Ragu di Desember


RAGU DI DESEMBER
Author : Aji Raenaldi

Apa yang sebenarnya bisa kau lakukan di bulan Desember? Musim penghujan yang selalu menemani soremu yang lelah, kemudian kau bersender di tubuh sofa sembari menengok ribuan bulir hujan yang menghempaskan diri ke bumi dari balik jendela. Sembari menghirup aroma segelas teh hangat buatanmu yang menyeruak ke dalam hidung dan menghisapnya beberapa kali hingga kerongkonganmu terasa hangat, lalu menjalar ke semua tubuhmu.

Desember yang Setiap sore kau habiskan bersama jas hujan saat pulang kuliah. Jas hujan yang tak kunjung kering karena memang tak pernah ada waktu bagimu untuk mengeringkannya. Sebenarnya bukan karena tak sempat, tetapi memang terik matahari yang cukup langka untuk bisa kita lihat.  Gemuruh petir yang sesekali menghias langkahmu di jalan pulang, hingga membuat jantungmu terasa jatuh ke lambung dan seperdetik memompa darah lebih dalam dari biasanya.


Apakah itu yang kau inginkan dari bulan Desember? Bulan yang biasa orang bilang paling dinantikan. Karena pada akhir bulan ini, akan banyak kembang api melemparkan dirinya ke langit untuk melukis malam yang gelap. Memang hal itu sangatlah indah, aku tak mengelaknya. Bahkan aku ingin melihat mereka menari selamanya di sepanjang hidupku. Namun, bukankah lebih baik melihat kembang api dengan orang yang kita cinta? Aku yakin kau mengiyakan maksudku, bukan? Duduk berdua di salah satu bangku taman, sembari mengangkat dagu sedikit ke atas dan menunjuk beberapa titik api yang menurutku indah - walaupun mungkin kekasihku tak setuju dengan pilihanku - , lalu sedikit melemparkan beberapa pujian untuk dirinya yang bersandar di tubuhku. Aku yakin itu akan sangat mengesankan dalam hidupku.

" Sepertinya bulan ini aku gak jadi pulang. ", katanya dari balik telepon. Kata yang tak begitu mengejutkanku. Bahkan terdengar biasa dan tak ada artinya. Mungkin karena aku dan Kinal sudah terbiasa menjalani hubungan yang sangat jauh ini. Bahkan seperti tak mempunyai hubungan sama sekali. Dia selalu sibuk dengan berbagai persoalan kuliahnya di Jepang. Sedangkan aku kuliah di Australia yang tak begitu sibuk dan bisa dibilang lebih punya banyak waktu untuk pulang ke Indonesia dibanding Kinal.

" Aku tahu. Cuaca memang selalu tidak bersahabat untuk kita. ", kataku padanya selepas menghisap teh hangat yang tergeletak di atas meja makan rumahku. Badai salju di Jepang memang sering menutup harapanku untuk melepas rindu dengan Kinal. Bukan hanya rindu, tetapi kesempatanku untuk memeluknya di bawah gemerlap kembang api tahun baru.

" Mungkin Februari nanti. ", kata Kinal lembut mengiringi suara syahdu hujan di luar rumah.

" Tahun lalu juga gitu ", kataku sembari tersenyum tipis. Walaupun saat ini lebih pantas dikatakan cobaan, bukan lelucon.

" Bulan Februari kamu juga sudah balik ke Sydney kan? ", Kinal menebak.

" Dan aku akan pulang ke Indonesia lagi saat kamu sudah berada di Jepang. ", celetukku begitu saja. Ya karena memang dia tak begitu lama di kampung halaman. Mungkin karena persoalan di sana lebih penting dibanding kebersamaan dengan keluarganya.

" Iya aku tahu. Tahun lalu juga gitu.", nafasku memburu,  Kami berdua hening sementara waktu. Seperdetik kemudian aku berpikir, kenapa kisah cintaku seperti ini. Kenapa waktu itu Kinal harus memilih Jepang, bukan Australia. Padahal aku ingin mengajaknya ke Sydney untuk merayakan malam tahun baru di Opera House, tempat wisata terkenal di Australia. Bukankah makan malam berdua di Sydney lebih romantis dibanding harus bermain salju  bersama di Niseko? Apalagi gemerlap kembang api yang memancar di sepanjang jembatan Sydney akan menghiasi romantisme kebersamaan kita di Opera House, dan ditemani dengan segelas kopi hangat. Apa kau tak mau dengan semua itu?

" Tampaknya kita sudah saling mengenal, ya ?", tambahnya merusak lamunanku yang lumayan singkat.

" Kita sudah pacaran 3 tahun, Nal. ", kataku mendengus.

" Watashi wa shitte iru. Sakunen mo so  (Iya aku tahu. Tahun lalu juga gitu  ) "

" Ah... Kau Ini ! "
Kemudian terdengar beberapa ketukan pintu yang cukup keras. Aku tak tahu pasti siapa yang datang, tapi yang jelas segera ku akhiri percakapanku di telepon dan berjalan menghampiri sosok yang telah menunggu dari balik pintu.

" Kamu kenapa nekat sih? ", kataku kepada seseorang yang baru saja datang. Tubuhnya tampak tak basah kuyub, mungkin dia ke sini menggunakan jas hujan. Tapi tetap saja, dia tampak menggigil kedinginan. Terlihat dari raut wajahnya yang kusut.

" Lihat, aku bawa apa ", dia memperlihatkan dua buah kantong plastik berisi bahan makanan yang tengah dia bawa. Segera aku tarik tangannya ke dalam rumah agar dingin tak terlalu lama menyelimuti.

" Aku akan masak di sini untukmu. Kau suka kan? ", katanya sembari kemudian berlalu menuju dapurku. Aku tak bisa mencegahnya lagi, lagipula perutku memang sudah keroncongan dari tadi siang. Aku kira semangkok mie instant tadi pagi cukup untuk menahan lapar seharian, ternyata nihil. Seharusnya Ibu mengajariku memasak sebelum mereka berdua -dengan ayahku- pergi ke luar kota, jadi aku tak harus makan mie Instant atau kebingungan mencari makan di luar yang menurutku membosankan.
Tapi Tuhan Maha Adil, Dia mengirimkanku wanita yang peduli denganku di saat seperti ini. Dia adalah Novinta, wanita yang rela hujan-hujanan hanya untuk membuatkanku makan malam. Wanita yang telah membuat suasana sore yang dingin ini menjadi hangat karena kedatangannya. Bukankah itu lebih baik dibanding dirinya yang sibuk di negara orang? Mereka berdua sama-sama baik, hanya saja yang selalu ada lah yang akan jadi pemenangnya.

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal