Introvert - Part 1 - [ Wmatsui ]


"Aku hanya ingin kau berubah. Hanya itu saja."
Perlahan, kedua tangannya membuka amplop. Sesuai pikirnya, terdapat lembaran kertas di dalamnya. Ada perasaan yang ngeri untuk kali ini saat dia mencoba untuk menarik lembaran tersebut. Walau sebenarnya hal tersebut sering mewarnai siangnya belakangan ini, namun dirinya harus mengumpulkan keberanian untuk membuka lembaran dari dalam amplop yang dia dapat sekarang.
Khusus hari ini, lembaran surat tersebut menjadi luar biasa untuknya.
I always look and keep caring you. Suki nanda kimi ga suki nanda.
Tertulis demikian, lembaran yang tengah dibentangkan. Sorot matanya mempelajari dua kalimat tersebut dengan seksama. Sedetik kemudian, genggaman tangannya melemah. Lembaran tersebut hampir lepas darinya. Rasanya sudah tak bisa lagi menahan segala luapan emosi yang hendak keluar dari kedua matanya. Pipinya yang lembut akhirnya terlukis bulir mata. Terisak menangis menatap lokernya yang terbuka.
Boku no kataomoi dattan da yo,” bisiknya pelan. Tak ada yang mendengar. Bahkan dia sendiri pun tak berharap para siswa yang tengah berjalan di belakangnya mendengar keluhannya barusan.
Karena yang dia harapkan hanyalah menemuinya sekali lagi. Bertemu dengan sosok pengirim lembaran tersebut. Kemudian memeluk erat dengan perasaan hatinya yang membingungkan.
Ya. Hanya itu saja.

***
(Sehari sebelumnya)
Sebuah lonceng bergerak. Gemerincing menggetarkan telinga. Bersamaan dengan itu, seorang gadis SMA – masih dengan seragam sekolah, muncul dari balik pintu kafe. Lantas  menghentikan langkah lalu berdiri tegap mengamati lekat setiap pengunjung yang tengah menikmati pesanan.  
Cukup ramai. Pikirnya pertama kali setelah tiga detik melihat apa yang ada di depannya.
Sembari mengenggam lembaran yang ada di tangan kanannya, gadis itu berlarut memandang sekitaran. Raut wajahnya beralih bingung dengan bola matanya yang memutar ke segala penjuru. Terlebih lagi rasa penasarannya memang sudah mengendap di ubun-ubun terhadap sosok yang menghantuinya belakangan ini. Dia tak bisa lagi menahan segala egonya untuk enggan datang ke tempat dia berpijak sekarang. Karena dirinya sudah menyerah akan semua tanda tanya dalam pikirnya.
Rasa penasaran itu memaksanya setuju terhadap ajakan yang tertera pada surat.
Dia tampak menghela nafas. Matanya masih beralut memandang sekitaran. Selang beberapa detik kemudian, sorot matanya berkompromi dengan akalnya. Mencocokan ciri yang tertulis di lembaran dengan beberapa wajah yang tengah dilihatnya. Sebuah lembaran yang dia temukan dari dalam loker miliknya di sekolah dan semua lembaran itulah yang membuatnya terusik dan menyerah.
Semoga saja, lewat lembaran tersebut dirinya berhasil menemukan apa yang tengah dia cari di kafe tersebut.
Bakka Mitai.”
Sebuah umpatan baru saja terucap. Sebuah pertanda bahwa dirinya memang tidak terlalu gemar dengan kegiatan mencari. Semua yang menghabiskan waktunya akan sangat dibencinya. Karena dia pikir, waktu adalah uang. Sementara uang bukanlah hal yang patut dibuang begitu saja.
Prinsipnya memang sudah terpatri demikian.
Namun, ada satu hal yang aneh ketika dirinya tiba di sana. Otaknya masih tak mengerti dengan segala keputusannya yang memilih untuk menuruti apa yang tertulis di lembaran yang dia bawa. Walau rasa penasaran telah menelan hilang egonya, seharusnya dia tidak berlaku demikian.
Dia harus ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mempercayai semua hal yang belum begitu jelas baginya. Bahkan yang tampak jelas baginya pun kadang sering terabaikan.
Namun, kali ini dia begitu lemah dan mudah untuk melanggar jati diri yang selama ini dia pelihara.
Mungkin ini adalah kali pertama baginya tertarik dengan orang lain. Seolah terhipnotis dengan gaya penulisan yang tertera dalam lembaran di tangannya. Tak peduli dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi padanya nanti.
Karena sekali lagi yang dia butuhkan adalah memenuhi nafsu keingintahuannya.
“Baju putih, berdasi merah tua, berambut sebahu.“
Bibirnya terus saja bergumam pelan sembari terus mencari sosok yang dia hendak temukan. Dia masih tak menemukan sosok tersebut. Cukup membuatnya kesulitan walau luas kafe tidak lah seluas mall di pusat kota.
Atau mungkin dia memang bodoh untuk urusan mencari? Entahlah, yang jelas air mukanya seperti akan menyerah.
Sampai kemudian, matanya membulat ke arah meja yang sedikit mencurigakan. Seorang gadis, dengan wajah yang tenggelam ke dalam buku, tengah duduk di sana. Membuatnya memulai beberapa langkah untuk membuktikan curiganya.
“Baju putih, berdasi merah tua, berambut sebahu, dan sedang duduk di meja nomor lima,” putusnya yakin, sembari tersenyum secukupnya.
Dia begitu yakin dengan apa yang dia temukan.
Satu kata yang terlintas, saat wajah yang yang dia curigai tersebut perlahan mendekat kepada pandangannya. Hingga sorot matanya menangkap jelas bentuk alis yang melengkung sempurna dan bibir yang terlihat menggemaskan milik wanita yang ada di depannya sekarang.
Cantik.
Ah tidak. Seharusnya dua kata.
Cantik sekali.
Ya benar. Dia sendiri tak menyangkal akan pesona tersebut. Walaupun sebenarnya dia masih tergolong gadis yang normal, namun pundak Rena terasa bergetar sekarang.
Konnichiwa, Rena-san, “ senyum tipis Rena terpaksa buyar saat sosok yang ada di depan menyadari keberadaannya.
Cepat-cepat gadis berambut sebahu tersebut menutup buku dan menganggukan kepala sebentar sebagai sambutan untuk ‘tamu’ yang dia undang. Melayangkan senyuman seramah mungkin. “Isu ni suwatte kudasai!” perintahnya kemudian sembari menunjuk sebuah kursi di depannya. Mengisyaratkan Rena untuk duduk.
Walau kenyataannya Rena masih berdiri mematung dan enggan merehatkan kakinya. Hatinya masih ragu untuk memulai pertemuan dengan sosok yang membuat pikirnya lelah belakangan ini.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Rena-san?” gadis berambut sebahu tersebut tampak mendengus pelan. Dia sendiri memang tak pernah mengerti dengan jalan pikir Rena.
Rena tak menjawab. Dia hanya memutuskan untuk menarik kursi yang ada di dekatnya, dan menempatkan dirinya duduk di sana. Lantas pandangannya kembali ragu untuk mengamati setiap inchi keindahan yang terlukis pada wajah di depannya.
Sekali lagi, dia tak bisa menyangkal bahwa gadis yang ada di depannya sekarang begitu mempesona.
Wakatta, lambat laun kau pasti akan datang juga,” tungkas gadis tersebut sembari mengaduk segelas jus di depannya. Seraya melayangkan senyum kemenangan ke arah wajah Rena yang terkesan polos.
Anata dare?“ tanya Rena antusias. Dirinya sudah tak kuat lagi untuk menahan keingintahuannya tentang gadis yang mengundangnya ke kafe tersebut. Terlebih lagi, wanita tersebut sudah mengetahui namanya sejak surat pertama yang dia dapat. Padahal mereka berdua belum pernah saling bertemu.
Jelas hal itu lah yang membuat Rena tak mengerti dengan kenyataan yang terjadi
Watashi wa Jurina desu,” jawab gadis berambut sebahu tersebut setelah menyesap jus miliknya.
“Jurina?”
Hai. Naze?” tanya Jurina balik.
Sementara Rena sedikit memandang ke atas setelah mendengar nama yang baru saja disebutkan. Tapi tampaknya nihil, dia merasa tak pernah sekalipun bertemu bahkan mendengar nama yang persis dengan nama tersebut.
Tapi sumpah demi ulangan matematikanya, nama tersebut seperti familiar dalam otaknya. Sekali lagi pikirnya dibuat lelah oleh gadis bernama Jurina tersebut.
Nazedesu ka?,” tanya Jurina kembali seraya sedikit mengangkat kedua alisnya. Menunggu tanggapan Rena yang sedari tadi melamun.
“Ah, nai. Aku hanya sedikit bingung saja dengan pertemuan ini,” jawab Rena sedikit mengalihkan topik serta pandangannya yang masih malu untuk berlama menikmati pesona Jurina.
Jelas, itu bukan sebuah jawaban tepat untuk sebuah pertanyaan yang Jurina ajukan. Membuat Jurina tersenyum pahit dan mengangguk secukupnya.
“Jadi kau yang sering mengirimkan aku lembaran seperti ini?“ tanya Rena seraya menunjukan lembaran yang sudah berhasil membimbingnya ke tempat tersebut. Lantas meletakkan lembaran di atas meja dan mendorongnya ke arah Jurina.
Jurina tampak melirik sebentar ke arah lembaran, lalu dagunya mengangguk pelan membenarkan kecurigaan Rena.
Gomen ne, jika selama ini telah menganggumu.“ ucap Jurina tenang ke arah wajah Rena yang terlihat menahan nafas.
Jurina tahu betul bahwa tindakan menyelipkan lembaran ke dalam loker milik orang lain merupakan sebuah pelanggaran. Bahkan dirinya sendiri juga tahu bahwa Rena tidak terlalu menyukai dengan apa yang dirinya lakukan belakangan ini.
Namun apa daya. Hanya itu yang bisa Jurina lakukan.
“Tidak begitu terganggu kok,” Rena tersenyum tipis. Membuat Jurina turut tersenyum pula. “Aku hanya bingung saja dengan maksudmu mengirimkan lembaran. Padahal sudah bukan jamannya lagi, kan?”
Jurina menyesap jus di depannya, lalu melepaskan sedotan dari bibirnya yang lucu, “Wakatta. Tapi kau sangat tertutup. Maka dari itu, aku ingin kau saja yang menghampiriku,” timpal Jurina seraya nyengir memperlihatkan deretan gigi yang rapi.
Rena terdiam. Otaknya semakin tak mengerti dengan alasan Jurina yang baru saja dia dengar.
“Kau selalu memilih untuk duduk sendiri. Padahal masih banyak siswa yang tak begitu keberatan untuk menjadi teman sebangkumu,” ucap kembali Jurina ke arah wajah Rena. “Bahkan teman sekelasmu saja perlu berpikir seratus kali untuk mengajakmu berbicara. Apalagi aku-“ tambah Jurina seraya tersenyum. Mencoba menyadarkan Rena bahwa sifat introvert yang dimiliki gadis tersebut memang sudah sangat keterlaluan.
Karena bagi Jurina, mengasingkan diri dari kerumunan sosial merupakan keputusan yang kurang baik. Sama sekali tidak menguntungkan apapun dari segi apapun pula.
Walau kenyataan yang terjadi adalah Rena sangat menikmati dengan hal yang kurang baik tersebut. Sama sekali tidak merugi atau membuatnya terlihat menyedihkan di mata orang lain.
Bagi Rena, semua itu membuatnya damai.
Ya setidaknya itu menurutnya.
“Aku tahu bagaimana rasanya. Tapi setidaknya kau bisa membuat dirimu lebih menyenangkan untuk teman-temanmu. Terlebih lagi, kebaikan untuk dirimu sendiri,” jelas Jurina dengan intonasi yang sedikit berubah. Pertanda keseriusan tentang apa yang baru saja dia ucapkan.
Rena sedikit mengerti. Poin demi poin dia kumpulkan untuk menjadi sebuah konklusi dalam pikirnya. Terlebih lagi hatinya seolah terajam batu saat mendengar nasihat Jurina barusan. Memaksanya sedikit mengangguk ke arah Jurina yang menanti tanggapannya.
“Kau satu sekolah denganku?” tanya Rena.
Sebuah pertanyaan yang seharusnya dia lontarkan sedari awal tadi, akhirnya terucap. Berusaha mencari jawaban untuk sebuah pertanyaan yang mendadak mengusik pikirnya.
Ya. Rena masih tak mengerti bagaimana bisa Jurina mengetahui jati dirinya yang demikian?
“Aku juga punya almamater yang kau pakai itu. Tapi sekarang entah hilang di mana,” jelas Jurina seraya menunjuk almamater hitam Rena. Lantas mendongak sedikit, untuk mengingat tempat di mana dia terakhir kali melepas almamater miliknya. “Oh iya. Kau mau minum apa?” Jurina menawarkan daftar menu. Di sana tertera banyak aneka makanan dan minuman.
“Aku membawa minuman sendiri di tas,” jawab Rena, membuat Jurina mengangguk pelan untuk ke sekian kali.
“Boleh aku minta minumanmu?” pinta Jurina tiba-tiba. Membuat Rena terkesiap. Memaksa salah satu sudut pikirnya mencari sesuatu untuk mengatasi permintaan tersebut.
Dame. Untuk apa? Kau sudah punya, bukan?” pernyataan tersebut semangat Rena lontarkan. Sama sekali tak mengharapkan bahwa Jurina benar-benar akan meminta minumannya dan membongkar isi tasnya.
“Ah iya.” desah Jurina seraya mengangguk sedikit. “Lagi pula aku hanya bercanda,” jelas Jurina kembali nyengir di hadapan Rena yang tampak khawatir.
Sorot mata Rena tak berani untuk memandang Jurina lama. Cepat-cepat dia alihkan ke arah buku merah yang tergeletak di samping gelas milik Jurina.
Sebuah buku merah yang sedikit mencuri perhatiannya sejak awal.
“Aku masih tak mengerti,” ucap Rena terkesan mengalihkan topik.
“Aish, Apa yang masih kau pikirkan, Rena-san?” Jurina terkekeh. Menahan tawanya di tenggorokan. Baginya, melihat air muka Rena yang polos merupakan hiburan tersendiri untuknya.
“Tujuanmu.”
“Tujuanku?”
Hai. Kenapa kau memintaku menemuimu?” Rena terlihat semakin malas menghadapi Jurina. Rasanya, gadis tersebut seolah tengah mempermainkannya. “Ayolah, Juri-?” kata Rena tak sabar, “aku tak punya banyak waktu lagi.”
Rena melirik sebuah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Seharusnya dia sudah sampai di rumah dan bersiap untuk tidur siang sekarang. Namun, Rena masih tak mengerti dengan sikap Jurina yang terkesan basa-basi.
Sementara Jurina sendiri tahu bahwa Rena bukanlah makhluk yang gemar menanti sesuatu. Dia sengaja membawa Rena untuk sedikit lama bercengkerama dengannya. Setidaknya untuk membuat parameter skill Rena dalam bersosialisasi, naik satu tingkat.
Rena memang pantas diberi pelajaran.
“Kau tak makan dulu?”
“Ah, Juri-“ sergah Rena dengan intonasi nada yang kesal.

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal