Musim Panas di Stamford Bridge


Tahukah kamu? Di sudut meja yang biasa aku gunakan untuk belajar, terdapat benda persegi panjang yang tengah berdiri menghadapku. Pada tubuhnya tertulis banyak angka, dan beberapa di antaranya terbubuh tanda silang tebal buatanku sendiri.
Ya benar. Setiap pagi, aku selalu menyilang tanggal kemarin yang tak berguna lagi dengan spidol hitam yang biasa aku beli di toko. Setiap tanggal yang berlalu, aku silang. Esoknya, aku silang lagi. Lusa, aku silang lagi. Begitu terus sampai akhir bulan Desember tiba.
Lebih tepatnya hari ini, tanggal 21 Desember 2013, aku menghentikan kebiasaan anehku untuk sementara waktu. Aku tak lagi mencorat-coret kalenderku, karena musim panas yang kutunggu telah tiba. Musim yang paling aku tunggu daripada musim-musim lainnya. Terbukti dari atap rumahku yang tak lagi tertutup bulir padat bernama salju. Ranting pohon yang tampak coklat penuh dan hawa dingin yang tak lagi menusuk. Jadi aku tak perlu lagi memakai jaket dan syal untuk keluar rumah.
Sebenarnya bukan masalah atap dan ranting yang tak putih lagi. Namun, ada hal lain yang membuatku sangat menunggu musim ini. Yaitu, laki-laki berhidung mancung yang biasa menemaniku pergi ke pantai. Berambut pendek yang selalu menjadi temanku bercengkerama saat mentari perlahan redup sampai kemudian lampu-lampu taman menyala dengan sendirinya.
Namun sayangnya, setiap musim panas usai, aku harus merelakan terik matahari menyenangkan sekaligus dirinya yang harus kembali bersekolah di luar negeri, dan memaksaku untuk menunggunya sampai musim panas tahun depan tiba. Sebab itulah aku membenci musim semi. Terasa pahit untuk berpisah.
**
Lihatlah jembatan yang membentang di sana. Di dekatnya terdapat taman yang paling aku suka. Karena di sanalah, tempat yang biasa aku gunakan untuk menghabiskan sore bersama Hazard, laki-laki yang aku ceritakan tadi.
Hari ini aku akan duduk di bangku panjang yang ada di taman tersebut, sembari menunggu kedatangan Hazard yang katanya sudah tiba di London sejak kemarin malam.
Aku berjalan mendekat ke arah bangku. Entah apa yang ada di benakku kini, seperti semburat senyum muncul dari bangku tersebut. Mungkin dirinya telah merindukanku hari ini. Serinduku pada Hazard yang sebentar lagi akan tiba menemuiku di tempat ini. Aku sudah tak sabar ingin menghabiskan senja bersamanya lagi.
Aku melemparkan beberapa pandangan ke arah Jembatan di dekatku. Namanya, Stamford Bridge. Jembatan penghubung dua bagian london yang terbelah oleh sungai menjadi bagian barat dan timur. Tapi entah kenapa, takdir telah membawaku untuk tinggal di London Barat. Mungkin supaya aku bisa mengenal Hazard. Mungkin saja...
Aku tak tahu menahu mengapa penduduk kota London sering menyebut ' Stamford Bridge' dengan sebutan 'Jembatan Cinta'. Apa karena setiap sore, banyak sepasang kekasih yang bertenger di sana dan saling merajut asmara. Sehingga tempat tersebut terkesan penuh akan cinta. Entahlah aku tak tahu pasti. Tapi yang jelas sepanjang sisi jembatan tersebut, dipenuhi banyak pasangan kekasih tiap sorenya.
Aku juga pernah mendengar tentang Stamford Bridge dari nenekku, bahwa melemparkan koin ke arah sungai di jembatan cinta, -dengan kekasihmu tentunya - diyakini dapat membuat hubungan percintaanmu menjadi langgeng. Entah benar atau tidak ini, yang jelas aku sedikit tak percaya dengan mitos tersebut. Namun melihat nenekku yang pernah mencobanya bersama kakek, kurasa mitos tersebut telah memberikan bukti. Sampai sekarang, kakek dan nenek masih saling cinta. Ah.. mungkin hanya sebuah kebetulan saja, pikirku mantap.
Kulihat jam sudah menunjuk pukul 4 sore, dan akhirnya Hazard menampakkan wujudnya. Dirinya tengah berjalan mendekatiku dan melempar senyuman ke arahku yang sudah kaku menunggunya. Aku hanya bisa membalas senyumnya.
" Sudah lama nunggu? ", dia langsung duduk di sampingku. Aku masih ragu menjawabnya. Tapi pada akhirnya, aku jawab juga.
" Udah satu jam aku duduk di sini nungguin kamu ", jawabku dengan kesal, namun dia tahu aku hanya bercanda. Bibirnya hanya mengisyaratkan senyuman.
" Gimana rasanya nungguin selama itu, Ki? "
" Menyiksa banget. Sampai-sampai keringatku kering lagi untuk keempat kalinya. ", kataku dengan manyun. Dirinya tertawa kecil.

" Kok malah ketawa sih. ", aku menepuk lengannya yang cukup kekar.
" Baru satu jam nunggu aja udah ngeluh. Gimana aku yang udah setahun nungguin kamu, Ki?  ", katanya mengejutkan. Serentak badanku panas dingin, detak jantungku terasa berhenti sebentar, nafasku mendadak berat. Terbayang lagi momen itu.
" Masih ingat kan sama pertanyaanku dulu? Yang sampai sekarang belum kamu jawab. ", pikiranku dibawa ke dalam momen setahun lalu. Momen di mana hari itu di tempat ini juga, Eden Hazard menyatakan perasaannya padaku. Aku masih ingat betul, perkataan yang diucapkannya dulu..
" Rizki Meita, I would like you to know that I really love you so much. Would you like to be my lover as Sun are always shining? "
" Masih ingat kan? ", sahutnya merusak lamunan singkat.
Aku hanya terdiam seribu bahasa. Bahkan kalau bisa bahasa tubuh pun, aku memilih terdiam.
" Setahun yang lalu, saat aku tanya gitu, kamu malah pergi. Padahal besuknya aku harus berangkat pagi-pagi. "
" Sorry. ", kataku singkat, namun percayalah, kata itu berasal dari hatiku yang paling dalam.
" Gak papa kok. Aku yakin, pasti kamu ingin menguji kesetiaanku kan? ", katanya
Aku hanya tersenyum, kemudian angkat bicara lagi.
" Lalu, kamu pengen aku jawab sekarang? ", tanyaku penuh harap padanya.
" Gak perlu tergesa-gesa. Aku hanya ingin tahu alasanmu dulu kenapa gak jawab pertanyaanku. "
" Baiklah. "
Kucoba menghela nafas terlebih dulu. Setidaknya sampai jantungku berdetak stabil.
" Aku gak jawab pertanyaanmu karena aku bingung, zard. "
" Bingung kenapa, ki? "
" Aku gak bisa terima cinta mu dulu. Kita masih bersekolah. "
" Lantas kenapa dengan status kita yang masih pelajar? "
" Aku gak pengen kamu tersiksa di sana. Aku pengen kamu tetep fokus sekolahmu, zard. "
" Tapi nyatanya, kamu sendiri kan yang tersiksa? "
Seketika perkataannya menusuk tepat di dadaku. Aku hanya bisa tercengang, dan menginyakan dalam hati bahwa memang selama ini aku sendirilah yang tersiksa. Setiap hari harus menyilang kalender, menanti musim panas tiba, sampai sesekali menangis tak kuasa menahan rindu. Apa ini yang namanya cinta? Aku ingin memelukmu sekarang, zard. Tapi aku harus menahan egoku untuk sekarang ini.
" Kamu gak usah khawatir. Aku bisa fokus sekolah kok. Bahkan jikalau kau ingin aku menikahimu sekarang, aku bersedia.", katanya dengan tawa kecil.
" Kau ini ! ", kataku mencoba mencubit tubuhnya, namun dia berhasil menghindar.
Tak perlu pikir lagi, segera ku dekap tubuhnya yang hangat. Tangannya juga mendekapku balik. Aku nyerah untuk menahan egoku sendiri.
" Aku kangen kamu, zard "
" Aku bilang juga apa.  Kita saling kangen di sini. ", katanya dengan senyum.
Kurang lebih 30 detik lamanya aku memeluk Hazard, laki-laki yang selama ini aku rindukan itu tampaknya juga menikmatinya. Sampai kemudian aku melepas.
" Jadi ? ", Hazard memulai.
" Jadi apa? ", aku pura-pura tak paham..
" Would you like to be my lover as sun are always shining? ", katanya mengulang pertanyaannya yang diberikan dulu.
Tanpa pikir panjang, kutarik tangannya dan kutuntun Hazard menuju Stamford Bridge.
" Kau mau aku bawa ke mana. ", tanyanya heran. Masa bodoh, aku tak menanggapinya, yang terpenting sekarang aku harus cepat-cepat ke atas Stamford Bridge untuk kali pertama bersama Hazard.
Sesampainya di atas Stamford Bridge, aku mencari sisi yang kosong dan segera menempati. Aku berdiri di samping kanan Hazard sekarang.
" Kamu punya receh ? ", mintaku pada Hazard.
" Jangankan receh, bahkan cek tagihan listrik pun aku kasih. "
" Aku butuhnya receh ! Cepetan ! ", gertakku.
" Iya iya. Berapa? "
" 2 koin saja. ", kemudian Hazard memberikan sesuai permintaan. Aku ambil satu koin dan membiarkan koin yang satunya di telapak tangan Hazard.
" Sekarang kamu pegang koinnya dan kita lemparkan ke sungai. ", perintahku.
Dia hanya mengernyitkan dahi.
" Lemparkan sekuat tenaga, terus teriakan apa yang ingin kamu katakan padaku. Paham? ", dia mengangguk dan tersenyum tanda paham yang aku maksud.
Lalu dia mengambil langkah, sampai kemudian melempar koinnya sekuat tenaga ke sungai.
" RIZKI MEITA, I LOVE YOU !!! " teriak Hazard mengiringi suara pelan koin yang menembus sungai. Dia menoleh padaku dengan senyum.
Sekarang giliranku, cepat cepat aku mengambil langkah dan melemparkan sekuat tenaga koinku ke sungai.
" I LOVE YOU TOO, HAZARD !!! "
Selepas teriakanku, aku langsung memeluk Hazard untuk kedua kalinya. Hanya saja, pelukan kali ini berbeda. Rasanya aku tak ingin melepasnya, bahkan sampai musim panas usai sekalipun.  Aku ingin hanyut dalam pelukannya, sembari berdoa, semoga mitos itu benar. Setelah ini, aku dan Hazard akan menjadi pasangan abadi seperti matahari yang selalu menyinari.
Terima Kasih, Tuhan. Musim Panas tahun ini, sounds good!!!!

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal