Introvert - Part 2 / Ending - [ Wmatsui ]


“Aku tak percaya jika kenyataan beralih demikian. Padahal aku sudah terlanjur cinta.”
“Baiklah,” putus Jurina seraya membenarkan posisi duduknya. Sorot matanya lalu merajam ke arah Rena. “Sederhana saja, aku hanya ingin kau tak terlalu menutup diri untuk orang lain.”
Rena tak bergeming. Membiarkan Jurina melanjutkan apa yang hendak dia ucapkan. “Karena sebenernya masih ada banyak jenis kebahagiaan yang akan kau dapat dari teman-temanmu,” lanjut Jurina.
“Jangan bilang jika selama ini kau memperhatikanku?” timpal Rena sebelum Jurina melanjutkan perkatannya.
Naze ? Apa itu salah?”
Rena tampak menahan nafas sedetik saat mendengar jawaban Jurina yang terkesan tak berdosa tersebut, “Tentu saja itu salah. Aku sama sekali tak mau menjadi pusat perhatian orang lain,” terang Rena sedikit jujur dengan apa yang dia idamkan di hidup ini. “Lagi pula, apa pedulimu?” tanya Rena sinis.
“Aku hanya tidak mau saja kau mendapatkan dampak buruk dari sifatmu tersebut, Rena,” Jurina menghela nafas kemudian. Mencoba untuk menguatkan pundaknya yang sedikit bergetar. “Ya hanya itu saja.”

“Hanya itu saja?”
Hai,” jawab Jurina seraya mengernyitkan dahi.
Karimashita. Aku pulang dulu jika memang hanya itu,” ucap Rena hendak beranjak dari kursi.
Baginya, melanjutkan percakapan dengan Jurina hanya akan membuang waktunya saja. Rena sungguh tak tertarik dengan perbincangan yang demikian.
Atau memang Rena tak pernah bisa tertarik untuk bersosialisasi dengan siapa pun.
Matte, Rena-san. Jangan tinggalkan aku dulu,” cegah Jurina. Kepalanya sedikit mendongak menatap wajah Rena yang tampak sudah kesal. “Aku sudah bersusah payah membawamu ke sini,” tungkas Jurina dengan senyum terbaiknya. Dia harap senyumannya tersebut akan membawa Rena mengerti dan duduk kembali.
“Tapi sungguh. Kau sangat menyebalkan, Juri,” cerca Rena.
Hai. Aku tahu,” Jurina mengangguk. “Kau adalah orang ke ratusan mungkin yang mencibirku seperti itu,” tambah Jurina seraya menujuk tubuh Rena, “bahkan, teman sekelasku sering menyebutku siswa aneh.”
“Kau memang aneh,” cerca Rena mengangguk. Melayangkan pembalasan untuk gadis di depannya.
“Ya. Begitulah.”
“Bahkan aku sendiri saja belum tahu di mana ruang kelasmu, Rena menggerutu.
“Ruang kelasku?”
Hai. Siapa lagi?” timpal Rena dengan tatapan yang seolah ingin menerkam Jurina. Dirinya tak tahu lagi bagaimana bisa gadis – Jurina, itu begitu menyebalkan setiap kali ditanya.
“Aish. Iya, Rena-san. Aku akan menjawabnya. Jangan menatapku seperti itu,” ucap Jurina berlagak ketakutan dengan sikap Rena yang menatapnya dengan cara demikian. Padahal Jurina sama sekali tak menemukan mimik menyeramkan dari wajah dan sorot mata Rena. Kalau lucu sih iya.
Sekali lagi, Jurina hanya ingin menyenangkan hati Rena saja.
“Kelasku ada di samping kelasmu.”
“Hah? Magi ?” Rena mengerucutkan kedua alisnya.
Sementara Jurina mengangguk pelan, “Maka dari itu aku sering melihatmu sibuk sendiri saat aku tengah berjalan di koridor kelas.”
“Aku tak pernah sibuk. Aku hanya membaca.”
“Tapi kau terlihat sangat tidak bisa diganggu, Rena-sam,” jelas Jurina menegaskan pendapatnya.
“Iyakah?” ucap Rena pelan, seraya memandang ke arah lain untuk menilai sendiri tentang apa yang selama ini dia lakukan.
Hatinya sebenarnya sadar bahwa dirinya memang tergolong benci akan sesuatu hal yang menganggu kegiatannya. Dia tidak mau jika ada seseorang yang menganggu kegiatan membacanya. Terlebih lagi jika buku tersebut adalah panduan untuk menghadapi seleksi universitas. Rena sungguh tak mau jika ada salah satu teman di kelasnya mengajaknya bicara saat dirinya tengah belajar.
Walau kenyataannya nihil, tak ada teman yang berani mendekatinya selama ini.
“Sejujurnya, aku ingin melanjutkan studiku nanti di Universitas Osaka. Mengambil jurusan pendidikan dokter. Bukankah itu menyenangkan?” kata Rena tersenyum. Semburat wajahnya mengisyaratkan bahwa ucapanya barusan benar dari hatinya yang paling dalam.
“Setuju sekali. Hampir semua siswa Jepang menginginkan studi di sana.” Jurina mengalihkan pandangannya ke arah buku yang tadi dia baca. Meraihnya, kemudian menujukan sampul bernuansa merah ke arah Rena.
Betapa terkejutnya Rena, saat pandangannya menangkap sebuah buku yang sama dengan miliknya. Sebuah buku yang sering dia gunakan untuk belajar.
“Kau ingin masuk ke Universitas Osaka juga?”
Hai,” Jurina mengangguk semangat, “pendidikan dokter itu memang idaman,” tambah Jurina semakin membuat Rena terkejut.
Rena tak menyangka bahwa gadis menyebalkan itu mempunyai selera studi yang sama dengannya.
“Tapi-“
Ucapan Jurina terpenggal. Membuat kedua alis Rena terangkat untuk ke sekian kalinya. “Nani?” tanya Rena antusias.
Bukannya segera menjawab, Jurina justru tersenyum menahan tawa melihat semburat wajah Rena yang lucu ketika penasaran.
“Ah, kenapa tersenyum genit seperti itu?” kesal Rena. “Kau ini betul-betul menyebalkan,” geram Rena ke arah Jurina yang masih tampak menahan tawanya.
“Wajahmu sangat lucu, Rena-san,” terang Jurina.
“Ya. Tapi apa?” tanya Rena lagi. Membuat Jurina mengambil beberapa nafas sebelum kembali menjelaskan kelanjutan perkataannya.
“Terkadang, kita juga perlu memikirkan diri kita sendiri. Jangan sampai karena ambisi, membuat kita terjerumus dan lupa akan semua hal yang ada di sekitar kita.”
Rena hanya terdiam. Mencoba untuk mencari sedikit poin yang tersirat dari dalam kalimat yang dia dengar. Tapi tetap saja, otaknya masih tak mengerti akan arti dari ucapan Jurina sedetik lalu.
“Jadi, jangan pernah sekalipun melupakan apa yang ada di sekitarmu. Keluarga, guru, bahkan teman-temanmu yang kau biarkan mengasingkanmu, mereka semua sangat berharga untukmu kelak,” jelas Jurina. “Karena suatu saat kau akan membutuhkannya..”
Mulut Rena sedikit terbuka. Tatapannya semakin lemah ke arah Jurina. Sungguh, dia tampak tak sepintar mencari persamaan kuadrat dalam matematika yang biasa dia kerjakan. Dia begitu bodoh untuk hal ini. “Sebenarnya, aku tak mengerti dengan apa yang kau bicarakan.” Rena menggeleng beberapa kali, “Namun, sepertinya kau begitu mempedulikanku.”
Jurina mengangguk. Kali ini dia berterus terang. Tak menyembunyikan sikapnya yang mungkin menjadi tanda tanya bagi Rena.
Hai. Aku selalu mempedulikanmu, Rena-san. Karena-“ Jurina menghentikan perkataannya, saat Rena tampak menguap di depannya. Matanya mengerung dan mendengus nafas pelan.
Sebuah kantuk tanpa permisi menyergap Rena dalam diam.
Gomen,” ucap Rena tersipu. Dia tidak tahu bagaimana ekspresi yang tampak saat menguap di depan Jurina barusan.
Pasti memalukan, pikir Rena demikian.
“Sepertinya kau harus pulang sekarang. Jangan terlalu sering belajar. Jaga kondisimu,” pesan Jurina seraya tersenyum.
Sementara Rena menyetujui dugaan tersebut.
Hai. Akhir-akhir ini aku kurang tidur,” jelas Rena. Sampai kemudian Rena beranjak dari kursi dan meraih sebuah tas yang sedari awal dia sandarkan di badan kursi miliknya.
“Aku pulang dulu, Jurina. Sampai jumpa lagi besuk,” ucap Rena pada Jurina yang tengah mendongak ke arahnya.
“Kau ingin menemuiku besuk?”
“Aish, dasar GR!” sergah Rena dengan tersenyum malu, lalu dengan cepat memutuskan untuk segera saja beranjak pergi meninggalkan Jurina. “Sayounara,” ucap Rena terakhir berbalut senyum terbaik yang mungkin tak pernah dia layangkan semasa hidupnya.
“Hati-hati di jalan,” pesan Jurina turut tersenyum pula sembari mengangguk sedikit ke arah Rena. Lantas memandang lemah punggung Rena yang semakin jauh dari pandangannya.
Namun saat Rena hendak meraih pintu, Jurina sedikit berteriak ke arah gadis tersebut, “Aku tahu kau bohong, Rena-san. Kau tak pernah membawa minuman sendiri kan? Aku tahu semua tentangmu.” Jurina menjulurkan lidahnya.
Sementara Rena bergidik ngeri. Karena apa yang dikatakan Jurina barusan memanglah benar. Dia tak pernah membawa botol minuman sendiri.
Segera saja Rena meraih pintu kafe dan keluar dengan pipi memerah.
***
Bel istirahat yang berbunyi semenit yang lalu cukup membuat Rena terhenyak. Meskipun ruang kelas yang dia tempati sudah tampak kosong, namun dalam hatinya masih terpenuhi akan segala rencana yang membuatnya ragu.
Segala rencana yang dia buat semalam, terpaksa dia pikir ulang. Karena memang, untuk melakukan rencana tersebut butuh kekuatan ekstra untuk Rena sendiri.
Ya. Pergi keluar saat istirahat berlangsung memang sebuah hal yang tak biasa baginya. Sebuah hal yang nyaris tak pernah dia lakukan sekali pun dalam hidupnya bersekolah di SMA Sunshine Sakae 48.
Karena selama ini yang ada di pikirannya hanya membaca dan membaca.
Hanya itu saja.
Rena masih mendengus pelan di tempat duduknya. Otaknya masih memikirkan sebuah hal yang akan dia layangkan nanti saat bertemu dengan Jurina. Sebuah bahasan yang kiranya cocok untuk menjadi alasan Rena bertemu dengan gadis menyebalkan tersebut.
Namun, sampai jarum jam berdetik ratusan kali selepas bel berbunyi, dia masih tak menemukannya.
Bakka!” umpatnya tak mengerti dengan kenyataan bahwa dia begitu bodoh dalam mencari cara untuk memulai sosialisasi. Hatinya mulai sedikit menyesal dengan sikapnya yang tertutup selama ini.
“Benar juga kata gadis tersebut,” gumam Rena.
Tanpa sengaja, kedua sorot matanya menangkap sebuah buku yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Bernuansa merah dengan tebal yang menyerupai batu bata tersebut kemudian diraihnya dengan cepat.
“Aku akan meminjam buku miliknya dan berpura-pura bahwa milikku hilang di jalan,” ucapnya di depan buku yang tengah dia genggam. Lantas tersenyum puas dengan sebuah ide yang terlintas begitu saja dalam pikirnya. “Ya. Aku akan ke sana,” putusnya yakin.
Langkah demi langkah Rena ciptakan. Matanya mendelik mencoba menerawang kaca jendela saat dirinya sudah tiba di ruang kelas yang dia yakini milik Jurina. Sebuah ruang kelas yang berada tepat di samping kiri kelas milik Jurina.
Namun sayang, kelas tampak kosong. Tak ada tanda kehidupan di sana. Kedua matanya hanya menangkap beberapa tas dan buku yang masih tergeletak pada setiap meja, dan papan tulis yang bertuliskan rumus perpindahan kalor.
Rena mengeryit bingung. Nafasnya tampak kesal. Jurina yang dia cari tak ada di kelas. Padahal sudah susah payah dia mencari ide yang dianggapnya cemerlang tersebut. Namun kenyataan berkata lain.
Jurina memang sangat menyebalkan.
Dia tak mungkin akan melangkah lebih jauh lagi meninggalkan kelasnya demi menemukan Jurina. Walau hatinya memang menginginkan hal itu, namun Rena sadar bahwa melangkah jauh hanya akan membuat dahi sebagian besar siswa mengernyit.
Mereka akan berpikir bahwa Rena tengah kerasukan hantu karena telah berani keluar dari peradaannya. Seolah keajaiban baru saja masuk ke dalam sekolahnya.
“Rena-chan!” suara tersebut mengejutkan Rena. Dia hampir terjatuh lemas saat suara tersebut seolah menusuk hatinya. “Apa yang kau lakukan?” tanya wanita tersebut sembari melipat kedua tangan.
“Yuko-sama,” desah Rena lirih. Jantungnya masih berdegup kencang. Sungguh, suara Yuko sensei sangat mengerikan.
“Kau mau mencuri?” tuduh Yuko sensei sembari melempar pandangan yang sinis.
Rena menggeleng cepat, “Iie, sensei.”
Yuko sensei tampak menahan nafas. Hatinya yakin bahwa siswi yang ada di depannya sekarang memang bukanlah siswi nakal seperti yang biasa dia tangani di sekolah. Dia tahu bahwa Rena adalah siswi baik.  “Ha, aku percaya,”
Rena menghela nafas lega.
“Lantas, apa yang tengah kau lakukan di sini? Tidak biasanya kau berkeliaran di luar kelas,” tanya Yuko sensei. Kali ini kedua tangannya dia labuhkan pada kedua sisi pinggangnya.
 “Aku ke sini mencari Jurina.”
“Jurina-chan?”
Hai.” Jawab Rena.
“Jurina Matsui?” tanya Yuko sensei lagi. Membuat Rena sedikit mendongak ke atas. Dia sendiri juga tidak tahu nama lengkap gadis yang dia temui kemarin.
“Mungkin. Tapi yang jelas ruang kelasnya di sini,” jelas Rena dengan menujuk dinding ruang kelas di samping tubuhnya.
“Kau bercanda?” tanya Yuko sensei membuat Rena tak mengerti. Mereka berdua sama-sama tak mengerti. “Jurina yang suka membaca itu?” tanya Yuko sensei kembali.
Hai,” Rena mengangguk cepat. Pikirnya langsung tertuju pada sebuah buku yang pernah Jurina tunjukan padanya kemarin.
“Jurina Matsui, siswi yang ingin masuk universitas Osaka,” kata Yuko sensei pelan.
 “­Hai, sensei. Dia ingin menjadi dokter.”
“Ah,”
“Ada apa, sensei?” Rena tak mengerti dengan desahan yang baru saja dia dengar.
Iie,” Yuko sensei menggeleng sembari tersennyum. Sebelah tangannya meraih pundak Rena. “Hanya saja kau salah ruang, Rena. Kelas Jurina memang dulu ada di sini. Tapi sekarang-”
Sebelah tangan Yuko sensei lalu menunjuk sebuah ruangan tepat di sebelah kanan ruang kelas milik Rena, “-ruang kelasnya di sana.”
Rena mengernyitkan dahi, “Maksud sensei apa?”
“Empat tahun yang lalu, dia memutuskan untuk gantung diri di sana setelah membaca surat pengumuman universitas Osaka. Jika saja dia diterima, pasti gudang tersebut tidak akan angker seperti sekarang,” jelas Yuko sembari melemparkan pandangannya ke arah gudang bertulisan ‘Don’t Enter’ pada badan pintunya.

Membuat Rena pingsan di tempat. 
- The End -

Nb :
Alhamdulillah, fanfict Wmatsui pertama akhirnya terposting juga. Padahal sebenarnya fanfict ini gak pantes buat diposting dulu. Karena pemilihan diksinya membingungkan, bertele-tele, boros kata, dan terlalu banyak kalimat berbunga-bunga. Seharusnya di-edit lebih lama lagi, atau bahkan dirombak totalan. 
Tapi apa daya, sudah dua minggu lamanya ngerjain fanfict ini dan kebelet pengen cepetan diposting aja daripada nantinya ragu melulu. Sudah banyak ide lain yang memaksa raga untuk menuliskannya dalam draft. 
Jadi maaf kalau fanfict ini sangat membingungkan untuk dibaca. Semoga ke depannya bisa menjadi lebih baik lagi. 
Supaya makin disayang Jurina Matsui ~ 
Ah, Maylaft ~

Comments

Post a Comment

Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal