beberapa yang tengah serius membaca berita di koran, dan ada pula yang hanya duduk sembari memandangi ponsel mereka. Bahkan, ada pula yang tengah berbincang dengan rekan mereka dengan nada tinggi tak tahu malu.

Mungkin, hanya aku lah di bandara ini, yang merasa trauma dan tak nyaman dengan suara gemuruh yang kudengar. Entah karena apa, tapi yang jelas aku sangat bingung harus berbuat apa untuk menguatkan hati agar tidak bosan menunggu di tempat duduk bandara. Rasanya pegal juga jika harus berlama-lama duduk dan memandang ponsel yang tak kunjung dapat balasan pesan darinya.

"Takahashi-san, hontou aitakatta." kataku lirih sembari meringis sendiri, sembari memandang foto nya yang kupasang di latar belakang ponsel.

"Ah, Jurina-san." 

Tiba-tiba sepenggal suara terdengar di sekitar. Membuatku terkesiap dan bingung mencari sumber tersebut.

Seorang gadis dengan perawakan kurus dan tinggi,  tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Rambutnya dia biarkan bergerai kesana kemari. Membuatku ingin memuji.

Ah, Rena-san memang yang terbaik.

"Rena-san, nani yo? Bagaimana bisa kau ada di sini?" tanyaku dengan senyuman terbaik kepada sosok gadis cantik yang telah menjadi sahabatku sejak duduk di bangku menengah atas.

"Nani? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Jurina-san." kedua mata gadis tersebut menusukku. "Apa kau tidak merasa lelah, hah?" tanya Rena-san lagi. 

"Jadi, Rena-san mau menemaniku di sini?" tanyaku penuh harap. Melayangkan senyum lebih untuk dirinya. 

Alih-alih dia akan duduk dan menemaniku, justru sebuah tamparan keras yang aku terima. Telapak tangannya mengayun cepat, mengenai sebelah kiri pipiku yang perlahan memerah. Membuatku semakin bingung. 

Sedetik kemudian, dia memelukku. Melingkarkan kedua tangannya pada badanku. Suara tangis kudengar darinya. Air matanya seperti akan membasahi pundakku.

"Naze? Mengapa kau harus menangis seperti ini?" tanyaku lirih. Pandanganku kubiarkan menatap kosong ke depan. 

"Jurina bakka. Dia tak akan kembali. Orang yang kau tunggu tak akan pernah datang." kata Rena kemudian. Membuat hatiku sedikit bergetar.

"Demo, sesuai jadwal, pesawatnya memang harus tiba pukul tujuh lebih dua belas menit. Pasti ini hanya soal keterlambatan saja. Bukankah, terlambat itu hal yang biasa untuk urusan penerbangan seperti ini?" kataku masih dengan nada pelan. Entah, seluruh badanku beralih lemas. Gairahku perlahan hilang. 

"Sou desu, Pesawatnya akan tiba pukul tujuh lebih dua belas menit. Tapi, bukankah sampai sekarang pesawat tersebut belum ditemukan?" jelas Rena padaku sembari melepaskan pelukannya. "Kau harus mau menerima kenyataan bahwa jadwal itu adalah jadwal pesawatnya setahun yang lalu."

Aku hanya bisa terdiam di depannya.

"Sadarlah, Jurina!!!" 

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Seluruh syaraf motorikku seolah hilang kendali. Semua serpihan kenangan pahit akan berita buruk yang aku alami, kembali terlintas di pikir. Membuatku teringat dengan semua peristiwa saat aku menangis jejeritan di bandara ini. Menangis dan menjerit berteman dengan ratusan orang oleh sebab yang sama. Memenuhi ruangan dengan suara gemuruh tangisan. Membuatku berat untuk menjalani hari setelahnya.

Aku memang bodoh. Jurina memang bodoh. Seharusnya aku tak melepaskan tangannya. Seharusnya aku bersikap egois kala itu. Entah apa yang dia idamkan, tak seharusnya aku biarkan. Semuanya tak akan terjadi, kalau saja aku menarik tangannya dan memaksanya masuk kembali dalam mobil.

Jika aku tahu ini semua akan beralih demikian, mana mungkin aku membiarkan siluet bayangannya mengecil?

"Ikemashou!" Rena menarik tanganku. Membujukku untuk mengikuti rayuannya.

"Gomen. Boku wa dekimasen. Aku akan tetap menunggu di sini. Meski berat sekalipun."

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal