Penjual Tawa, Bukan Senyuman.

Setangkai bunga ini aku genggam sedari tadi. Sejak dia duduk bersendau gurau dengan teman temannya di depan kelas yang tak terlalu besar itu.

Aku menatapinya dengan seksama. Dari sudut lain, aku menyisakan waktuku untuknya. Mempelajari senyumnya, gerak bibirnya, cara memandangnya dan semua yang ada padanya. Aku pelajari dengan teliti.

" Dhike !!!!!", teriakku dalam hati.

Asal kamu tahu, setiap nama yang aku serukan, pertanda bahwa aku ingin bertemu denganya. Setiap nama yang terbesit di pikiran, pertanda bahwa aku rindu padanya. Setiap nama yang aku tuliskan, pertanda bahwa aku tengah memikirkannya. Dan aku telah menyerukan, membesitkan dan nenuliskan namanya seribu kali.

Masih pada pandanganku, dirinya terlihat bahagia kala itu. Sedang diriku yang duduk di lain sudut, tengah merana dalam hati. Ingin mendekati, namun tak sampai hati. Bagaimana ini?

Aku melempar pandangan ke bawah. Sepasang sepatu yang aku kenakan saling berhadapan. Sepatu hitam yang sudah robek ini mengingatkanku pada saat di mana aku dan Dhike bertemu. Mata kami membidik satu sama lain di sebuah kantin sekolah siang itu. Aku masih ingat persis raut wajahnya saat kami menyatu.

Hingga sampai pada seseorang datang dari arah belakang. Menepuk pundakku yang sesaat sedikit rapuh karenanya. Spontan aku menoleh. Sesosok gadis cantik yang tersenyum menatap ke arahku itu sudah berdiri tegap di hadapanku. Aku pun membalas senyumnya.

" Tebak aku bawa apa. ", dirinya bertanya padaku sembari kedua tangannya menyatu di balik badannya. Aku mengerutkan dahi, karena memang tak tahu apa yang tengah ia bawa.

" Taraaaaaaa!  ", seru dia masih dengan senyum. Sebuah kotak berbungkus kertas kado disodorkannya padaku. Aku semakin mengerutkan dahi.

" Ambil dong. Terus buka.", lanjutnya. Lalu aku ambil apa yang ia sodorkan dan merobek kertas kado yang melekat di kotak misterius itu. Ternyata sebuah kardus yang cukup berat. Aku semakin penasaran dan segera kubuka kardus tersebut.

Ternyata di dalamnya ada.....

" Sepatu itu buatmu, sayang. Kemarin aku beli di mall. Kamu suka gak? ", dia bertanya padaku dengan raut wajah yang sangat cerah.

" Kamu kenapa harus repot gini sih? Sepatuku kan masih bisa dipakai. ", kataku merasa tidak enak padanya. Dia tertawa mendengarnya dan kemudian duduk di sebelahku.

" Sepatumu emang masih bisa dipakai, tapi udah gak pantes dipakai kali, yank. Tuh sobek sobek. Aku gak mau punya pacar yang sepatunya jelek. ", sahutnya meledekku sembari tangannya menunjuk ke arah sepatu rusakku. Kami berdua pun tertawa lepas.

" Eh, aku juga punya sesuatu untukmu lho.", kataku sembari menyodorkan padanya setangkai bunga mawar. Raut wajahnya semakin cerah. Aku yakin dia menyukai pemberian sederhanaku.

" Widihhh, So sweet amat deh. Makasih ya, sayang. ", dirinya tersenyum lalu menciumi semerbak wangi bunga mawar pemberianku. Kepalanya berlabuh di pundakku. Kuusap usap sebentar rambutnya dan mataku spontan menoleh ke arah Dhike yang masih duduk di sana.

" Maaf, Dhike. Mawar ini sudah aku.kasihkan ke wanita lain. Wanita yang sangat mencintaiku sepenuh hati, walaupun aku masih setengah mencintainya.", gumamku dalam hati.

Sekarang aku sadar. Dhike hanyalah masa laluku. Hanyalah wanita yang pernah mengisi hidupku, mengembangkan senyumku, dan meremukan hatiku.

Dan sekarang, ada wanita lain yang lebih baik darinya. Yang lebih menjual tawa daripada sekedar senyum. Yang lebih memberikan bukti daripada sekedar ucapan belaka.

Dia adalah Kinal, wanita yang sedang berlabuh di pundakku dan hatiku sekarang.

" Aku janji akan menjagamu, nal. ", kataku padanya. Dia membelasut manja.

Comments

Post a Comment

Kebebasan berpendapat itu,mulai sejak ini kamu berkomentar

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal