Sore



"Sampai berapa kali aku harus bertemu denganmu?"

“Maaf. Aku terlambat.”

Sesosok pria tambun dengan rambut lebat tiba-tiba saja membungkukan badannya di hadapanku. Tepat saat aku berniat untuk beranjak pergi dari tempat yang hampir sejam lamanya aku tempati.

“Hei, Frieska. Kau sudah lupa denganku?” ujar pria tersebut kembali, sembari menarik kursi kosong yang ada di depanku, lalu duduk begitu saja. Sementara sorot matanya seakan tengah mempermainkan aku yang tampak kebingungan dengan tingkahnya, yang bisa dibilang sok akrab.

Padahal, aku sama sekali tidak mengenalnya. Sumpah demi Tuhan, tidak ada bayangan wajahnya dalam ingatanku.

Tapi tunggu, bagaimana dia bisa tahu namaku?


Ia tampak menumpukkan kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya sesekali menyorot ke arah lain. Lalu kemudian mengarah kembali padaku. Sesekali dia tersenyum aneh, yang membuatku menyangka bahwa dia gila. Atau mungkin, dia memang gila?

Tapi, seingatku aku tak pernah memberikan namaku pada orang gila manapun.

Sebentar aku berusaha mengabaikannya. Terlebih lagi, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Tidak ada topik yang bisa kuangkat untuk mengisi kekosongan di antara kami berdua. Eh, bukan berarti skill sosialku yang buruk, tetapi sungguh aku tak mengetahui latar belakangnya.

Jika saja aku tahu hal ini akan terjadi, aku tidak menghabiskan kopiku terlebih dulu tadi.

Aku jadi kikuk sekarang.

“Ah, sepertinya kopimu sudah habis. Bagaimana kalau aku pesankan lagi secangkir kopi untukmu? Kopi di sini begitu nikmat, bukan? ” pria tersebut menawarkan dengan penuh semangat. Tampak dari senyumannya yang begitu kekanak-kanakan.

“Terima kasih. Setahu aku, terlalu banyak minum kopi itu tidak baik, bukan?” jawabku dengan berusaha menampakan senyuman pula.

“Ah, benar juga,” dia mengangguk pelan. “Kalau begitu aku tidak jadi memesan.” Sambungnya lagi dengan kembali tersenyum.  Sorot matanya kembali mempermainkanku.

Aku jadi kaku.

Kami berdua masih duduk berhadapan di salah satu sudut kafe. Sebuah sudut yang sudah lama menjadi favoritku. Ya, tempat kami agak menjorok keluar dari keramaian, yang kurasa memang paling tepat untuk merehatkan pikiran. Apalagi, dari balik kaca bening di samping kiriku sekarang, aku bisa mengamati pemandangan jalan yang ramai lalu lalang orang.

Oh, sungguh nikmatnya sore di ibu kota.

Tapi kini, yang ada di depanku sekarang, sesosok pria yang cukup membuatku bingung. Pikiranku kembali berdebu.

Detik demi detik berlalu. Menit pun pula. Tanpa disadari, perlahan tapi pasti, pria yang belum aku kenal tersebut berbicara banyak padaku. Pembicaraan kami berangsur mulai menyatu dan saling bersahutan. Yang mengejutkan lagi, dia mengetahui semua tentang diriku. Bahkan, hampir semua kenangan masa kecilku, berhasil dia paparkan dengan lancar. Sama sekali tak ada keraguan yang tampak pada dirinya saat dirinya mengupas habis tentangku.

Dia bukan paranormal, kan?

“Bagaimana bisa kamu tahu semua tentangku? Padahal kan kita belum pernah bertemu?” ujarku berani saat bibirnya berhenti ‘berkomat-kamit’. Cukup lama aku menunggunya berhenti berbicara.

Dia tersenyum. Namun sudut matanya tampak berlinang bulir bening. Seperti akan menangis di hadapanku, atau mungkin hanya perasaanku saja?

Aku tak tahu. Tapi aku yakin dia menangis.

“Eh, ada apa? Kau menangis?” tanyaku bingung.

“Jeremy. Panggil saja Jer,” ujarnya tiba-tiba, seraya menjulurkan sebelah kanan tangannya padaku.

Tak menanggapi pertanyaanku barusan.

“Jeremy?” aku meletakkan salah satu jariku di atas bibir, sembari mencari nama yang mungkin saja sudah tersimpan dalam ingatanku.

Namun nihil. Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.

“Kau sungguh lupa padaku? ­Yabaa ~ ” pria tersebut tampak gusar dan mendengus pelan. Lalu kemudian memandangku dengan senyuman.

Aku mengendikkan bahu. “Entahlah.”

“Sudah-sudah. Tidak perlu kau ingat. Terpenting sekarang aku bertemu denganmu lagi,” ujarnya dengan riang.

“Jadi, kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku keheranan. Mulutku mungkin sudah terbuka sekarang. Saking bingungnya.

Dia mengangguk. “Kita sudah sering bertemu, jadi jangan heran kalau aku tahu semua tentangmu,” jawabnya sedikit meledek. “Tapi apakah kau benar-benar sudah pikun?” tanyanya polos.

“Aku masih 17 tahun. Mana mungkin aku pikun.”

“Ya bisa saja, bukan?” tanggapnya datar. Kedua tangannya kini sibuk bermain dengan vas bunga yang memang sedari tadi berdiri di tengah-tengah kami berdua.

Aku menggeleng keheranan. Bahkan aku yakin sekali, dalam seumur hidup aku tinggal di dunia, tak pernah sekalipun bertemu dengannya sebelum ini. Aku pikir, pertemuan ini adalah perdana. Tapi ternyata, dia mengklaim bahwa kami berdua sudah pernah bertemu sebelumnya. Bahkan sering.

Apakah dia hanya pria pembual saja, dan membuat skenario semacam ini?

Tapi untuk apa?

“Seperti yang aku ceritakan tadi. Setiap sore kau selalu datang ke kafe ini. Memesan kopi, lalu menyesapnya perlahan-lahan,” ujarnya yakin. Membuatku menelan ludah mendengarnya. “Kafe ini juga lah yang membuat kita menghabiskan sore bersama. Pada awal pertemuan kita dulu. Apa kau benar-benar tidak ingat?” tanyanya dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Aku menggeleng. Malas rasanya jika harus bersusah payah lagi mencari berkas-berkas di ingatan. Kuhembuskan nafasku dengan kuat, seraya mendaratkan punggungku ke badan kursi.

“Entahlah. Tiba-tiba saja, kepalaku pusing,” aku memijat-mijat kepalaku.

“Ya sudahlah. Hal yang lalu biarlah berlalu. Terpenting sekarang aku bertemu denganmu lagi, dan mendengar jawaban darimu,” katanya membuatku terkesiap.

“Jawaban?”

Dia mengangguk. Sorot matanya berubah serius. “Iya. Aku mencintaimu, Fries. Maukah kau menjadi pacarku?”

Dua kalimat terakhir yang tak pernah aku sangka tersebut, berhasil membuat aliran darahku berhenti seperdetik. Terlebih lagi, kalimat tersebut tersampaikan dengan lugas olehnya. Raut wajahnya juga tak seperti ada beban saat dirinya mengatakan hal semacam itu.

Kau pikir aku akan menerimanya begitu saja? Mana mungkin aku menerima cinta orang yang baru aku kenal. Ya, meskipun dia mengaku sering bertemu denganku di kafe ini, tapi bukan berarti aku harus percaya begitu saja.

Ku atur nafas dan detak jantungku terlebih dahulu. Meskipun dia aneh, tapi aku tak mau menyinggung perasaannya. Tapi sungguh, dia telah menyinggungku terlebih dulu.

“Bukankah kita baru saja berkenalan?” ujarku dengan nada yang berusaha untuk tidak membuatnya kecewa.

Meski hasilnya sudah pasti sangat mengecewakan untuknya.

“Ah iya juga. Keterlaluan. Bodoh. Maaf ya. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu,” dia mengusap-usap bagian belakang kepalanya. Subut bibirnya terangkat dengan sempurna. Aku tidak tahu apakah dia tengah senang atau kecewa, tapi yang jelas perasaannya sulit aku baca. Seperti menganggap bahwa hal ini adalah hal yang biasa untuknya.

“Lihatlah! Sudah pukul enam malam! Kau harus segera pulang,” katanya kemudian. Sembari berusaha memperlihatkan jarum jam pada sebelah tangannya padaku. “Kalau tidak, ibumu pasti marah besar padamu. Jangan terus-terusan mengandalkan Kak Melody. Kasihan dia, jika harus terus membelamu di hadapan ibu.”

“Kak Melody? Bagaimana kau bisa mengenalnya? ” tanyaku terkejut.

“Darimu juga, Fries.” jawabnya dengan sebuah anggukan pasti darinya.

Memangnya aku pernah menyebut nama itu tadi? Aku menghela nafas untuk kesekian kali.

“Entahlah, ibu selalu melarangku pergi terlalu lama dari rumah. Padahal kan aku sudah 17 tahun.” Jelasku sembari bertanya-tanya tentang nasibku dilahirkan dari Rahim seorang ibu yang super protective. “Untung saja, ada kakak Melody. Meskipun aku yang salah, tapi Kak Melody selalu membelaku.” Jelasku dengan tersenyum pula. Tak mau kalah dengan senyum manis milik pria tengah duduk di depanku sekarang.  

“Sayangilah mereka. Mereka semua peduli denganmu.” Pria tersebut tersenyum lagi. Membuatku mengangguk begitu saja.

Jere .. ? Ah entah siapa namanya tadi. Tapi yang jelas, pria itu cukup menarik untukku. Hanya butuh kurang dari satu jam, pria itu berhasil mengubah pandanganku kepadanya.

Aku rasa dia pria yang baik. Ah, bicara apa aku ini. Seharusnya aku pulang sekarang.

“Kalau begitu, aku harus pulang sekarang. Senang bertemu denganmu. Besuk kita ketemu lagi di sini ya. Bisa tidak?” tanyaku.

Jujur, aku ingin lebih mengenalnya. Perkatannya yang sering membingungkanku tersebut, mendorongku untuk lebih memahami kepribadiannya.

Siapa tahu dia jodohku. Heheh =]

“Sangat bisa. Jam berapa?”

“Jam 5 sore. Seperti tadi. Jangan sampai telat ya?” kataku dengan semangat.

Namun, tiba-tiba saja pria tersebut meraih pergelangan tanganku. Cukup erat genggaman yang kurasakan darinya. Sorot matanya seolah hendak menembus pupilku.

Ada apa?

“Frieska,” ujarnya seraya menghela nafas. “Ingat, nama aku Jeremy. Jangan lupakan itu besok, ya? ” sambungnya dengan senyum kekanak-kanakannya.

Membuatku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu tersebut.

***

Waktu sudah menunjuk pukul lima. Seperti biasa, sore hari milikku akan aku habiskan dengan bersantai di sebuah kafe dekat ramai kota. Memesan segelas kopi hangat, dan menyesapnya pelan-pelan. Menghirup aroma yang menyeruak, dan merehatkan segala pikir di sebuah sudut yang agak menjorok keluar dari keramaian dalam kafe. Apalagi, dari balik kaca bening di samping kiriku sekarang, aku bisa mengamati pemandangan jalan yang ramai oleh lalu lalang orang.

Oh, sungguh nikmatnya sore di ibu kota.

Namun, tiba-tiba saja suara berat membangunkan pejamku.

“Maaf. Aku terlambat.”

Sesosok pria tambun dengan rambut lebat tiba-tiba saja membungkukan badannya di hadapanku.

“Iya? Ada apa ya?” tanyaku polos.

“Hei, Frieska. Kau sudah lupa denganku?” ujar pria tersebut kembali sembari menarik kursi kosong yang ada di depanku, lalu duduk begitu saja. Sementara sorot matanya seakan tengah mempermainkan aku yang tampak kebingungan dengan tingkahnya, yang bisa dibilang sok akrab.

Padahal, aku sama sekali tidak mengenalnya. Sumpah demi Tuhan, tidak ada bayangan wajahnya dalam ingatanku.

Tapi tunggu, bagaimana dia bisa tahu namaku?

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal