Teman Bersepeda

Ah mungkin bagimu, hanya teman sekelas saja. Yang jalan pulangnya searah. Keberadaannya seperti angin ~ 

" Kamu gak capek, ji? ", tanya Dhike.

" Ya Enggak lah. Malah aku seneng bisa boncengin kamu setiap hari. ", jawabku mantap sembari mengayuh sepeda dengan semangat.

Tampak Dhike hanya tersenyum saat aku menoleh ke arahnya, dan seiring dengan itu genggam tengannya di bajuku semakin kuat.

" Aku jadi gak enak nih. ", katanya pelan.

" Biasa aja kali, ke. Kita kan udah lama temenan. Dari kecil sampai SMA kita selalu sama-sama."

" Emang kamu gak capek ya temenan sama aku?", tanyannya lagi.

" Capek? Kamu itu ada-ada aja deh.Kalau capek, pasti aku udah pergi ke kota bareng sama orang tuaku tahun lalu. "

"Terus kenapa kamu gak ikut ke kota? ", Dhike bertanya-tanya. Perkataanku barusan mungkin membuatnya bingung.

" Itu semua karenamu, ke. Aku ingin menjagamu di sini. Aku gak mau jauh darimu", jawabku.

Dhike terdiam lalu keadaan menjadi hening. Yang ada hanyalah suara kayuhan sepeda dan gesekan antara rantai dan gear roda.

" Aku bisa sendiri kok, ji ", katanya.

Aku tersenyum.

" Enggak, ke. Kamu butuh aku. Aku akan menjagamu di sini. "

" Selamanya? ", tanyanya.

" Insya Allah. Jika Tuhan memberikan kita umur panjang dan menjodohkan kita kelak.", kataku tak terkendali. Secara tidak langsung, aku baru saja mengungkapkan perasaanku pada Dhike. Perasaan yang mengatakan bahwa Dhike adalah wanita idamanku.

Selepas itu, Dhike hanya terdiam. Aku tak tau apa yang tengah ia pikirkan sekarang. Aku belum sempat menolehnya di belakang, ya karena aku tidak berani menolehnya untuk sekarang ini.

Sesampainya di sekolah, aku pun menghentikan sepedaku. Ku senderkan pada sebuah pohon besar yang letaknya tepat di depan sekolah.

" Ati-ati. ", kataku pada Dhike sembari menggendongnya menuju kelas. Semua mata tertuju padaku, namun hanya sementara. Karena pemandangan yang tengah mereka saksikan bukanlah kali pertama.

Sesampainya di dalam kelas, ku tuntun Dhike ke bangkunya.

" Ji?", pelan Dhike.

" Apa?", jawabku singkat.

" Aku gak bisa jadi pendampingmu kelak.", katanya.

" Kenapa? "

" Pokoknya tidak bisa. Laki-laki baik sepertimu tidak pantas untukku yang......."

" Lumpuh? ", kataku menyela perkataan Dhike. Dhike tertunduk, dari matanya tampak mulai berlinang air mata.

" Ke, cinta itu memang masalah kecocokan. Tapi bukan fisik, tapi hati. Aku terima kamu apa adanya, aku ingin menjagamu sampai akhir hayatku. Karena aku cinta kamu. ", kataku dalam sembari membidik matanya yang berkaca-kaca.

" Kamu bilang cinta itu masalah kecocokan hati. Mungkin hatimu bilang Iya, tapi hatiku bilang tidak, ji. Apakah itu cocok?"

" Tidak, ke. Kamu bohong kan? ",kataku tak percaya.

Dhike hanya terdiam, tangannya tampak bergerak sana sini. Aku yakin dia bohong. Sudah lama aku mengenalnya, pastilah tau mana Dhike yang bohong dan tidak.

" Sudahlah, ke. Kau boleh menolak perasaan ini, tapi jangan pernah menolak hasratku untuk selalu menjagamu. Biarkan aku di sampingmu sampai ada laki-laki lain yang bisa menggantikanku."

" Aku mau menjadi pendampingmu kelak, Ji. ", katanya tiba-tiba,  dia memelukku yang sedari tadi jongkok di depannya. Air matanya berderai, aku mendengar isak tangisnya yang pelan.

Aku tersenyum. Hatiku bahagia saat itu juga. Bagaimana tidak, teman kecil sekaligus wanita yang ku cintai telah menerimaku masuk ke dalam hidupnya, bahkan ke dalam relung hatinya.

Ah mungkin bagimu, hanya teman sekelas saja. Yang jalan pulangnya searah. Keberadaannya seperti angin.........yang masuk ke dalam paru-paru, lalu diikat hemoglobin dan mengalir di dalam tubuhku berupa darah. Mengalir selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi,Syarat,Bahan Utama,dan Bentuk Komponen Rangka Sepeda Motor [Otomotif]

Keseimbangan Cinta

Jenderal Kagami yang Berekor Nakal